Salah satu rute backpacker di Laos yang masih membuat penasaran adalah rute Utara menuju Hanoi, ibukota Vietnam. Sejak pertama kali mengunjungi Laos tahun 2011, lalu 2015 dan 2017 maka rute Northeast ini belum dicoba. Biasanya rute ini dimulai dari Luang Prabang sebagai destinasi wisata UNESCO heritage di Laos. Ada dua jalur menuju Hanoi dari Luang Prabang yaitu via Oudomxay dan Ponsavan. Tadinya dipikir semua rute itu akan melewati Dien Bien Phu, namun hanya jalur Oudomxay yang menuju kota itu.
Bila memesan tiket bis menuju Hanoi, maka hampir bisa dipastikan akan memakai rute Ponsavan yang lebih pendek,. Namun karena memilih singgah di Dien Bien Phu, saya membeli tiket bis menuju Dien Bien Phu saja yang berarti melewati Oudomxay. Kota ini pernah terlewati tahun 2015 kala datang dari arah Luang Namtha.
Bis kecil menuju Dien Bien Phu dikatakan berangkat jam 6 pagi dari terminal Naluang. Walau skeptis berangkat tepat waktu, terpaksalah tetap bergerak pagi-pagi sekali dari hotel, berjalan kaki ditengah hujan yang mengguyur sejak subuh. Bukan hari keberuntungan tampaknya, padahal sejak datang dikota ini cuacanya panas ngajeos. Karena tak membawa rain coat, terpaksalah ngingkig memakai sarung melindungi guyuran air dari langit. Ya sarung amat berguna… jangan pergi tanpa membawa sarung.
Kala melewatinya tahun 2015 sedang dilakukan perbaikan jalan di kawasan ini sehingga sesuai prediksi jalan menuju Oudomxay sangat mulus. Jalur menuju utara ini melipir pegunungan, tampak sungai jernih disebelah kanan selalu menyertai. Singgah untuk makan siang di Oudomxay, perjalanan dilanjutkan ke Muang Khua -kota terakhir sebelum perbatasan. Kota kecil di pegunungan ini sekilas tampak cukup menyenangkan, tampak sebuah hotel yang cukup representatif juga. Beberapa pejalan menyarankan transit disini bila ingin menghindari perjalanan 12 jam Luang Prabang – Dien Bien Phu yang membuat panas bujur.
Pos imigrasi Tay Trang terletak di pegunungan, tak banyak yang melintas saat tiba sekitar jam 4 sore disini. Seperti biasa, petugas mengutip “biaya stempel”. Hal yang kerap dijumpai di Laos dan Kamboja, wajar…negara kismin. Tak perlu banyak argumentasi, toh cuma 10.000 kip, sekitar 16 ribu rupian. Seorang backpacker Spanyol yang misuh-misuh “disetrap” oleh petugas imigrasi yang kesal. Wong cuma sedolaran aja ribet, mungkin begitu pikir mereka.
Pos imigrasi Vietnam terletak sekitar lima kilometer dari pos imigrasi Laos, melewati jalan melipir pegunungan. Disini proses stempel berjalan lancar tak ada kutip mengutip, entah kalo si Spanyol karena naik bis paling akhir. Darisini kota Dien Bien Phu hanya berjarak sejam perjalanan. Setiba di terminal bis, langsung dikerubuti supir taxi. “Xe om..xe om..,” ujar saya dengan lafaz Vietnam sefasih mungkin padahal cuma itu yang tahu hehe… xe om artinya ojek, merekapun membiarkan saya melenggang dibonceng ojek ke hotel dengan tarif 20 ribu dong sekitar 13 ribu rupiah.
Esoknya, perjalanan malam ke Hanoi dilakukan dari terminal bis yang sama. Tak banyak yang bisa diceritakan karena tidur sepanjang perjalanan. Sleeper bus selalu menjadi favorit karena menghemat biaya hotel dan sebetulnya cukup nyaman untuk tidur. Sekitar pukul 6 pagi tiba di terminal bus Yen Nghia yang berada dekat stasiun MRT..waduh, Hanoi ternyata sudah lama punya MRT. Sementara Jakarta baru eforia sebulan lalu.
Di terminal seukuran Kampung Rambutan ini sempat celingukan mencari arah ke bandara dan tak mendapati tanda-tandanya. Mengandalkan kata kunci san bay No Bai akhirnya dapat juga arah menuju bandara No Bai diluar kota Hanoi yaitu memakai bis no 27, lalu dilanjutkan memakai bis no 7 disuatu tempat,entah dimana. Karcis bis di Vietnam cukup murah. kedua bis itu tarifnya 7000 dong. Sedikit tips di domestic departure bandara No Bai, ada resto cukup murah dengan wifi ngabret di lantai tiga. Saya memesan nasi goreng, kopi hitam dan segelas air putih dibandrol seharga 80.000 dong saja.
@districtonebdg