Disruptive Pasar Ransel Outdoor di Indonesia

Dulu carrier yang berkualitas yahud masihlah jarang, amat susah mendapat akses ransel branded dari luar negeri. Kalaupun ada harganya sering tak terjangkau para backpackere.

Tentu kita bisa maklum karena kala itu industri ransel baru menggeliat dan belum mampu memenuhi tuntutan kualitas dari pegiat petualangan yang aktif. Merk Jayagiri memang sudah ada sejak ’78 namun seperti tak serius hingga muncul sempalannya Alpina sekitar ’85. Pebisnis Eiger menyusul ditahun ’89 seterusnya Avtech ’91dan Consina 2001 yang keduanya berangkat dari pegiat seperti juga Alpina. Juga Rei eh salah Arei (hehe) konon didirikan 2005 tapi mungkin baru sepuluh tahun kemudian dikenal publik. Banyak merek lain juga bertebaran seperti Boogie, Giant, Cartenz dll tapi sekitar itulah sejarah kasarnya.

Selain brand lokal yang saling berebut pasar, masuk juga brand ternama seperti Deuter yang dipasarkan toko Tandike. Segelintir brand luar juga dipasarkan oleh beberapa toko namun karena harganya yang tinggi tidak terlalu mengganggu pasar. Juga ada yang sporadis memasarkan merek The North Face hasil bocoran pabrik atau membuatnya sendiri dengan meniru model aslinya. Teknik hit and run ini hanya membuat ceruk mikro di pasar.

Namun sejak 2011 dunia ransel outdoor di tanah air guncang dengan merembes masuknya merk-merk branded yang terjangkau. Pasar kontraksi hebat dan debat panas di Kaskus antar konsumen yang mulai melek merk global. Bila konsumen giat berdebat, produsen geram berikut panik, beberapa dengan berbagai cara coba menghadang serbuan barang dari luar ini, terutama dari Vietnam. Hasilnya nol, tak ada gunanya melawan pasar yang berkekuatan seperti black hole.

Merk asing seperti Jack Wolfskin, 5.11 , Quechua, Millet, Osprey dan sebagainya yang baru terdengar disini, masuk deras bersama merk yang sudah familiar seperti Deuter dan The North Face. Legiun brand luar masuk seperti tsunami dan didukung geliat market place tak siapapun yang bisa menghadangnya.

Bisa dibilang Jack Wolfskin termasuk brand yang paling awal menggebrak bahkan menjadi market killer pasar yang ada. Beragam kategori dilayani brand asal Jerman ini dengan tipe yang langsung disuka pasar : carrier dengan tipe Denali, semi carrier ada Highland trail atau Mountaineer dan daypack tersedia Moab, Fastrack dan sebagainya.

Brand-brand lain seperti Millet, Berghaus dll segera menyusul masuk hingga perlahan kepopuleran JW memasuki masa jenuh, namun selama beberapa tahun pasar tak akan pernah lupa perkasanya JW yang mendapatkan momentum dari kurang inspiratifnya model brand lokal.

Masuknya brand luar disertai makin gencarnya e-commerce alias market place, menjadi momok pasar outdoor konvensional. Para pemain besar kala itu yang merasa berada di zona nyaman gagal mengantisipasi. Bahkan pemimpin pasar seperti Eiger dipaksa koprol merubah strateginya bila tak ingin keterusan sempoyongan seperti toko flagship andalannya Outlive di bilangan Setiabudi, Bandung yang akhirnya karam seperti kapal induk Jepang Yamato dalam pertempuran Midway.

Berbeda dengan pasar konvensional yang dikuasai pemain besar, dalam pasar yang baru pemain kelas UMKM mendapat porsi yang besar. Mereka bisa bergerak lincah di market place tanpa terikat berbagai legalitas. Brand-brand lokal penguasa pasar yang didominasi pemodal besar kini kalah taring dengan UMKM kelas ecek-ecek yang kini dimudahkan punya link ke brand luar.

Walau pasar berubah, brand lokal tetap akan memiliki segmen yang besar di pasar karena harga yang lebih murah. Mereka juga telah berusaha keras meningkatkan kualitas produknya sehingga kita bisa optimis tetap bisa tumbuh.

Namun bila bicara fashion tentu mereka harus bersikap rendah hati.. yep, reality bites. Lihat saja di tempat-tempat yang populer seperti Alun-alun Suryakencana, danau Ranu Kumbolo atau Segara Anak yang tak ubahnya catwalk brand-brand luar yang kuat seperti Osprey, TNF, JW dan sebagainya. Bahkan penguasa pasar lokal katakanlah Eiger akan seperti mengusung misi bunuh diri bila ingin menyaingi kekuatan brand equity global dari REI atau Patagonia misalnya.

Maha benar Osprey dengan segala torsonya

@districtonebdg

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (Tamat)

tradisi & icon di Luang prabangLuang Prabang, sebuah kota yang menjadi salah satu andalan bagi industry wisata di Laos. Sebuah kota yang ramai oleh para wisatawan, baik domestic maupun mancanegara, sebuah kota yang sadar wisata. Saat tiba di pusat kota Luang Prabang, kami langsung menuju sebuah café yang terletak di sebuah persimpangan jalan. Seteleh memesan minuman wajib yaitu kopi panas, kami pun duduk duduk sambil melihat sekeliling. Karena kursi kursi café itu terletak di halaman sebuah travel agent, maka kami bisa leluasa memandang aktivitas sekitar. Terlihat di seberang jalan, night market yang merupakan salah satu hiburan andalan di kota ini sudah mulai digelar, lampu lampu jalan warna warni menyemarakkan suasana sekitarnya. Sambil tentunya ber-wifi-an, dan akhirnya dapat mengabari kondisi kami kepada keluarga & rekan di luar sana sambil menikmati cerahnya suasana senja.

Malam itu kami menginap di sebuah guest house yang terletak di jalanan sekitar area night market, Sebuah guest house yang nyaman berlantai parquette. Sehabis mandi kami lalu menelusuri jalanan Luang Prabang, dari mulai area night market sampai kawasan backpacker di pinggiran sungai Mekhong.

Luang Prabang banyak dihiasi oleh bangunan bangunan khas Eropa, karena memang Laos adalah bekas jajahan Perancis, wajar jika kota ini ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Sayangnya bangunan antik tersebut banyak yang kurang terawat, catnya kusam dan mengelupas, sungguh sangat disayangkan, padahal bangunan bangunan tersebut bisa menjadi daya tarik wisata yang unik.

