“Betul nih mau mendaki gunung Fansipan?” selidik Andreas, seorang ekspatriat asal Indonesia yang bekerja di salah satu hotel Sa Pa, agak sangsi. Ia sendiri belum pernah mendaki ke gunung Fansipan selama tinggal di kota Sa Pa.
“Minggu lalu turun salju di Sa Pa, sesuatu yang sudah lama tidak terjadi disini. Kebayang kan dinginnya di atas sana, “ ia melanjutkan seraya menunjukan tangannya ke arah pengunungan Hong Lien. Waduh, terbayang dinginnya pikir kami mendengar penuturan itu. Memang hari pertama saat tiba di kota Sa Pa saja, udara dingin langsung terasa menggigiti permukaan kulit. Tapi sudah sampai disini, masak ga jadi?
Tempat yang menjadi tujuan kami pada hari pertama pendakian ini adalah Camp 2 yang merupakan tempat untuk bermalam sebelum esok paginya melanjutkan perjalanan ke puncak. Setelah sekitar enam jam perjalanan dari pintu masuk Tom Tram dengan melalui hutan tropis purba , pinus dan bambu serta dengan banyak melewati banyak sungai kecil,
Camp 2 berhasil dicapai saat hari menjelang sore. Ketinggian disini sekitar 2.800 meter diatas permukaan laut dan istirahat dilewatkan dalam sebuah pondok sederhana berupa bangunan semi permanen yang berlapiskan papan. Sekedar untuk tidur melewatkan malam, akomodasi sederhana ini bagi saya cukup memadai daripada harus menyiapkan tenda diluar.
Saat pagi tiba, kabut masih tebal diluaran sehingga sempat menggoda untuk melanjutkan kembali bergulung didalam sleeping bag. Walau tak mesti pergi terburu-buru pagi itu, kami harus bergegas sesuai jadwal untuk menempuh perjalanan selama empat jam menuju puncak Fansipan yang disebut sebagai roof of Indochina ini.
Perjalanan menuju puncak lebih terjal daripada rute kemarin, dan seringkali memipir bebatuan yang merupakan jalur sungai. Vegetasi yang dominan adalah hutan bambu kuning mirip seperti yang sering dikunyah panda. Dalam perjalanan ke puncak banyak terlihat rebahan pohon bambu sepanjang jalan, dikarenakan beban yang berat dari salju yang menumpuk.
Setelah berjalan selama empat jam, akhirnya kami berhasil mencapai atap Vietnam yang berketinggian 3.143 meter dpl. Kabut tebal menutupi pandangan dari puncak. Sangat disayangkan, padahal bila cuaca cerah kota Sa Pa akan bisa terlihat dari sini. Sekitar setengah jam kami mencoba menikmati suasana puncak seraya berharap matahari akan muncul dan pemandangan indah dari sekitar gunung dapat tersibak. Tak ada harapan, kamipun kembali turun menuju Camp 2 untuk bermalam.
Esoknya perjalanan turun melewati rute yang berbeda yaitu jalur SinChai yang lebih terjal namun dengan pemandangan lembah yang menawan. Jalur terjal berupa tanah merah ini diperparah dengan hujan yang turun sehingga amat licin. Setelah hutan terlewati, barulah tampak pemandangan lembah yang menakjubkan.
Dusun pertama yang ditemui adalah dusun tradisional yang dimukimi etnis Black Hmong. Sejenak kami beristirahat di sebuah bangunan sekolah yang sederhana di sini. Sambil memakan bekal siang, kami menikmati pemandangan indah yang terhampar dibawah. Rute turun yang terhampar dibawah seperti menjanjikan perjalanan yang menyenangkan untuk dilalui. (2011)
@districtonebdg