Siam merupakan sebuah pusat pertokoan yg sangat sibuk & ramai. Kami pun berjalan menikmati keramaian dengan pelukan mentari siang hari yg menyengat.
Selepas dari wilayah Siam, kami melihat dari jauh banyak tenda2 dome didirikan di tengah pedagang kaki lima.
Rupanya tenda dome itu berisi para demonstran Bangkok Shutdown, hmm… Bangkok masih bergejolak rupanya, beberapa jalanan sekitar masih diblokir oleh ban2 bekas yg ditumpuk. Pos pos tentara bertebaran dimana2, sementara beberapa demonstran berorasi.
Saat itu sudah lewat tengah hari, kami pun memutuskan untuk makan siang di salah satu warung kaki lima yg terletak di sekitar tenda2 para demonstran sambil ingin sedikit menikmati suasana saat itu.
Usai makan siang kami berniat menuju Sukhumvit, karena kaki mulai tidak bisa diajak kompromi, maka kami memutuskan untuk menggunakan Tuktuk, sebuah alat transportasi sejenis Bajaj.
Tapi kami heran, beberapa Tuktuk yg kami stop seperti enggan mengantarkan kami ke Sukhumvit, klo pun ada mereka memasang tarif tinggi. Karena budget terbatas, kami pun melanjutkan dengan berjalan kaki kembali.
Di tengah perjalanan kami melihat mobil patroli polisi banyak berseliweran dengan membunyikan sirine, di sisi lain beberapa militer dalam posisi siaga. Saat melewati salah satu persimpangan jalan protokol, saya melihat para demonstran mulai merangsek, bergerak ke arah pusat kota, sebagian berjalan kaki sebagian lagi mengendarai bus sambil berorasi.
Suasana cukup mencekam ditambah dengan cuaca yg berubah mendung diiringi angin yg semakin berhembus kencang.
Ketika tiba di Monumen Raja Rama I, saya melihat para demonstran tumpah ruah di situ.
Sementara cuaca semakin mendung, awan hitam menggelayut di udara, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel di Khaosan Rd. Kami pun menyetop Tuktuk, kali ini pengemudi Tuktuk mau mengantar kami ke arah sebaliknya dari Sukhumvit, rupanya para supor Tuktuk menghindari jalanan yg dilalui para demonstran.
Tuktuk pun melaju kencang mengantar kami dengan tanpa banyak tawar menawar. Di tengah perjalanan hujan turun dengan deras diiringi angin kencang.
Setiba di Khaosan Rd, kami langsung berlari menembus derasnya hujan menuju hotel. Dan perjalanan hari itu diakhiri dengan pakaian yg basah kuyup…
Sungguh hari yg luar biasa bagi saya, rasa lelah & letih terbayar oleh sensasi petualangan ala backpacker di sebuah kota di negeri gajah putih, Bangkok yg eksotis…
Category: Jalan Jalan
Bangkok Eksplore I
Cuaca pagi yg cerah menaungi kota Bangkok, saya & Bobby melangkahkan kaki dari hotel untuk memulai aktifitas.
Target awal adalah sarapan! Sbg charging energi untuk mengeksplorasi jalanan kota Bangkok.
Berbekal air mineral botol, map & kompas kami keluar kawasan Khaosan Rd. Bobby sang spesialis mapping mulai menggelar peta dan menetukan arah yg akan dituju.
Ada satu misi yg dituju pada perjalanan kami kali ini. Kami harus orientasi medan untuk sebuah event yg sudah lama menjadi obsesi kami, komunitas District One, yaitu ekspedisi Backpacker Indochina.
Setengah jam sudah kami berjalan, saat melewati sebuah kawasan, kami melihat jajaran toko yg menjual perlengkapan Army Look.
Sekilas saya teringat kawasan Jatayu ata Malabar di Bandung yg banyak menjual perlengkapan sejenis itu.
Lalu kami masuki salah satu toko di situ sekedar belanja mata, wow!! Keren2, semua barang mempunyai merk yg memang sudah kami kenal sebagai spesialis Tactical Army Series.
