Trail Running di Perkebunan Kina, Kenapa Tidak?

IMG-20150530-01133Selain surga kuliner dan factory outlet, kota Bandung juga seperti surga bagi penyuka trail running, begitu banyak lokasi yang bisa dijadikan arena berlari di alam bebas. Salah satunya adalah kawasan perkebunan kina di kaki gunung Bukittunggul. Kawasan perkebunan Bukittunggul memiliki topografi berbukit dengan ketinggian tempat 1.200 – 1.650 meter dpl. Dahulu disini hanya ada perkebunan, namun sekarang manajemen PTP VIII sudah mengembangkan pula agrowisata.

Menuju perkebunan kina  Bukittunggul bisa melalui Palintang atau Cibodas. Menyusuri perkebunan kina di kawasan Bukittunggul ini juga bisa menjadi alternatif refreshing karena banyak warga Bandung sendiri yang belum mengetahui keberadaan “Bandung outback” yang hanya berjarak sejam dari jalan Dago. Sehingga kawasan ini seperti keindahan yang tersembunyi.

Bagi penyuka trail running kawasan ini pun cukup kondusif  karena jalur untuk berlari disini sangat banyak, kita bisa memilih kearah mana akan berlari apakah sekitar gunung Palasari, menuju Sanggara, kearah Bukittunggul atau Pangparang. Atau berputar-putar disekitar perkebunan pun dijamin tak akan kekurangan view yang menawan.

Kayanya jalur koral disini merupakan surga bagi para pelari yang enggan bercumbu dengan  jalanan aspal. Bagi yang belum terbiasa arah jalan koral memang bisa membingungkan, maka sebaiknya lengkapi dengan aplikasi GPS yang bisa membantu arah. Namun sebetulnya dengan melihat arah gunung-gunung disekitarnya, kita tak akan kehilangan arah.

Bila membawa mobil banyak lokasi untuk parkir yang nyaman : Situ Sangkuriang, curug Batu Sangkur, camping ground atau di area tanah lapang gunung Kasur. Setidaknya sekali cobalah segarnya lari pagi di perkebunan kina, naik turun bukit yang diapit pegunungan. @districtonebdg

Menguji Endurance di Manglayang Trail Running

11933483_10206073067959083_276307221143560331_n11924260_10206162874403309_1084945937940722152_n

 

 

 

 

Manglayang Trail Running (MTR) pertamakali digelar tahun 2015 tepatnya tanggal 22 Agustus, kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara HUT ke-33 Palawa Unpad selain seminar nasional soal karst, riung mungpulung serta bhakti sosial, dan penanaman pohon di areal Gunung Manglayang yang berada di belakang Kampus Unpad. MTR 2015 terbagi dua kategori yakni 21km Half Marathon dan 10km Short Course. Manglayang Trail Running mengambil lintasan dari Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor ke arah Baru Beureum, melalui Bumi Perkemahan Kiara Payung dengan trek berupa punggungan yang menantang.

Setelah sebelumnya dengan berbagai alasan selalu enggan mengikuti event trail running dimanapun, kali ini kami terbujuk juga memeriahkan trail running  di Manglayang karena sebagian besar kepanitiannya merupakan para sahabat.

“Mahal.. rek lari wae mayar ratusan rebu,” biasanya itu grendelan utama enggan mengikuti event. Masuk akal sebenarnya, karena biasanya uang pendaftaran diatas 200 ribuan. Sedangkan bila lari sendiri di Tahura misalnya cukup merogok kocek 10 ribu. Apalagi kalau larinya di trek alam yang notabene tanpa biaya masuk.

 

11958307_10206158435172331_8092292474107424171_oNamun tentunya tak semua menganggap biaya itu mahal, karena knowledge tentang rute adalah hal yang berharga, belum lagi support yang didapat selama event yang menjamin berlari yang aman dan nyaman di jalur off beaten track. Belum lagi kalau bicara gengsi dan hobby. Baiklah, tiap orang punya pendapat sendiri-sendiri. Sementara menurut kami lari hanyalah untuk berlari saja.

Namun Manglayang Trail memang berbeda, karena punya nilai historis pada almamater yang terletak di kaki gunung Manglayang.  Akan membuat tersipu malu  bila dikatakan suka petualangan namun tak hapal halaman belakang tempat dulu sering bercanda riang. Jadilah kami membulatkan hati mendaftarkan diri untuk short course 10K dan half marathon 21K, tanpa target apapun selain berpartisipasi dan mengukur kemampuan diri.