Keunikan tempat ini sangat jelas bisa dinikmati pada pagi hari. Usai menyaksikan upacara sedekah biksu yang telah menjadi bagian dari atraksi turis, sebuah moment dimana para biksu berbaris mengambil sedekah dari para turis dan penduduk setempat. Setelah itu kami berjalan menghirup udara segar pagi hari sambil menikmati suasana kota.

Menjelang malam, kami sudah standby di southern terminal Luang Prabang, kali ini kami berencana akan bergerak menuju Vientiane menggunakan Sleeper Bus atau Bus malam kelas sleeper dengan harga ticket 150.000 KIP/ orang, dengan pertimbangan menghemat biaya penginapan. Para backpacker dalam melakukan perjalanannya sering kali menggunakan bus malam baik itu kelas VIP atau Sleeper yang tempat duduknya dapat disetting sebagai tempat tidur dengan maksud menghemat biaya penginapan. Jadi biasanya saat sampai ditujuan mereka akan menghabiskan siang harinya untuk mengeksplore kota.

Saat kami sedang duduk duduk menunggu waktu keberangkatan, tiba tiba ada seorang bule menyapa…”hey guys, where are you going?” . Wow rupanya si turis Italia itu yang tempo hari bersama kami di terminal Luang Prabang, selanjutnya kami pun terlibat sedikit percakapan…rupanya dia juga akan bergerak meninggalkan Luang Prabang menuju Vientiane dan dari situ akan terus menerobos menuju Vietnam…wah, asyik juga nih perjalanan si italiano ini….bikin ngiler hehehehe.

Sementara rencana kami dari Vientiane akan terus menuju Nong Khai, kota perbatasan Laos-Thailand dan melanjutkan ke Bangkok untuk kemudian pulang ke tanah air. Akhirnya sesuai jadwal keberangkatan yaitu pukul 20.45, bus kami pun bergerak menuju Vientiane.

Sekitar pukul 04.30 AM kami tiba di Northern Terminal Vientiane, hari masih gelap & udara masih terasa dingin walau tidak sedingin saat di Luang Namtha. Kami pun turun dan duduk duduk sejenak di sekitar terminal sambil sedikit melakukan orientasi medan. Setelah menghabiskan sebatang rokok, saya pun beranjak mandi di toilet terminal setelah sebelumnya rekan saya Barbar mandi terlebih dahulu dengan membayar 5000 KIP. Sekitar pukul 06.00 AM kami pun melaju menggunakan tuktuk menuju pusat kota.

Vientiane adalah ibu kota Laos yang terletak di Lembah Mekong. Vientiane merupakan bagian dari prefektur Vientiane (kampheng nakhon Vientiane) dan terletak di perbatasan dengan Thailand. Penduduknya di tahun 2005 diperkirakan berjumlah 723.000 jiwa (Wikipedia).

Tidak berapa lama kami tiba di pusat kota Vientiane, jalanan masih sepi toko toko belum lagi buka, seperti halnya di Thailand atau Vietnam di sini pun toko buka rata rata pukul 10.00 pagi. Dari kejauhan di taman kota saya melihat beberapa orang sedang melakukan aktivitas olah raga. Kami pun melangkah ke arah taman yang letaknya dipinggiran sungai Mekhong tersebut dan mengambil beberapa foto.

Matahari mulai meninggi saat kami menjelajahi pusat kota, panas mulai terasa menyengat. Kami pun memasuki sebuah café untuk sekedar istirahat & berteduh sambil memesan minuman dingin. Sementara saya terkantuk kantuk dibuai sejuknya semilir AC di dalam café itu, rekan saya Barbar membuka buku Lonely Planet tentang Laos yang dibawanya saat berangkat. Tiba tiba dia menunjuk pada sebuah halaman di buku Lonely Planet tersebut di situ tertera judul “ Classic Routes” sebuah jalur klasik yang sering dilalui para backpacker yang di mulai dari utara Thailand kemudian menyebrang ke Laos selanjutnya menyusuri menuju selatan dan itu ternyata jalur yang kami lalui.

Setelah badan sedikit segar, kami pun melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Laos menggunakan tuktuk dan kami meminta kepada supirnya sebelum ke perbatasan untuk diantar ke Monumen Patouksai & Museum Sisaket atau Wat Sisaket yang merupakan icon dari kota Vientiane.

Sesampainya di pos imigrasi perbatasan Laos saya liat bejibunnya orang yang antri untuk melintasi perbatasan menuju Thailand. Hal ini sangat jauh berbeda saat kami melintasi perbatasan Thailand menuju Laos. Antrian panjang pun terjadi saat kami memasuki pos imigrasi Thailand di kota Nong Khai. Di kota ini lah kami mengakhiri perjalanan karena sore harinya kami menuju Bangkok untuk kemudian kembali ke tanah air.

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (2)

terminal Luang namtha pagi hariAkhirnya kami menemukan sebuah guest house untuk rehat malam itu di belakang terminal Luang Namtha setelah sebelumnya nongkrong sepeminuman kopi di sebuah kedai di pinggiran terminal. Suhu di Luang Namtha lumayan dingin bahkan saat di dalam kamar sekali pun. Fasilitas water heater yg terdapat di dalam kamar mandi kami tidak berfungsi membuat saya enggan mandi malam itu. Setelah sekedar bersih bersih saya pun mulai terlelap dibuai mimpi.

Kabut pagi yang tebal masih menyelimuti seputar terminal saat kami beranjak meninggalkan kamar guest house. Setelah mengisi perut dengan sandwich tuna, karena memang di sekitar situ susah untuk mencari nasi walaupun pada daftar menu tertera Fried Rice and Egg, Fried Rice and Chicken, dll tapi ketika kami memesan, nasinya tidak ada. Jadi saya pikir yang cukup mengalas perut untuk sarapan saat itu ya sandwich ditemani secangkir kopi hitam panas plus welcome drink teh khas laos…hmmm lumayan buat menghangatkan perut. Setelah ritual pagi beres, kami pun bergerak menuju peron penjualan ticket, rencananya hari itu kami akan meneruskan perjalanan menuju Luang Prabang.