Sebelum kami kepincut lebih jauh, segera kami lanjutkan perjalanan menelusuri kota. Tidak berapa jauh kami menemukan sebuah kedai makanan, hmm…harum masakannya menggugah perut yg memang sudah menggeliat. “Hallo” sapa pelayan kedai saat kami masuk. “Hallo” balas kami. “What do you have for eat?” Tanya saya dengan bahasa Inggris tingkat Tarzan. Rupanya kedai itu baru buka & masih bebenah, perlu diketahui aktifitas di kota Bangkok rata2 dimulai pukul 10.00 waktu setempat.
Si pelayan ternyata tidak bisa berbahasa Inggris, dia menunjuk ke arah etalase yg berisi berbagai macam jenis baso & mie. “Is this beef or pork?” Tanya saya. Si pelayan yg berjumlah dua orang saling pandang, bingung. “Ok, is this” saya acungkan dua telunjuk ke kepala seperti tanduk sambil bersuara “mooo…” Or “grok !..?”
Akhirnya mereka mengerti dan menunjuk ke salah satu tumpukan baso..”This is mooo…”. “Ok, I want this” ujar saya. Hehehe rupanya untuk backpackeran tidak selalu harus bisa bahasa Inggris tingkat fluent, Inggris Tarzan asal saling mengerti, interaksi pun lancar…
Usai mengisi perut, perjalanan kembali kami lanjutkan. Tujuan selanjutnya adalah Wat Pho, sebuah kuil Budha yg di dalamnya terdapat patung sleeping Budha dengan ukuran raksasa.
Saat masuk kami harus membeli ticket seharga 100 Baht.
Wat Pho ini dibangun oleh Raja Petraja dan kemudian dilanjutkan oleh Raja Rama I kerajaan pertama dari periode Rattanakosin.
Di dalam kompleks kuil banyak sekali tourist2 asing yg berkunjung. Rata2 mereka ikut dalam rombongan agen wisata.
“Wah, ada orang Indonesia nih”. Ujar Bobby tiba2, terlihat dari salah satu rombongan ada yg memakai dress code bertuliskan “Semen Tonasa”. Kami lalu menghampiri salah satu dari mereka. “Dari Indonesia pak?” Sapa saya. “Iya, bapak Indonesia juga?” Balasnya. Hehehe, kita berjabat tangan. Bersua rekan satu negara di negeri orang terasa menyenangkan.
Cukup lama kami berkeliling di dalam kompleks Wat Pho sampai akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan.
Matahari sudah di atas ubun2 saat itu, tujuan kami selanjutnya adalah kawasan china Town. Kawasan ini terletak di tengah2 pusat perdagangan elektronik, onderdil kendaraan, dll. Mengingatkan saya pada kawasan Pecinan di Bandung seputar Jl. ABC, Pasar Baru & Banceuy.
Tidak jauh dari China Town terdapat stasiun MRT (Mass Rapid System) atau Subway salah satu alat transportasi di Bangkok selain BTS (Bangkok Train System) atau Skytrain.
Setelah membeli ticket seharga 42 Baht, kami mengendarai MRT dengan tujuan Chatuchak Park, sebuah kawasan perdagangan yg hanya ada pada saat weekend.
Tiba di Chatchak, kami melanjutkan perjalanan menuju Siam dengan menggunakan BTS.
Wah, saya serasa menjadi Antareja terus berubah menjadi Gatotkaca, dari grusukan di dalam tanah terus terbang ke langit hehehe,,,
Terbawa Santai di Vientianne
oleh Ario PB Rachman
Memasuki Ibukota Laos, Vientianne (atau Vian Chang) seperti flashback Jakarta pada tahun 1960 – 1970an. Mungkin yang tidak sesuai dengan semangat flashback adalah banyaknya mobil-mobil luar negeri keluaran terbaru yang berseliweran di jalan yang seperti menyadarkan kami bahwa ini bukan perjalanan ‘back to the past’. Jalan-jalan yang sepi dan suasana samping jalan yang masih diselingi oleh tanah-tanah kosong dan rerumputan liar menambah ke eksotisan kota ini, ditambah dengan bangunan-bangunan klasik era pendudukan Perancis yang seakan menyapa kami dengan tatapan angkuhnya menandakan bahwa kuatnya aroma klasik kota ini yang hampir tidak tersentuh modernisasi. Tentu saja hal ini berubah ketika kami melewati pusat kota dan bergerak menuju kawasan padat wisatawan seperti di daerah Fa Ngum Rd, Luang Prabang Rd, Lane Xang rd. Banyak hotel megah dan mesin-mesin ATM seakan hendak menutupi keindahan klasik dari kota yang berpenduduk 822.433 ribu jiwa ini.