Perbedaan vegetasi dan lansekap alam antara Bandung Timur dan Utara, segera terasa kala kita akan berlari di wilayah Jatinangor. Berlari di Tahura atau Cikole kita seakan dipayungi oleh kelebatan hutan. Sementara itu medan yang terbuka di Jatinangor didominasi semak dan ladang di jalur 10K yang relatif landai, sementara jalur 21K  membawa peserta naik turun bukit untuk menikmati view fantastis dibawahnya. Satu-satunya keteduhan barangkali di area hutan bambu sekitar Barubeureum. Entah finish diurutan berapa, namun kami senang bisa ikut berpartisipasi dalam event trail running ini, selain berada diantara para sahabat lama juga sebuah kilas balik tahun-tahun yang berlalu. Tak sabar rasanya kembali bercumbu dengan alam Manglayang di even berikutnya di tahun 2016. @districtonebdg

 

 

 

Naik Turun Bukit di Jalur Trail Running Gunung Lingkung

IMG-20151229-00117 IMG-20160218-WA031

Setelah beberapa kali hiking di kawasan Cikole, tergoda juga untuk menjajal  single track gunung Lingkung yang indah itu dengan berlari.  Maka tanggal 17 Februari, para pelari District One yaitu 3B (Bar, Bobby, Bais ) pertamakalinya mencoba jalur trail running jalur  Cikole – Gunung Lingkung –curug Cibareubeuy . Jalur sepanjang 13 kilometer ini memiliki medan variatif dengan dominasi hutan lebat. Sebut saja hutan pinus, kebun kopi, semak, sawah hinggal aspal (yeakh..).

Bila sudah memasang mode single track, rasanya paling malas berjumpa kembali dengan jalan aspal. Namun apa boleh buat, setelah turun dari gunung jalur akan bertemu aspal di desa Cimulya sepanjang satu kilometer sebelum kembali naik bukit.

Sekitar pukul sebelas lari-lari kecil dimulai dari Treetop Cikole, tak memakan waktu lama mereka bertemu tanjakan pertama serupa slope yang cukup panjang menuju kebun kopi.

Setelah melahap tanjakan, mereka sejenak menarik nafas di pertigaan kebun kopi. Ke kiri maka jalur  akan menuju Wates dan ke kanan lah arah yang dituju menuju gunung Lingkung. Darisini single track yang lebar benar-benar memanjakan para pecinta hutan, dengan disisi kanan kiri pepohonan besar dan rimbun sungguh memanjakan mata. Welcome to the woods..!  Arah jalur lari terus lurus kedepan, walau ada beberapa persimpangan yang menggoda  untuk ke kiri dan ke kanan. Beberapa persimpangan inilah yang menyebabkan banyak pejalan kehilangan arah didaerah ini, hingga berputar-putar tak keruan. Setiap orang yang lewat sini pernah mengalaminya, linglung di gunung Lingkung.

Arah yang lurus ini membawa ketiganya ke puncak gunung, dimana sebelumnya otot paha dipaksa bekerja keras. Sesekali berhenti sah-sah saja toh, selain menddinginkan otot yang terasa panas juga kesempatan menarik nafas. Area puncak merupakan dataran cukup luas, dengan sebuah shelter sederhanan dari kayu. Kabut mulai menyapa, hingga suasana menjadi cukup dramatis setiba di puncak. Disini sejenak beristirahat, mengganti cairan tubuh dan memasukkan kalori baru dari beberapa bekal yang dibawa.

Turun dari gunung menrupakan jalur downhill yang menantang, terkadang tikungan demikian  tajam hingga harus berpegangan ke batang pohon kala menahan tubuh yang melaju deras. Lari zig-zag di trek terkadang harus dilakukan dalam mengakali turunan yang curam. Di beberapa tempat, lari-lari diganti berjalan saja karena di kiri jurang, khawatir bila tak bisa mengerem langkah.

Jalur downhill ini membawa ke sebuah warung di sisi kiri jalur setapak. Mang Entoy, sang empunya warung selalu siap menyambut tamu. Sayang kali ini warungnya sedang tutup karena tampaknya sedang memasak gula aren. Biasanya, disinilah tempat para pejalan untuk berhenti sejenak melepas lelah, sekedar minum kopi atau lahang bersama penganan ringan yang disediakan mang Entoy.

Selewat dari warung, turunan tak lagi sebrutal sebelumnya. Tinggal mengatur irama langkah saja hingga turun ke jalan aspal desa Cimulya. Pfff.. jalan aspal, seperti sedang makan lalu tersedak.. begitulah menggambarkan pertemuan single track dengan aspal.

Setelah “disiksa” jalan aspal, sebuah belokan menanjak bukit di kiri kembali membawa para pelari ke jalur tanah. Trek yang menanjak ini cukup membuat kehabisan nafas, jalan tanah yang lebar ini menurut warga rusak parah oleh bekas motor trail. Itulah sebabnya banyak yang resisten terhadap motor trail, karena aktifitas mereka sering merusak jalan. Beda dengan lari khan hehe..

Ada tiga jalur dari aspal menuju curug yaitu jalur bukit, sawah dan selokan. Terbuai eforia semakin dekat ke tujuan dengan gagah berani ketiganya memilih bukit saja..ambil yang paling menantang dong..kagok edan.. lagipula setelah melewati bukit ini tempat yang dituju yaitu curug Cibareubeuy akan segera sampai. Begitu awalnya dengan semangat membara melahap tanjakan bukit.