Rupanya kami baru menyadari kalau uang KIP kami mulai menipis dan kami tidak tau lokasi ATM terdekat, sementara yang ada di kantong kami uang Baht Thailand. Maka setelah melihat schedule keberangkatan & daftar harga bus menuju Luang Prabang yang tertera pada plang di atas peron, saya pun mencoba bertanya ke petugas penjualan ticket…”I want buy ticket to Luang Prabang, can I pay with bath?” (ini bahasa inggris tarzan-pen). Si petugas penjual ticket malah menunjuk ke arah bus yang terparkir di depan, saya tentu bingung…kembali saya ulangi pertanyaan tadi, dan kembali si petugas menunjuk ke arah yang sama. Hmmm…saya baru ingat, logat penyebutan “Bus” di Laos sama dengan di Thailand atau Vietnam yaitu “Bat”. Jadi mungkin mereka kira saya menanyakan bus yang menuju Luang Prabang. Akhirnya saya menjelaskan, kembali dengan bahasa Inggris ala kadarnya…” I mean…I want buy ticket to Luang Prabang with Baht Thailand, not KIP. Dan akhirnya si penjual ticket mengerti, lalu kami kami pun mengeluarkan 400 Baht per orang untuk bus yang menuju Luang Prabang.

Bus yang kami tumpangi kali ini lebih mirip dengan mini bus travel, berbeda dengan bus kami sebelumnya yang membawa kami dari Bokeo ke Luang Namtha. Kali ini agak lebih nyaman, walaupun tetap sama dengan bus sebelumnya, apabila bus menjemput penumpang yang menunggu di perjalanan supirnya selalu turun dan ngobrol ngobrol dengan penduduk di sekitar lokasi penjemputan, saya jadi berfikir, jika di Bandung kita lama di perjalanan karena terhambat macet, kalau di sini karena supirnya banyak ngobrol di setiap pemberhentian hehehehe. Selama melakukan perjalanan di sini saya melihat lalu lintas tidak ramai bahkan relative sepi jauh dari kondisi macet. Kemacetan paling terjadi karena ada perbaikan jalan sehingga diharuskannya buka-tutup jalan untuk satu jalur, dan itu pun tidak lama seperti saat melewati wilayah Oudom Xai, kota antara Luang Namtha dan Luang Prabang.

Terik mentari siang itu mengiringi perjalanan kami menuju Luang Prabang, di sebelah kanan dan kiri kami pegunungan & lembah hijau, pemandangan khas wilayah tropis menemani kami. Namun di hampir lembaran dedaunan terselimuti debu debu tipis, sepertinya hujan sudah lama tidak menyapa wilayah ini. Apalagi saat memasuki wilayah Uodom Xai, debu debu tebal dari jalanan yang sedang diperbaiki berhamburan menghalangi pandangan di depan bus yang kami tumpangi. Di Dalam bus terlihat beberapa penumpang terlelap tidur, diantaranya ada turis asing yang rupanya sedang melancong juga.

Sembilan jam sudah kami lewati, hingga akhirnya kami tiba di terminal Luang Prabang tepat pukul 6.00 PM, cuaca cukup cerah sehingga kami menyangka saat itu masih pukul empat sore. Kami pun lalu turun dari bus, seperti biasa para sopir tuktuk mendatangi para turis termasuk kami, sambil berteriak “Center, sir!! Center sir!!”. Maksudnya menawarkan angkutan menuju pusat kota tempat para pelancong berkumpul.
Seorang turis asing yang tadi satu bus bersama kami menawarkan untuk share ongkos tuktuk agar lebih murah, ini merupakan hal biasa bagi para backpacker, berbagi ongkos transport untuk menghemat budget, kami pun menyetujui. Setelah sebelumnya Barbar menemukan ATM dan akhirnya kami memiliki KIP yang cukup, tuktuk pun melaju menuju pusat kota dengan ongkos 20 ribu KIP per orang.

Di perjalanan menuju pusat kota, saya sedikit berbasa basi dengan turis asing tadi yang ternyata berasal dari Italia, rupanya dia juga melakukan perjalanan yang sama dari Thailand menyebrang ke Laos. Dia bilang “Nanti di Luang Prabang ingin langsung cari guest house yang ada wifi nya” sambil tersenyum. Rupanya pikiran kita sama, semenjak memasuki Laos kita tidak menemukan wifi dan otomatis kita tidak bisa kontak dengan keluarga & rekan untuk sekedar memberi kabar.

Kata “Get Lost” yang sering menjadi motto para backpacker yang artinya kurang lebih “menghilangkan” diri atau “menyesatkan” diri kami alami juga saat memasuki Laos walaupun tanpa kesengajaan dalam arti saat itu kami memang tidak menemukan wifi untuk bisa kontak dengan keluarga dan rekan di luar sana, kalaupun ada wifi saat di guest house di Luang Namtha signalnya sangat parah. Berbeda mungkin dengan para maniak backpacker yang memang sengaja “menghilangkan” diri tanpa membawa gadget atau alat komunikasi lainnya. ‪#‎Bersambung‬

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (1)

Aroma babi panggang menyergap kami saat tiba di terminal bus Luang Namtha, Laos malam itu. Waktu menunjukkan pukul 20.30 waktu setempat. Hari sudah gelap, terminal kota kecil itu mulai sepi, rupanya hanya bus yang kami tumpangi yang terakhir singgah.

Beberapa warung yang menjajakan makanan khas setempat mulai bebenah untuk tutup. Saya bersama rekan saya Bar bar celingukan sedikit bingung, betapa tidak…kami baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, tentu belum sempat kami untuk sekedar orientasi medan.
Dengan menyandang backpack, kami menyusuri jalanan yang gelap, beberapa kedai makanan di sepanjang jalan masih terlihat ramai dan itu setidaknya bisa “menemani” kesendirian dan keterasingan kami. Jalanan yang kami susuri mengingatkan kami akan jalur pantura di pulau jawa…besar dan banyak berseliweran truk truk container.

Kota Luang Namtha ini adalah kota kedua yang akan disinggahi dalam itenary kami, setelah malam sebelumnya kami menginap di Chiang Rai, sebuah kota yang terletak di utara Thailand. Memang pada backpackeran kali ini, kami merencanakan trip dengan menggunakan jalur darat dengan melintasi dua negara.

Perjalanan kami awali dari Bangkok dengan menggunakan penerbangan jam 10.00 AM dan tiba di bandara Chiang Rai sekitar pukul 14.00. Perjalanan kami lanjutkan dengan taxi menuju pusat kota. Sekitar pukul 15.30 kami tiba di terminal bus Chiang Rai.

Seperti biasa, setiap kami tiba di suatu daerah, tradisi kami adalah mencari café yang ber – free Wifi untuk sekedar ngopi dan ber- Wifi gratisan heheheehe, maklum pelancong harus sebisa mungkin meminimalisir budget.