Patuxai Monument
Di ujung Kaysone Phomvihane Rd, kami disambut oleh sebuah bangunan yang mirip dengan ‘Arch de Triomphe’ nya Perancis, Patuxai atau Patuxay. Bangunan ini dibangun pada tahun 1957 dan selesai pada tahun 1968. Dahulu monumen ini bernama Anousavali yang berarti “Kenangan”. Setelah Komunis Pathet Lao menguasai Laos, nama monumen ini dirubah menjadi Patuxai, artinya “Gerbang Kemenangan”. Bangunan yang konon juga dibangun dengan dana dari Amerika Serikat untuk membangun sebuah landasan udara pada era Perang Vietnam di 1960an. Pemerintahan Laos malah membangun monumen ini dengan dana dari AS. Akhirnya kadang monumen ini disebut juga sebagai ‘Vertical Runway’. Lepas dari Patuxai, kami memasuki Setthathirath Rd, dan berbelok ke Manthathurath st., tempat dimana kami menginap, di Samsenthai hotel. Keadaan di sini dan terutama Fa Ngum rd sangat berbeda dengan keadaan di luar kota Vientianne. Disini terlihat sangat modern dan penuh wisatawan manca negara, tidak berbeda jauh dengan Bali pada high season.
Chao Anuvong Park
Hari pertama kami lakukan dengan berjalan-jalan di tepi sungai Mekong, yang dijadikan taman besar oleh pemerintah kota Vietianne, yang membentang sepanjang jalan Fa Ngum rd., dan pandangan kami tertuju pada sebuah patung besar di tepi sungai Mekong menghadap ke perbatasan Thailand, dengan tangan kiri memegang pedang dan tangan kanan menjulur ke bawah depan dengan posisi 45 derajat seakan membuat batasan. Ternyata patung tersebut adalah patung Chao Anuvong, salah satu Raja di Vientianne pada masa kerajaan Lan Xang (1767 – 1829). Taman tersebut didedikasikan atas namanya, yaitu Chao Anuvong Park. Banyak orang Laos menyebut Raja Chao Anuvong adalah pahlawan, yang memberontak dari Kerajaan Siam (Thailand), dan mati dalam penjara kerajaan Thailand setelah pasukannya dikalahkan dan Vientianne diratakan sebagai hukuman atas pemberontakannya. Tangan kanan yang menjulur ke depan dengan posisi menghadap ke wilayah Thailand di tepi sungai Mekong seakan menyeru dengan gerakan tubuh kepada rakyat Thailand dengan arti “This is My Land”. Taman dan Patung diresmikan oleh Presiden Laos pada tahun 2010. Figur Chao Anavong ini menandakan bahwa memang masyarakat Laos membutuhkan figur ‘heroes’ dengan mengaitkan cerita masa keemasan kerajaan Lan Xang dengan pemerintahan sekarang (pendiri Pathet Lao, merupakan pangeran dari kerajaan Lan Xang juga) sehingga sejarah mulai dari Kerajaan Lan Xang (Sejuta Gajah dan Payung Putih) sampai ke pemerintahan Lao PDR sekarang berkaitan erat.
