When the students are ready, the teacher will appear
Perjalanan hiking kali ini agak berbeda. Awalnya saya, Melly, Jule, Tatu, Desi, Meni, dan Riris ingin memanfaatkan liburan Imlek dengan hiking sambil bersilaturahmi dengan warga Desa Cibeusi yang sudah kami anggap sebagai our second home. Bersilaturahmi dengan warga di curug Cibareubeuy atau sekedar ikut mandi melepas penat di curug Cibihak memang sudah seperti rutinitas para d1vais. Tapi kemudian timbul ide untuk menyambangi curug lain saat Cibareubeuy sudah semakin ramai dan Cibihak sudah bukan lagi seperti curug milik pribadi.
Berawal dari hasil survey team District One ke Curug Ciregoh di tahun 2018 lalu. Namun tidak seperti hasil survey lain yang langsung ditawarkan trip, DO seperti menunda-nunda trip ke curug Ciregoh. Seperti hare-hare bila ditanya kapan ada trip ke Ciregoh. Ada apakah?
Kami dari grup D1VA seperti tertantang juga tidak mau ketinggalan untuk mengetahui keberadaan curug tersebut, apalagi mendengar sekarang sudah bisa disambangi turis hiking.
Rencana pun dibuat mendadak, 3 hari sebelumnya. Dengan mengandalkan Andri, warga lokal untuk mengantar kami yang menurutnya curug Ciregoh bisa diakses dan tembus dari curug Cibihak. Walau enggan leading trip, DO tetap menurunkan salah satu guide nya, Adlan, untuk mendampingi.
“Besok buat melapis safety aja,” pesan yang diterima Adlan dari komandan.
Trek yang diambil via curug Cibihak sebetulnya berbeda dengan info survey yang menyebutkan jalur ke Ciregoh tidak melewati curug ini. Tapi, hey, siapa tau ada jalur lain?
Pagi-pagi di hari Selasa,kami pun penuh semangat berkemas untuk melakukan hiking. Tidak ada sesuatu yang aneh saat berjalan menuju ke arah Curug Cibihak kecuali melihat Elang yang mengudara tinggi di langit sedikit mendung, pemandangan yang sebenarnya jarang saya lihat bila mengunjungi wilayah ini.
Kami beristirahat sebentar di curug Cibihak setelah kurang lebih berjalan kaki 45 menit dari Cibeusi. Rombongan berjumlah total 9 orang ini pun meneruskan langkah menanjak ke punggungan bukit yang lebih tinggi.
Sekitar 30 menit kemudian kami tiba di sebuah pondok kosong tempat mengolah gula aren. Gelap dan terasa dingin. Warga lokal yang mengantar kami memberitahukan bahwa perjalanan masih panjang karena harus melewati curug Cisaronge dahulu sebelum ke destinasi akhir. Kami pun meneruskan berjalan, cenderung menanjak, melewati hutan yang semakin rapat, melewati setapak sempit dengan sisi kiri jurang dan kanan lereng tebing dengan hutan yang gelap dan rimbun sampai akhirnya suara gemericik air yang semakin jelas mendekat. Rupanya kami sudah tiba di curug Cisaronge. Tidak berlama-lama di sini, karena terburu-buru ingin melanjutkan perjalanan.
Dengan menyebrangi curug kecil berair deras tersebut, kami pun terus berjalan meneruskan jalur setapak rimbun sampai tiba di area tanpa setapak sama sekali. Andri dan Adlan pun mencoba menebas ranting pohon dan semak agar bisa dilewati. Area tersebut berupa lereng dengan kemiringan yang membuat kami agak bersusah payah mencari pijakan maupun ranting kuat sebagai pegangan. Drama jatuh terjerembab pun menjadi bumbu cerita hiking kali ini tapi kami selalu ceria dan bersemangat melanjutkan perjalanan. Mungkin karena perut kami selalu diisi, jadi baterenya gak pernah mati…hahaha…
Perjalanan terasa stuck ketika pergerakan semakin lambat. Kami semakin kehilangan jalur dan tak tau arah. Adlan mencoba berjalan paling depan untuk melihat dulu jalur yang aman untuk dilalui. Beberapa menit kemudian dia kembali dan bilang kalo jalur yang kita ambil bukan jalur yang seharusnya alias tersesat, waduh….karena di depan jalur yang kami ambil terhalang lereng batu dan jurang. Adlan memberikan masukan, “Sangat beresiko bila dilanjutkan, apalagi jam segini kita masih di sini. Kalo memaksakan, apalagi kita sendiri tidak tau track di depan nanti seperti apa, akan repot bila sore semakin tiba”. Akhirnya saya memutuskan mengajak teman-teman untuk balik kanan dan bermain air di Cibihak saja. “Apa mending di curug Cisaronge aja dulu kita buka kompor dan bikin kopi?” Andri memberikan ide. “Tidak, lebih baik di Cibihak saja” saya bersikeras. Entah kenapa saya merasakan sesuatu yang aneh ketika berada di Curug Cisaronge yang gelap, dingin, dan terasa berbeda tersebut.