Setelah puas kami ber-Wifi an, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari guest house. Kota Chiang Rai ini merupakan kota kecil yang nyaman, jalanannya luas dan tidak ramai oleh lalu lintas. Tidak berapa lama kami menemukan guest house yang letaknya di jalan kecil seharga 700 bht untuk kamar yang kami sewa dan kami pun terus rehat sejenak, karena kami berencana akan mengeksplorasi kota tsb malam nanti. Karena menurut informasi di kota ini tiap malam selalu ada “nait basal” (bahasa penduduk setempat) yang maksudnya Night Bazar atau sejenis pasar malam.

Sekitar pukul tujuh malam waktu setempat, kami mulai bergerak menyusuri jalanan kota Chiang Rai yang asri menuju Night Bazar yang berlokasi di sekitar terminal. Tidak berapa lama kami tiba di Night Bazar, di situ banyak sekali barang dagangan dijajakan dari mulai makanan, pakaian sampai barang barang souvenir. Selain itu ada juga pengamen jalanan yang menampilkan keahliannya dalam memainkan alat music biola. Semarak sekali suasana di tempat itu.

Setelah puas kami mengelilingi tempat itu, kemudian kami kembali menyusuri jalanan menuju “Clock Tower”, sebuah menumen yang menjadi icon kota Chiang Rai. Tugu yang berornamen khas Thailand yang di puncaknya terdapat jam yang besar. Di sekitar Clock Tower ini banyak bertebaran café dan kedai tempat para turis local maupun mancanegara berkumpul. Cuaca cerah malam, semakin menambah semarak suasana disekitar clock tower tersebut.

Sekitar pukul 11 malam kami kembali ke guest house, kami berniat untuk beristirahat untuk memulihkan stamina dan mengumpulkan energy, karena besoknya kami harus kembali melanjutkan perjalanan. Agenda kami selanjutnya adalah menyebrang ke perbatasan Thailand-Laos menggunakan bus dan berniat singgah di kota Luang Namtha (Laos).
Esok paginya kami sudah mulai berkemas dan bersiap untuk check out untuk kemudian berangkat menuju terminal. Sekitar pukul 09.30 AM kami sudah berada di dalam bus menuju kota perbatasan Thailand, Chiang Kong. Penumpang di dalam bus selain masyarakat local juga ada turis turis asing yang rupanya punya tujuan sama, menyebrang ke Laos.
Dua jam berlalu, hingga akhirnya kami tiba di sebuah halte di pinggiran sungai Mekong. Saat turun dari bus kami langsung dikerubuti supir tuk tuk atau sejenis beca bermotor. Mereka menawarkan untuk mengantarkan kami menuju pos perbatasan, rupanya memang tuk tuk ini adalah satu-satunya kendaraan yang mengantar para turis menuju border control atau pos imigrasi. Kemudian kami pun melaju menggunakan tuk tuk bersama dua orang turis asing.

Setelah passport kami diperiksa dan menyerahkan formulir imigrasi, kami pun menuju perbatasan Laos dengan menggunakan bus seharga 25 Baht yang sudah menunggu di depan pos Border Control. Tidak kurang dari setengah jam setelah melewati Friendship Bridge kami tiba di perbatasan Laos. Sekedar informasi, beberapa tahun yang lalu menurut Barbar rekan saya yang pernah mengunjungi Laos lewat jalur darat saya, antara perbatasan Thailand & Laos dihubungkan dengan kapal Ferry sebelum dibangun “Jembatan Persahabatan”.

Memasuki kantor imigrasi Laos, seperti biasa setelah mengisi formulir imigrasi dan passport kami distempel, kami pun mulai menginjakkan kaki di wilayah yang berbeda tersebut. Saat keluar kantor imigrasi, beberapa supir tuk tuk mengerubungi kami, menawarkan jasa angkutan mengantar kami ke kota Bokeo, sebuah kota yang terletak di dekat perbatasan Laos.
Kami pun lalu berangkat menggunakan tuktuk bersama beberapa penumpang local dengan ongkos seharga 50 ribu KIP (mata uang Laos). Rupanya ada kesalahpahaman antara kami & supir tuktuk yang tidak bisa berbahasa Inggris, kami mengira di tempat yang kami tuju akan ada bus antar kota. Tapi ternyata, tempat yg kami datangi itu adalah pusat kota Bokeo, dan tidak ada bus di situ. Bus bisa di dapat di terminalnya langsung. Dengan dibantu penterjemah dadakan yaitu seorang ibu-ibu yang menumpang bersama kami yang bisa berbahasa Inggris akhirnya supir tuktuk bersedia mengantar kami menuju termina Bokeo dengan meminta ongkos tambahan tentunya…hehehe

Bokeo merupakan sebuah provinsi di Laos yang memiliki luas wilayah 6.196 km² dan populasi 149.700 jiwa (2004). Ibu kotanya ialah Ban Houayxay. Saya melihatnya sebagai kota kecil yang semi berkembang. Ketika kami dibawa oleh supir tuktuk ke pusat kotanya, saya melihat seperti wilayah pasar Pangalengan di Jawa Barat, sangat bersahaja…Ketika saya memasuki pasar, tidak terlihat seorang pun di sana yang merokok, padahal biasanya di pusat pusat keramaian pasti ada saja orang merokok seperti halnya di Saigon, Bangkok,dll di kota2 di negara yang pernah saya kunjungi.

Begitu pula saat di terminal, saya melihat hanya turis turis asing yang merokok. Awalnya saya mengira mungkin ada aturan yang melarang merokok di tempat umum seperti halnya di Singapore atau Bangkok, sehingga saat saya akan merokok saya bertanya dulu kepada penduduk local, dan mereka memperbolehkan. “Hmmm sebuah kebiasaan yang sehat hehehehe hidup tanpa rokok ..” itu yang ada di benak saya. Tapi ada satu kebiasaan penduduk kota ini yang kurang “berkenan” bagi saya yaitu meludah sembarangan, awalnya saya mengira hanya beberapa gelintir penduduk saja saat di terminal yang seperti itu, tapi saat di dalam bus menuju Luang Namtha, kondektur bus atau lebih tepatnya kenek bus membagikan kantong kresek yang akhirnya saya tahu kalau itu untuk penumpang yang mabuk darat atau ingin meludah…maka jadilah sepanjang perjalanan kami “dihiasi” dengan sura suara…”hoooek cuh!” (icon wajah ijo).