Restoran Halal dan Mesjid
Kembali ke daerah Fa Ngum Rd (ternyata nama-nama jalan disini adalah nama-nama raja Laos pada periode kerajaan Lan Xang), ada 2 restoran muslim yang sudah terkenal namanya di pelbagai blog pribadi dan buku wisata untuk wisatawan muslim atau yang tidak suka babi. Restoran Fathima terletak di Fa Ngum Rd (dari hotel kami berjarak 70 meter) keluar dari Mathaturath st ke arah Fa Ngum rd lalu berbelok ke kiri. Sementara Restoran lain adalah Noor Restaurant, dari Mathathurath st ke arah Fa Ngum Rd berbelok ke kanan, sekitar 200 meter. Perbedaan dari keduanya adalah di Fathima, ada personel restaurant yang bisa berbahasa Malay, sehingga komunikasi akan dapat berjalan dengan baik, sementara di Noor, hanya bisa berbahasa Inggris.
Seperti yang telah dibahas dalam beberapa blog, Vientianne memiliki sebuah mesjid yang dibangun oleh komunitas Islam di Vientianne, kebanyakan dari India dan burma. Mesjid ini terletak di jalan kecil seberang National Library of Vientianne, di Setthatirath Rd., masuk ke gang kecil dan terletak di sebelah kiri jalan. Sayang, pada saat kami meninjau lokasi tersebut, tidak banyak orang yang sedang beribadah di sana, sehingga kami tidak mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang keberadaan mesjid tersebut.
Pasar Kaget Malam Minggu di Chao Anuvong Park
Seperti halnya Gasibu di Bandung, ternyata pada malam minggu terdapat pasar kaget di Chao Anuvong Park, yang lokasi pasar malamnya terletak tak jauh dari Restoran Hor Kang. Pengunjung dari pasar malam ini bukan hanya penduduk dari sekitar Fa Ngum rd, akan tetapi juga turis manca negara. Berbagai pernak-pernik dijual disini dan tentunya dengan harga yang miring dibandingkan dengan barang yang sama diperdagangkan di mall seperti mall yang terletak di samping Morning Market (Tallasau). Barang-barang yang diperdagangkan seperti cendera mata, ukiran, kain-kain tradisional khas Laos, sendal, kaus oblong dan sampai kepada jaket-jaket tentara peninggalan US Army. Akan tetapi untuk komoditi yang terakhir ini, jangan salah menilai bahwa ini merupakan jaket replika. Ini jaket jatah asli Angkatan Bersenjata Amerika dengan beberapa cap dan jahitan otentik serta nama pengguna terdahulu, lengkap dengan tanda kepangkatan dan badge dimana sang empunya dulu bertugas. Minat masyarakat Laos terhadap jaket militer AS ini cukup tinggi, di tandai dengan seringnya kami menemukan orang seperti pengendara Tuk-tuk memakainya. Akan tetapi harganya juga cukup mahal. Rekan penulis mencoba bertanya berapa harga sebuah jaket long-coat US Army di pasar ini, dan harga pembukanya adalah sebesar 750.000 Kip atau 862.500 Rupiah.
Eksotisme Kota Tua Luang Prabang
oleh Stefanus Wong
Luang Prabang merupakan kota bekas pusat pemerintahan kerajaan diabad XIII di mana segala aktivitas pemerintahan kerajaan berjalan disini dan sekarang merupakan sebuah situs warisan dunia yang diakui dan dilindungi UNESCO sebagai tempat yang memiliki sejarah unik. Sebuah kota yang terletak di utara Laos dan kurang lebih 450 km dari ibu kota vientiane, menyimpan sebuah karya keindahan tatanan kota yang dipadu dari dua latar belakang budaya yang berbeda yaitu budaya setempat dengan budaya barat, khususnya Perancis.
Perjalanan yang kami tempuh berawal dari Vientiane melalui terminal antar propinsi yang melayani ke jurusan utara Laos. Dengan ongkos 140 ribu kip per orang, kami naik bus VIP ke Luang Prabang. Jarak 450 km kedua kota biasanya ditempuh sekitar 11 jam. Sepanjang perjalanan, bus melewati perjalanan yang cukup lancar karena dengan perbandingan penduduk yang sedikit tidak banyak kendaraan pribadi yang melintas sepanjang perjalanan ini. Perjalanan harus melewati lika-liku tikungan pegunungan sehingga cukup membuat perut terkocok dan mual jadi disarankan meminum obat anti-mabok sebelum berangkat.
