Penulis : Siti Amineh
Tadi pagi kejadian juga saya ngeliat salah satu hutan kota di Bandung, yaitu Hutan Kota Babakan Siliwangi. Ruang Wilayah Terbuka ini terbilang agak kekinian karena baru dalam waktu 5-6 tahun dicanangkan jadi hutan kota. Yah, kalau dari sisi luas, dibandingkan dengan ‘seniornya, Hutan Kota Ir. H. Djuanda, yang sudah terkenal seantero Indonesia dan Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia, hutan kota yang terletak di bekas Restoran Lembur Kuring ini gak ada apa-apanya. Tapi dari sisi letak, juara lah. Dan mungkin niatnya Pemkot adalah untuk memenuhi kuota penyediaan Ruang Terbuka Hijau untuk publik yang 20% ya**, makanya hutan kota satu ini kemudian dirapikan. Mungkin yaa
Bersama Kang Bais dari District One, saya menapaki langsung jalur yang sudah tersedia dan lengkap dengan pagar hijau kiri kanan. Kang Bais sendiri adalah pengelola District One, vendor peralatan aktivitas outdoor dan perjalanan wisata Bandung dengan jalur anti-mainstream. Jalur jelajahnya terbuat dari kayu dan ditopang dengan besi sepanjang kurang lebih 3 meter yang membentuk huruf V terbalik. Terbagi menjadi dua bagian: bagian yang mendekat ke Jalan Siliwangi dan bagian yang mendekat ke areal olahraga Sasana Budaya Ganesha serta terhubung dengan dua buah jembatan. Bagian awal jalur agak menanjak baru kemudian terbagi menjadi dua arah: ke arah Sasana Budaya Ganesha dan arah sisi Jalan Siliwangi. Selama perjalanan, saya bisa merasakan dekatnya jarak saya dan pohon-pohon yang membawa aroma hutan (maksudnya pohon-pohon tinggi). Dan memang jadi berasa di hutan belantara, sih, plus berasa hirupan udara yang segarrr.
Jalur jelajah yang ada ternyata tidak sepanjang yang saya pikirkan. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya keringat yang mengucur dan nafas tidak ngos-ngosan. Disain jalurnya sendiri terlihat berusaha tidak merusak lingkungan karena tidak membabat membabat pohon yang berada di tengah jalur jelajah. Komprominya ada pada pengaturan jalur yang dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki banyak alur naik turun. Tidak lupa, tersedia poin yang mengakomodasi kebutuhan untuk melihat pemandangan dari titik paling atas serta titik untuk swafoto alias selfie. Di awal perjalanan, Kang Bais sempat bilang: jaman sekarang tempat wisata alam selalu menyediakan titik khusu untuk swafoto, supaya orang-orang dating berkunjung. Bagus juga sih. Paling pekerjaan rumah yang paling kasat mata adalah bagaimana membuat tempat wisata tersebut terjaga dari sampah bawaan para pengunjung, selain juga merawat keberadaan si tempat wisata tersebut agar tetap nyaman.
Dan ini terbukti. Pada saat menyusuri jalur yang menempel ke Jalan Siliwangi, ada satu titik dengan pagar pembatas yang rebah di kedua sisinya dan jalur jelajah yang terbuat dari kayu terliat tidak sama rata dengan bagian lainnya. Ngeri-ngeri sedep juga ngeliatnya. Dengan semangat, mangga nu pameget di payun (Silahkan, cowo duluan jalan. Bhs Sunda. Red), Kang Bais duluan, dan saya menyusul setelah melihat beliau tiba dengan selamat…hehehhe. Sampah pun keliatan di sisi kiri dan kanan, walaupun tidak pada seluruh jalur perjalanan. Untuk masalah satu ini, sepertinya bisa ditanggulangi dengan menyediakan tempat sampah sepanjang jalan dan papan-papan peringatan untuk membuang sampah pada tempatnya.
Hutan Kotan Babakan Siliwangi saya tempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama (15-20 menit). Jalur jelajah yang sangat akomodatif untuk seluruh usia (kecuali titik yang rusak tadi ya)yang lengkap banyak titik swafoto, saya kebayang kalau mau jalan-jalan melihat pohon-pohon tinggi tanpa harus ribet menempuh perjalanan ke luar Bandung, inilah tempat yang cocok. Apalagi pada bagian yang mendekati ke Sasana Budaya Ganesha, ada titik yang cocok untuk gelar tikar dan buka bekal makanan dari rumah alias nge-botram. Wah, lengkaplah sudah. Terus terang, kesan awal saya ketika melihat jalur jelajah ini adalah suasana hutan kota di Singapur. Enggak bisa dipungkiri ya, karena mastermind-nya berlatang belakang perencanaan kota dan menjadikan Singapur kiblat untuk pembangunan kota. Saya pribadi suka dengan penataan tata ruang Singapur. Semuanya ditata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Ya, gak masalah kan, kita ambil yang baiknya?
Dan kalau mau diperbaiki lagi, hutan kota ini alangkah baiknya kalau dilengkapi dengan papan informasi berisi sejarah hutan kota, luas, jalur jelajah, dan nama-nama pohon yang ada di sepanjang jalur. Lebih asoy lagi kalau ditambah lampu, jadi bisa menjelajah dan berfoto di malam hari…hehehehhe
Waktu berkunjung seperti bisa kapan saja ya. Hanya kalau berniat hunting foto, datanglah pada golden moment (sblm jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore). Saya sendiri udah niat lain kali kesana akan hunting foto sekalian membawa keponakan-keponakan saya. Kalau mau lanjut, tinggal nyebrang deh ke Teras Cikapundung, menikmati air mancur menari dan terapi ikan. (***INA)
Bandung, 12 Agustus 2017
* Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 ayat (3)