Namun di tengah jalan, semua berubah pikiran..nafas yang tersengal membuat berpikir ulang. Akhirnya realistis saja..meloncat ke jalur datar yaitu sepanjang saluran air disamping bukit. Disini ada insiden kecil, Bais yang berada di posisi depan tiba-tiba dipotong jalurnya oleh seelor ular yang besar. Sontak ia shock, lalu birat lari seperti dikejar pocong.

Biasanya di Kampung Senyum, yaitu sebuah desa buatan untuk berwisata di area curug, ada yang stanby menyambut pengunjung. Disini kita bisa memesan nasi liwet atau sekedar menikmati minuman hangat dan gorengan. Namun kali ini sedang apes, tak seorangpun disana. Alhasil, perut yang lapar ini tak bisa diisi. Terpaksalah melahap beberapa makanan sisa yang dibawa sepanjang berlari tadi, beberapa potong coklat.

Rencana melanjutkan lari uphill ke Wates tak jadi dilakukan. Tadinya setelah diisi nasi liwet, perjalanan kembali dilanjutkan masuk ke hutan menuju ke Wates. Itu sekitar lima kilometer dengan jalur menanjak. Namun apa daya tak ada tenaga tambahan dari sini…sebetulnya lega juga tak harus uphill ke Wates hehe.. Merekapun mundur teratur,kembali mengevakuasi diri ke Cibeusi dengan jalur paling singkat yaitu melewati sawah. Lapar, begitulah, tak ada lagi gagah-gagahan.

 

 

 

Trail Running Dago Pakar-Maribaya Menyegarkan

Lokasi Taman Hutan Raya Juanda yang terletak di tengah-tengah wilayah Bandung awalnya dikenal sebagai Kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari. Hutan ini  merupakan kawasan pelestarian alam  yang   berfungsi sebagai paru-paru kota Bandung. Jaraknya hanya lima km dari Gedung Sate sebagai pusat pemerintahan Jawa Barat.

Kawasan hutan kota ini memiliki daya tarik wisata alam yang cukup beragam seperti pemandangan alam, flora dan fauna serta keadaan udaranya yang sejuk dan nyaman.Di dalam kawasan Taman Hutan Raya terdapat berbagai obyek wisata yang cukup menarik seperti Monumen Ir. H. Juanda yang terletak pada suatu plaza, gua-gua buatan peninggalan jaman kolonial, Kolam Pakar yang merupakan kolam buatan seluas 1,15 Ha yang berfungsi sebagai tempat penampungan air yang berasal dari sungai Cikapundung. Serta terdapat beberapa buah curug (air terjun) antaralain Curug Dago dan Curug Omas.

Menuju Dago Pakar atau yang kini disebut Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda, kita tinggal menyusuri jalan Dago hingga habis di terminal Dago Elos. Dari sini tinggal diteruskan jalan menuju Tahura. Bila anda merasa kehilangan suasana hutan alami dan udara yang segar, maka di kawasan Dago Pakar kerinduan itu akan terobati. Setelah membayar tiket masuk Tahura sebesar Rp 12.000 (2016) kita bisa segera menikmati suasana hutan yang asri ini.

Selain popular untuk hiking, jalur Dago Pakar-Maribaya ini juga sangat mengasyikkan untuk digunakan sebagai trek lari. Jarak trail running antara Dago Pakar – Maribaya ini sekitar lima kilometer, jadi bila pulang pergi akan genap 10 km. Namun jarak itu seringkali tak terasa karena pelari dimanjakan oleh suasana hutan dengan view lembah sungai Cikapundung yang menawan. Bila ingin beristirahat tinggal menepi ke warung-warung yang bertebaran sepanjang jalur, dan bila tak kuat pulangnya bisa menumpang ojek dari Maribaya.

Medan yang akan ditempuh dari Dago Pakar menuju Maribaya adalah tanjakan-tanjakan bukit yang cukup menantang. Bila dihitung setidaknya ada lima tanjakan yang cukup panjang  dari Dago Pakar hingga jembatan Maribaya, plus satu tanjakan terakhir menuju curug Omas. Tanjakan terakhir inilah yang paling panjang dan tegak. Bila kondisi sedang tak fit benar, saya jarang melanjutkan melahap tanjakan ini, cukup sampai jembatan Maribaya saja sehingga jaraknya hanya 4,5 km dari Dago Pakar. Bila anda penyuka lari, tak ada salahnya mencoba jalur Dago Pakar-Maribaya ini dan bukan tidak mungkin akan ketagihan menjajalnya secara rutin.

Selain jalur normal paving blok,  terdapat jalur hutan diatasnya yang lebih sepi dan alami. Single track  yang dipakai untuk Tahura Trail Running ini sebenarnya jalur sepeda yang sudah tak terpakai, di beberapa tempat jembatan bambunya sudah usang dan roboh. Namun pemandangan jalur ini sangat menawan, sehingga tak ada salahnya untuk dicoba. Menuju kesini, kita harus melewati jalan raya dulu ke arah warung bandrek/tebing keraton, lalu di pertengahan jalan ada jalan masuk ke Tahura.