Setibanya di Luang Prabang, kami segera disambut dengan hawa dingin kota tua ini. Walaupun kota berelevasi 200-an meter dari permukaan laut namun hawa dingin terhembus dari pegunungan yang mengelilingi kota Luang Prabang. Berjalan-jalan ditengah kota ini kami merasakan kenyamanan kota yang rapi, bersih, sejuk serta penduduk yang ramah.
Kota yang dikenal dengan perpaduan dua budaya dalam gaya arsitektur di mana kota ini disamping memiliki gaya bangunan modern Eropa Barat abad 18 juga masih berdiri kokoh bangunan tua kerajaan abad 13.
Disinilah letak keunikan kota tua ini karena masih menyimpan seni gaya bangunan dua budaya berbedaya yang masih terawat dengan baik. Kita bisa melihat dari bangunan pertokoan dan perhotelan di tengah kota dengan gaya modern eropa barat serta bangunan kuil serta museum-museum merupakan bangunan yang bercorak setempat.
Di kota ini juga masih menjalankan upacara sedekah biksu. Setiap pagi, para biksu akan keluar dari kuil dengan membawa semacam keranjang yang gunanya untuk mengisi sedekah dari orang yang akan mengasihnya. Warga setempat percaya bahwa dengan memberi sedekah kepada biksu, maka mereka akan mendapatkan rejeki yang lebih besarnya nilainya dari pemberian mereka. Tidak hanya penduduk setempat, para wisatawan pun juga turut ikut melaksanakan upacara ini dan dengan posisi berlutut menyiapkan sedekah yang berupa makanan dan uang untuk memberi para biksu yang akan lewat sepanjang trotoar. Para biksu yang berbaris rapi dengan dimulai dari biksu paling tua hingga biksu yang paling muda berjalan sepanjang trotoar untuk mencari sedekah dari kebaikan orang-orang. Upacara yang sangat unik ini banyak juga dimanfaatkan para wisatawan untuk mengambil gambar mereka.
Ditengah kota Luang Prabang ada satu tempat yang dikenal dengan nama Phou Si, merupakan daerah yang landai dan diatas bukit ini ada kuil yang juga dikenal dengan nama kuil Phou Si, konon katanya dikuil ini ada patung Buddha tidur terbesar di Laos. Dari daerah ini juga bisa melihat secara jelas kota Luang Prabang karena di bukit inilah merupakan tempat tertinggi di tengah kota Luang Prabang.
Tidak jauh dari Phou Si, masih dalam jalan yang sama yaitu jalan Sisavangvong, ada pasar malam yang berjualan berbagai macam souvenir, sutra, pakaian dan makanan-minuman. Disinilah tempat para turis berbelanja dan menghabiskan uang. Selain itu, keindahan malam kota ini bisa dinikmati dengan makan di pinggir sungai Mekong dan dengan penerangan lampu yang redup serta udara yang sejuk, sangat mendukung dalam suasana nyaman untuk melepas lelah.
Secara umum, kota Luang Prabang merupakan kota yang menarik untuk dikunjungi turis karena selain menyimpan karya-karya arsitektur yang indah, kota ini juga terdapat gua yang banyak ukiran Budha serta memiliki air terjun yang indah. (2011)
Thakek – Hue dengan Bis Bermuatan Arang
Oleh Hidayat Adhiningrat
”Telepon saya kalau kendaraannya tidak ada”, pesan om Edi, seorang warga Indonesia yang bekerja dan tinggal di Thakek. Ia dengan segala kebaikannya telah sangat membantu kami dalam petualangan ini. Trayek kendaraan dari Thakek (Laos) ke Hue (Vietnam) ini memang tergolong masih baru, belum sampai satu tahun, karena itu ia sendiri masih sedikit sangsi . Ia harus pulang karena waktu sudah menunjukan pukul 19.00.