Dan yang lebih “Keren” lagi, mungkin karena tidak adanya shelter atau rest area sepanjang perjalanan jika penumpang yang ingin buang air kecil, bus akan berhenti di bedeng bedeng pinggir jalan yang saya lihat banyak pembuangan sampahnya lalu para penumpang pun secara masal baik itu pria maupun wanita “beser” di situ…dan tidak lupa setelah itu mereka akhiri dengan “hooeeek cuh!”

Seperti halnya asumsi saya tentang jalanan kota di Laos yang penuh debu, saat memasuki Bokeo banyak lahan lahan tanah merah yang berdebu kami lewati. Walaupun begitu wilayah pusat kotanya tempat para backpacker berkumpul terlihat agak sedikit nyaman bernuansa pedesaan di pinggiran sungai Mekhong. Tapi saat memasuki terminal yang letaknya di tengah tegalan tandus berdebu, Barbar rekan saya berkata “ Jiga di pilem koboy nya? Asa di Meksiko” wkwkwkwwkw

Setelah membayar ticket bus seharga 250 Baht, sekedar informasi di Laos selain mata uang KIP, Bath juga bisa diterima di sana selain USD atau mata uang Dollar yang lain kecuali Rupiah huuaaaaa (menyedihkan sekali…Rupiah oh Rupiah). Dan tepat pukul empat sore kami pun berlalu menuju Luang Namtha yang berjarak 180 Km dari Bokeo. ‪#‎Bersambung‬

Bangkok Eksplore II

10302027_10203796430855072_7031368175738892181_nSiam merupakan sebuah pusat pertokoan yg sangat sibuk & ramai. Kami pun berjalan menikmati keramaian dengan pelukan mentari siang hari yg menyengat.
Selepas dari wilayah Siam, kami melihat dari jauh banyak tenda2 dome didirikan di tengah pedagang kaki lima.
Rupanya tenda dome itu berisi para demonstran Bangkok Shutdown, hmm… Bangkok masih bergejolak rupanya, beberapa jalanan sekitar masih diblokir oleh ban2 bekas yg ditumpuk. Pos pos tentara bertebaran dimana2, sementara beberapa demonstran berorasi.
Saat itu sudah lewat tengah hari, kami pun memutuskan untuk makan siang di salah satu warung kaki lima yg terletak di sekitar tenda2 para demonstran sambil ingin sedikit menikmati suasana saat itu.
Usai makan siang kami berniat menuju Sukhumvit, karena kaki mulai tidak bisa diajak kompromi, maka kami memutuskan untuk menggunakan Tuktuk, sebuah alat transportasi sejenis Bajaj.
Tapi kami heran, beberapa Tuktuk yg kami stop seperti enggan mengantarkan kami ke Sukhumvit, klo pun ada mereka memasang tarif tinggi. Karena budget terbatas, kami pun melanjutkan dengan berjalan kaki kembali.
Di tengah perjalanan kami melihat mobil patroli polisi banyak berseliweran dengan membunyikan sirine, di sisi lain beberapa militer dalam posisi siaga. Saat melewati salah satu persimpangan jalan protokol, saya melihat para demonstran mulai merangsek, bergerak ke arah pusat kota, sebagian berjalan kaki sebagian lagi mengendarai bus sambil berorasi.
Suasana cukup mencekam ditambah dengan cuaca yg berubah mendung diiringi angin yg semakin berhembus kencang.
Ketika tiba di Monumen Raja Rama I, saya melihat para demonstran tumpah ruah di situ.
Sementara cuaca semakin mendung, awan hitam menggelayut di udara, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel di Khaosan Rd. Kami pun menyetop Tuktuk, kali ini pengemudi Tuktuk mau mengantar kami ke arah sebaliknya dari Sukhumvit, rupanya para supor Tuktuk menghindari jalanan yg dilalui para demonstran.
Tuktuk pun melaju kencang mengantar kami dengan tanpa banyak tawar menawar. Di tengah perjalanan hujan turun dengan deras diiringi angin kencang.
Setiba di Khaosan Rd, kami langsung berlari menembus derasnya hujan menuju hotel. Dan perjalanan hari itu diakhiri dengan pakaian yg basah kuyup…
Sungguh hari yg luar biasa bagi saya, rasa lelah & letih terbayar oleh sensasi petualangan ala backpacker di sebuah kota di negeri gajah putih, Bangkok yg eksotis…