Ketika kami berjalan balik, grup terbagi dua, saya di barisan terakhir bersama Riris, Desi, Adlan dan Jule. Sementara Tatu, Melly, Meni, dan Andri ada di depan berjarak 10 meteran dengan grup belakang. Kurang lebih setelah 15 menit berjalan , tepatnya sebelum curug Cisaronge, saya mendengar suara yang familiar dari balik hutan yang rapat. Suara yang saya hafal tapi tidak mau menyimpulkan terburu-buru karena tidak yakin dan takut membuat gugup teman yang lain. Saya mencoba melirik sedikit ke arah suara, sambil bertanya pada Jule yang berada di depan saya, “Jul, kamu denger suara-suara aneh gak”. Rupanya Jule juga sedang berpikir akan suara tesebut “ iya, ada suara, suara apa ya” . Kami berdua terdiam, suara itu kembali ada, terasa dekat di telinga saya dan Jule. “Tuh Jul, ada lagi”. Jule pelan berbisik “Hooh uy, sebelah kiri” Saya menoleh ke Adlan yang berada di belakang saya, “ Denger suara gak dari sebelah kiri”. Dia jawab “sepertinya yang teteh maksud suara mesin pesawat terbang mungkin teh” ” Lalu saya bilang ke Jule, “Jul, ternyata itu suara pesawat terbang kata Adlan ” karena memang saat bersamaan ada suara menggaung yang merambat di atas kami, bergemuruh seperti suara mesin pesawat. Jule tampak tenang mendengarnya. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali dengan tenang.
Setelah melewati curug Cisaronge lagi, jalur setapak pun mulai terbuka terang. Lalu saya mendekat ke Riris . Riris berujar, “Tadi denger suara aneh gak teh? Kayak suara gergaji kayu, tapi cuman dua kali, terus seperti suara mesin, tapi masa iya juga itu suara mesin gergaji, bingung suara apa, tapi mirip gitulah, aku sih diem aja, gak mau mikir macem-macem”.
Desi pun menimpali “Desi juga denger, tapi diem aja gak berani ngomong, berdoa aja terus dalam hati”
Setelah tiba di Cibihak, grup depan yang rupanya tidak mendengar suara tersebut langsung nyebur mandi menikmati segarnya air curug. Sementara kami grup belakang lebih senang membuka bekal kami, memasak air panas, menyeduh kopi, dan membuat perapian. “Kita bikin perapian, biar dia tidak mendekat” Adlan berinisiatif.
Setelah beres kami berjalan pulang ke saung sawah tempat kami memesan liwet untuk makan siang (tepatnya makan sore karena kami makan jam 4 sore, hahaha). Di sana saya baru mengabarkan perihal kejadian saat tadi di lereng ke teman-teman yang berada di grup depan. Juga memberithau pada pemilik saung apa yang kami alami. Saya bilang padanya sepertinya terlalu beresiko kalo membawa turis hiking ke Curug Cisaronge.
Menurut pemilik saung pula kami tahu kalo wilayah ini bukan perlintasan pesawat terbang. Waduh, tambah kacau sih ini. Untungnya kami sudah di berada di lokasi penduduk.
Dalam perjalanan pulang, di mobil tidak hentinya membicarakan pengalaman luar biasa ini. Iseng-iseng di You Tube kami search suara macan, OMG ternyata yang kami dengar persis sekali dengan suara macan tutul. Semakin kami yakin apa yang kami dengar adalah suara si raja hutan.
Alhamdulillah, kami semua baik-baik saja. Saya masih kagum terhadap teman-teman D1VA yang bisa tetap tenang dan tidak panik. Sama halnya saya pun saat itu merasa tenang, dalam hati saya merasakan bahwa dia hanya ingin memberitahu bahwa itu wilayah territorinya, tolong jangan dimasuki.
It will be our unforgetable hiking experience . Begitulah, hiking di hari Imlek, disambut suara pemilik shio 2022 di tempat favoritenya, curug Cisaronge. Ada yang tau kira-kira ini pertanda apa?hehehe
Bandung, 4 Februari 2022
Penulis,
Tanti Brahmawati