Bangkok Eksplore I

10363938_10203796430815071_7370428090637771224_nCuaca pagi yg cerah menaungi kota Bangkok, saya & Bobby melangkahkan kaki dari hotel untuk memulai aktifitas.
Target awal adalah sarapan! Sbg charging energi untuk mengeksplorasi jalanan kota Bangkok.
Berbekal air mineral botol, map & kompas kami keluar kawasan Khaosan Rd. Bobby sang spesialis mapping mulai menggelar peta dan menetukan arah yg akan dituju.
Ada satu misi yg dituju pada perjalanan kami kali ini. Kami harus orientasi medan untuk sebuah event yg sudah lama menjadi obsesi kami, komunitas District One, yaitu ekspedisi Backpacker Indochina.
Setengah jam sudah kami berjalan, saat melewati sebuah kawasan, kami melihat jajaran toko yg menjual perlengkapan Army Look.
Sekilas saya teringat kawasan Jatayu ata Malabar di Bandung yg banyak menjual perlengkapan sejenis itu.
Lalu kami masuki salah satu toko di situ sekedar belanja mata, wow!! Keren2, semua barang mempunyai merk yg memang sudah kami kenal sebagai spesialis Tactical Army Series.
Sebelum kami kepincut lebih jauh, segera kami lanjutkan perjalanan menelusuri kota. Tidak berapa jauh kami menemukan sebuah kedai makanan, hmm…harum masakannya menggugah perut yg memang sudah menggeliat. “Hallo” sapa pelayan kedai saat kami masuk. “Hallo” balas kami. “What do you have for eat?” Tanya saya dengan bahasa Inggris tingkat Tarzan. Rupanya kedai itu baru buka & masih bebenah, perlu diketahui aktifitas di kota Bangkok rata2 dimulai pukul 10.00 waktu setempat.
Si pelayan ternyata tidak bisa berbahasa Inggris, dia menunjuk ke arah etalase yg berisi berbagai macam jenis baso & mie. “Is this beef or pork?” Tanya saya. Si pelayan yg berjumlah dua orang saling pandang, bingung. “Ok, is this” saya acungkan dua telunjuk ke kepala seperti tanduk sambil bersuara “mooo…” Or “grok !..?”
Akhirnya mereka mengerti dan menunjuk ke salah satu tumpukan baso..”This is mooo…”. “Ok, I want this” ujar saya. Hehehe rupanya untuk backpackeran tidak selalu harus bisa bahasa Inggris tingkat fluent, Inggris Tarzan asal saling mengerti, interaksi pun lancar…
Usai mengisi perut, perjalanan kembali kami lanjutkan. Tujuan selanjutnya adalah Wat Pho, sebuah kuil Budha yg di dalamnya terdapat patung sleeping Budha dengan ukuran raksasa.
Saat masuk kami harus membeli ticket seharga 100 Baht.
Wat Pho ini dibangun oleh Raja Petraja dan kemudian dilanjutkan oleh Raja Rama I kerajaan pertama dari periode Rattanakosin.
Di dalam kompleks kuil banyak sekali tourist2 asing yg berkunjung. Rata2 mereka ikut dalam rombongan agen wisata.
“Wah, ada orang Indonesia nih”. Ujar Bobby tiba2, terlihat dari salah satu rombongan ada yg memakai dress code bertuliskan “Semen Tonasa”. Kami lalu menghampiri salah satu dari mereka. “Dari Indonesia pak?” Sapa saya. “Iya, bapak Indonesia juga?” Balasnya. Hehehe, kita berjabat tangan. Bersua rekan satu negara di negeri orang terasa menyenangkan.
Cukup lama kami berkeliling di dalam kompleks Wat Pho sampai akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan.
Matahari sudah di atas ubun2 saat itu, tujuan kami selanjutnya adalah kawasan china Town. Kawasan ini terletak di tengah2 pusat perdagangan elektronik, onderdil kendaraan, dll. Mengingatkan saya pada kawasan Pecinan di Bandung seputar Jl. ABC, Pasar Baru & Banceuy.
Tidak jauh dari China Town terdapat stasiun MRT (Mass Rapid System) atau Subway salah satu alat transportasi di Bangkok selain BTS (Bangkok Train System) atau Skytrain.
Setelah membeli ticket seharga 42 Baht, kami mengendarai MRT dengan tujuan Chatuchak Park, sebuah kawasan perdagangan yg hanya ada pada saat weekend.
Tiba di Chatchak, kami melanjutkan perjalanan menuju Siam dengan menggunakan BTS.
Wah, saya serasa menjadi Antareja terus berubah menjadi Gatotkaca, dari grusukan di dalam tanah terus terbang ke langit hehehe,,,

Eksotisme Kota Tua Luang Prabang

oleh Stefanus Wong

1480659_10202925796898711_287437094117783424_nLuang Prabang merupakan kota bekas pusat pemerintahan kerajaan diabad XIII di mana segala aktivitas pemerintahan kerajaan berjalan disini dan sekarang merupakan sebuah situs warisan dunia yang diakui dan dilindungi UNESCO sebagai tempat yang memiliki sejarah unik. Sebuah kota yang terletak di utara Laos dan kurang lebih 450 km dari ibu kota vientiane, menyimpan sebuah karya keindahan tatanan kota yang dipadu dari dua latar belakang budaya yang berbeda yaitu budaya setempat dengan budaya barat, khususnya Perancis.

Perjalanan yang kami tempuh berawal dari Vientiane melalui terminal antar propinsi yang melayani ke jurusan utara Laos. Dengan ongkos 140 ribu kip per orang, kami naik bus VIP ke Luang Prabang. Jarak 450 km kedua kota biasanya ditempuh sekitar 11 jam. Sepanjang perjalanan, bus melewati perjalanan yang cukup lancar karena dengan perbandingan penduduk yang sedikit tidak banyak kendaraan pribadi yang melintas sepanjang perjalanan ini. Perjalanan harus melewati lika-liku tikungan pegunungan sehingga cukup membuat perut terkocok dan mual jadi disarankan meminum obat anti-mabok sebelum berangkat.

Setibanya di Luang Prabang, kami segera disambut dengan hawa dingin kota tua ini. Walaupun kota berelevasi 200-an meter dari permukaan laut namun hawa dingin terhembus dari pegunungan yang mengelilingi kota Luang Prabang. Berjalan-jalan ditengah kota ini kami merasakan kenyamanan kota yang rapi, bersih, sejuk serta penduduk yang ramah.

Kota yang dikenal dengan perpaduan dua budaya dalam gaya arsitektur di mana kota ini disamping memiliki gaya bangunan modern Eropa Barat abad 18 juga masih berdiri kokoh bangunan tua kerajaan abad 13.
Disinilah letak keunikan kota tua ini karena masih menyimpan seni gaya bangunan dua budaya berbedaya yang masih terawat dengan baik. Kita bisa melihat dari bangunan pertokoan dan perhotelan di tengah kota dengan gaya modern eropa barat serta bangunan kuil serta museum-museum merupakan bangunan yang bercorak setempat.

Di kota ini juga masih menjalankan upacara sedekah biksu. Setiap pagi, para biksu akan keluar dari kuil dengan membawa semacam keranjang yang gunanya untuk mengisi sedekah dari orang yang akan mengasihnya. Warga setempat percaya bahwa dengan memberi sedekah kepada biksu, maka mereka akan mendapatkan rejeki yang lebih besarnya nilainya dari pemberian mereka. Tidak hanya penduduk setempat, para wisatawan pun juga turut ikut melaksanakan upacara ini dan dengan posisi berlutut menyiapkan sedekah yang berupa makanan dan uang untuk memberi para biksu yang akan lewat sepanjang trotoar. Para biksu yang berbaris rapi dengan dimulai dari biksu paling tua hingga biksu yang paling muda berjalan sepanjang trotoar untuk mencari sedekah dari kebaikan orang-orang. Upacara yang sangat unik ini banyak juga dimanfaatkan para wisatawan untuk mengambil gambar mereka.
Ditengah kota Luang Prabang ada satu tempat yang dikenal dengan nama Phou Si, merupakan daerah yang landai dan diatas bukit ini ada kuil yang juga dikenal dengan nama kuil Phou Si, konon katanya dikuil ini ada patung Buddha tidur terbesar di Laos. Dari daerah ini juga bisa melihat secara jelas kota Luang Prabang karena di bukit inilah merupakan tempat tertinggi di tengah kota Luang Prabang.

Tidak jauh dari Phou Si, masih dalam jalan yang sama yaitu jalan Sisavangvong, ada pasar malam yang berjualan berbagai macam souvenir, sutra, pakaian dan makanan-minuman. Disinilah tempat para turis berbelanja dan menghabiskan uang. Selain itu, keindahan malam kota ini bisa dinikmati dengan makan di pinggir sungai Mekong dan dengan penerangan lampu yang redup serta udara yang sejuk, sangat mendukung dalam suasana nyaman untuk melepas lelah.

Secara umum, kota Luang Prabang merupakan kota yang menarik untuk dikunjungi turis karena selain menyimpan karya-karya arsitektur yang indah, kota ini juga terdapat gua yang banyak ukiran Budha serta memiliki air terjun yang indah. (2011)

Mengintip Kehidupan Suku Akha di Thailand Utara

oleh : Retno Gita Erliana

10250136_10202879935472204_2719570983271228570_nPerjalanan di bis malam membuka petualangan kami, menuju utara Thailand. Sejak awal kami berencana, bertualang menembus hutan tropis Thailand di antara perkampungan hill tribe bagi kami terasa melebihi sensasi wisata city tour di Bangkok. Stasiun bis Mochit, tempat bis malam menuju Chiang Rai yang akan kami tuju, mudah dijangkau dari stasiun BTS dan MRT Mochit. Hanya 50 baht bila menggunakan taksi. Jadual keberangkatan dan harga tiket bis ke hampir seluruh propinsi Thailand pun relatif mudah diakses di 1stopbangkok.com. Begitu lah.. petualangan kami dimulai dengan menapaki Paholyothin Road ke utara menjelang malam hari itu.

Setelah 12 jam, sampai juga kami di terminal bus Chiang Rai. Pagi buta yang sunyi. Tujuan selanjutnya adalah Mae Sai. Kami putuskan untuk beristirahat dan sarapan di warung mie pojok terminal, sambil bertanya kendaraan menuju Mae Sai. Meski bekal petunjuk sudah kami kantongi, cukup sulit rasanya karena hambatan bahasa. Chiang Rai adalah ibu kota propinsi yang jauh berbeda dengan Bangkok. Setidaknya, gestur dan bahasa Inggris sederhana mudah dipahami penduduk Bangkok, jadi tak perlu khawatir bila kehilangan arah di ibukota Thailand tersebut.

Namun Chiang Rai bukan Bangkok, sampai tidak sengaja kami dipertemukan dengan seorang farang (bangsa kaukasoid dalam bahasa Thai) yang fasih berbahasa Thai, dan Inggris tentunya. Berkat bantuannya, kami segera menaiki songthew (angkot berbanjar dua mirip bemo) menuju stasiun bus lama yang akan membawa kami ke Mae Sai. Setibanya di sana, kami segera menaiki bus menuju Mae Sai. Saat itu sekitar pukul tujuh pagi, dan tak seorang pun dari kami yang mandi pagi, toh penumpang lain pun tak peduli.

Setiba di Mae Sai, kami menunggu songthew yang akan membawa kami menuju Pasang, terminal di pertigaan ke Mae Salong dan Thaton. Di sini saya baru menyadari, setiba di Chiang Rai, kami hanya tiga kali bertemu turis farang. Tidak seperti daerah wisata di Bangkok, Pataya, Phuket, atau bahkan Chiang Mai, turis kaukasoid mahal ditemui di Chiang Rai. Kota ini begitu senyap, sementara Bangkok amat metropolis dan futuristik. Bila Anda menyukai hiburan malam dan dentuman musik, nampaknya Chiang Rai bukan pilihan tepat.

Di tengah lamunan saya, tiba-tiba si supir mengisyaratkan kami untuk segera menaiki mobilnya, tanda akan segera berangkat. Oya, songthew hanya melaju bila isi penumpang sudah memenuhi baris kursi, atau sesuai dengan jumlah yang dikehendaki supirnya. Kami cukup beruntung pagi itu, meski hanya beberapa orang di kursi penumpang, penyupirnya bersedia mengantarkan kami, sepasang turis farang, dan tiga orang penduduk lokal menuju Pasang. Tiba di Pasang, segera kami mencari songthew ke arah Thaton, dan berhenti di Ban Lorcha, miniatur perkampungan Akha, salah satu kelompok etnis di utara Thailand.

Dengan tiket seharga 80 baht, kami diizinkan masuk wilayah perkampungan Akha dengan ditemani seorang guide. Beberapa jenis jerat untuk binatang buruan menjadi display pertama bagi pengunjung. Etnis Akha bersama dengan kelompok etnis minoritas lain seperti Karen, Lahu, Padhong, dan lainnya; mendiami dataran tinggi utara Thailand, Burma, Laos, dan Vietnam sejak ratusan tahun yang lalu. Etnis Akha dipercaya sebagai bermigrasi dari Tibet, memasuki Propinsi Yunan di selatan China, dan menyebar di wilayah Indocina.

Di wilayah Thai, sistem ekonomi ladang berpindah, berburu dan meramu yang menjadi ciri khas orang Akha, berubah seiring dengan kebijakan pemerintah Thai untuk melokalisasi pemukiman Akha dan pelarangan ladang opium yang membanjiri Thailand di sekitar tahun 70-80an, meskipun hill tribe di sini bertanam opium untuk kepentingan medis dan hanya digunakan dalam kelompoknya saja. Sejak saat itu, etnis Akha dan etnis minoritas lain di Thailand hanya bisa bercocok tanam sesuai dengan jenis tanaman yang diperbolehkan pemerintah Thai, seperti tanaman buah dan teh di daerah Mae Salong.

Setelah kami sempat dipertontonkan tentang cara kerja penjerat binatang buas, guide kami memandu kami menuju kumpulan ibu-ibu paruh baya dalam kemasan pakaian tradisional Akha yang siap menari setiap kali ada pengunjung yang hadir di sana. Sementara beberapa orang lelaki yang mengiringi musik tarian, berkaos t-shirt dan celana katun. Kecuali si guide kami yang masih memakai pakaian khas lelaki Akha, saya kemudian kembali berpikir akan nasib perempuan yang tereksploitasi demi keuntungan wisata. Selain tarian tradisional Akha, seorang perempuan yang masih berpakaian lengkap, duduk manis sambil menenun kain di rumah beratap dedaunan. Selintas tampak jelas ia beraksi dan siap tersenyum di hadapan jepretan kamera kami. Imitasi, karena di rumah seberang tampak motor bebek terparkir rapi.

Sehabis touring mengitari perkampungan Ban Lorcha, kami kembali ke gerbang utama. Bagi yang berniat membeli oleh-oleh untuk kembali pulang ke tanah air, pengunjung bisa membeli beragam buah tangan kerajinan Akha, seperti tas, gelang, manik, pakaian, kain tenun, dsb. Tapi jangan heran kalau harganya selangit. Sebagai bangsa yang sangat bergantung dengan wisata, semua bisa jadi komersil di negara ini.

Cara Memilih dan Membeli Tas Ransel untuk Travelling

 

Jika anda merencanakan travelling ala backpacker, tentu hal pertama yang anda butuhkan adalah tas ransel. Ransel yang tepat akan berguna untuk anda, selain aman pastinya juga nyaman. Berikut adalah cara untuk memilih tas ransel untuk travelling.

1. Waterproof
Anda tidak akan pernah tau kondisi cuaca yang sewaktu-waktu berubah menjadi hujan. Untuk lebih amannya, pilihlah tas dengan bahan waterproof (anti air). Jadi anda tidak perlu takut baju atau barang anda basah terkena air hujan.

2. Resleting tersembunyi
Carilah tas ransel yang memiliki resleting tersembunyi di dalamnya atau kantung-kantung yang dekat dengan bagian tubuh anda. Hal ini untuk mencegah hilangnya barang atau dokumen penting selama perjalanan anda dari tangan copet.

3. Uji talinya
Cobalah beberapa model tas ransel yang sesuai kebutuhan dan bentuk tubuh anda. Pastikan tas dan tali dapat diatur sesuai berat dan tinggi tubuh anda. Utamakan kenyamanan. Carilah tali ransel dengan bahan non-slip sehingga anda dapat memakainya dalam jangka waktu yang lama.

4. Pertimbangkan isi ransel anda
Pilih ukuran dan gaya ransel anda sesuai dengan barang yang akan anda bawa. Pilih model ransel besar atau yang dapat diperbesar jika anda akan memasukkan sepatu atau peralatan berkemah anda. Atau pilih ransel berbentuk ramping dengan banyak kantong internal yang berlapis jika anda akan membawa buku panduan, laptop atau peralatan untuk kamera.

5. Hitung kantongnya
Pastikan jumlah kompartemen penyimpanan dan kantong di ransel dapat menampung semua barang penting anda. Anda harus dapat menyimpan dengan aman barang anda seperti kamera, dompet, kunci.

6. Ukuran tubuh (panggul sampai pundak)Untuk mendapatkan ransel yang pas, harus diketahui panjang dari tubuh. Caranya, ukurlah dari tulang punggung yang ke tujuh ( Tulang yang menonjol tepat dibawah tekuk/leher bagian belakang) kebawah mengikuti kontur tulang punggung sampai ke titik bawah antara tulang pinggul. Cek kedua sisi pinggang
Saat mencoba ransel, pastikan kedua belah ikat pinggangnya berada pada posisi yang pas, tepat pada tonjolan tulang pinggang, bukan pada pinggang. Berat secara keseluruhan akan ditahan oleh ikat pinggang ransel, jadi pastikan posisinya nyaman dan pas tanpa tergeser.

7. Latihlah dengan sabar.Ransel merupakan peralatan yang sangat penting, jadi sediakanlah waktu yang cukup saat memilihnya. Sebelum meninggalkan toko, masukan seluruh perlengkapan yang biasa dibawa kedalam duffel bag. dan masukan kedalam ransel yang akan dibeli, lalu cobalah memakai ransel itu berjalan disekitar toko selama kira-kira 20 menit. Ini untuk memastikan peralatan pas didalamnya dan ransel bisa mnampung berat secara baik dan nyaman

8. Berbaiklah pada diri sendri.Belilah ransel terbaik yang bisa dan mampu dibeli, selama itu cocok dan pas. ketahanan dan kwalitas sebenarnya berada pada posisi setelah kenyamanan yang merupakan poin yang paling penting. buat apa membeli ransel yang berkwalitas dan bermutu hebat akan tetapi ukurannya tidak cocok bagi diri sendiri.

9. Kenalilah berat yang akan dibawaTentukan apa dan bagaimana yang akan dibawa. Lamanya waktu perjalanan, 1 atau 2 malam. Apakah akan hiking di musim hujan? atau untuk perjalanan pendek dimusim panas, mungkin hanya akan membutuhkan ransel kecil saja. Akan tetapi jika perjalanan ke gunung salju, akan lebih membutuhkan kapasitas dan tambahan tempat untuk menempatkan peralatan external.

backpacker

10. Kenali jalan setapaknyaJika berencana untuk menempuh jalur pendakian yang melewati jalan setapak yang terawat rapi, Jenis ransel dengan external frame mungkin akan jadi pilihan yang baik juga. Akan tetapi jika kondisi jalan setapak lebih berat dan kondisi medannya juga berat dimana faktor keseimbangan sangat diperlukan, maka ransel dengan jenis internal frame akan lebih nyaman dipakai.

11. Pikirkan perubahan yang mungkin terjadi Jika akan mendaki dengan sistem pendakian ke puncak setelah mendirikan tenda di setengah atau seperempat bagian menuju puncak. Maka pikirkan juga untuk memilih ransel yang bisa dirubah ukurannya menjadi ukuran daypack.

12. hormatilah tabiatmu yang kadang aneh.Ransel tidak ubahnya seperti pacar atau istri, jadi tidak seharusnya jika berharap setelah mendapatkanya akan merubah kebiasaan yang buruk. Jika mempunyai personal moto ” Tempat untuk semuanya dan semuanya didalam tempatnya.” maka pilihlah ransel yang banyak kantongnya. Jika ingin mengambil botol air saat berjalan, jangan pilih ransel yang mempunyai kantong yang jauh dari jangkauan, yang akan membuat frustasi saat akan menjakau sesuatu didalamnya.

13. Rencanakan dengan teman.Jika akan mendaki dengan teman atau dengan grup, hitunglah berapa perlengkapan grup (tenda, kompor, makanan, dll) yang akan dibawa. Kemudian belilah ransel yang cocok dengan berat jatah anda.

14. Pikirkan tempat minuman. Jika anda menyukai jenis tempat minuman yang bertipe hydration tube, maka carilah ransel yang sudah terbuat menyatukan hydration tube dengan ransel atau bisa juga memilih ransel yang mempunyai kantong disisi bawahnya yang pas dengan ukuran sebuah botol minum.