Cukup lama kami menunggu kendaraan yang tak kunjung tiba, diam-diam kami mulai khawatir bahwa ‘minivan’ ini tidak akan ada, hampir satu setengah jam kami menunggu sampai ketika di parkiran dengan plang yg tertulis “Thakek-Hue” ini tiba kendaraan yang kami tunggu-tunggu, dan bukan mini van melainkan sebuah bus ‘reot’.
Dengan ‘bahasa isyarat’ -karena kondektur dan supirnya tidak bisa berbahasa inggris- kami coba meyakinkan bahwa bus ini memang menuju Hue, setelah yakin kami memasukan barang ke dalam bus. Didalam bus terdapat sembilan orang penumpang, dari terminal Thakek ini naik lima orang penumpang yaitu kami bertiga dan dua orang turis dari Spanyol sehingga total jumlah penumpang adalah 14 orang, setelah kursi kami isi didalam bus tersisa dua kursi lagi, bagian belakang kosong tanpa kursi!!
“Ah, sudahlah”, kami pikir yang penting kami bisa sampai ke Hue, lagi pula keadaan kami sudah sangat lelah sisa penelusuran kemarin, sekarang saatnya tidur.
Sempat mengobrol sebentar di dalam bus tidak lama kami bertiga tertidur dengan lelap, perjalanan malam hari ini sangat menguntungkan karena kami bisa beristirahat di perjalanan, begitu kira-kira yang ada dalam pikiran kami.
Tapi, ketika kami mulai terlelap kondektur membangunkan kami semua –dengan bahasa Laos tentunya-, kami kaget, sambil masih mengantuk dan bingung saya memperhatikan keadaan sekitar dan saya semakin bingung karena kami ada ditengah hutan!! Lebih kaget lagi ketika turun, di bawah “berbaris” sekitar 6 orang menggunakan penutup muka dan berpakaian lengan panjang, lalu kami dibawa ke sebuah gubuk dengan sebuah perapian di sisinya. Dalam kebingungan saya berpikir yang bukan-bukan, bayangan mengenai Perang Asia Tenggara muncul, jangan-jangan kami diculik kelompok separatis? Jangan-jangan kami akan dibunuh? Dan pikiran-pikiran aneh lainnya muncul di otak saya.
Setelah kesadaran kami mulai pulih, kami mulai memperhatikan keadaan sekitar dengan saksama dan ternyata di balik pepohonan terdapat jalan raya dan Sembilan penumpang selain kami dan turis Spanyol tadi terlihat ‘nyaman-nyaman’ saja, sedikit demi sedikit pikiran yang bukan-bukan itu terkikis, sepertinya saya terlalu berlebihan dalam berprasangka.
Dua orang turis Spanyol itu mendatangi kami, dengan berbahasa inggris mereka meminta kami untuk bertanya pada supir dan kondektur mengenai apa yang sedang terjadi, kenapa kita berhenti di tempat ini? Mereka meminta kita karena lagi-lagi –seperti yang terjadi sebelumnya- kita dianggap warga lokal. Tentu saja kami menolak, karena memang kami tidak bisa berbahasa Laos tetapi kami juga ingin tahu apa yang sebenarnya membuat kami terhenti di sini? Kami perhatikan tidak ada yang mereka kerjakan kecuali mengobrol, dengan menggunakan ‘bahasa isyarat’ kami coba bertanya lalu dijawab oleh mereka dengan bahasa Laos dan ‘bahasa isyarat’ lalu kami mengangguk-angguk dan tetap tidak mengerti.
Sekitar setengah jam kemudian akhirnya terjawab sudah pertanyaan kami, ternyata bus ini berhenti untuk mengangkut arang-arang yang akan dibawa menuju Hue + sapu ijuk dan jumlahnya membuat bus terisi penuh didalam + atap bus yang juga sangat penuh, jadilah malam itu kami 14 orang penumpang dengan arang dan sapu membelah malam menuju Vietnam.
Keesokan paginya kami tiba di perbatasan Laos-Vietnam (Lao Bao), sepertinya kami tiba terlalu pagi karena kami harus menunggu pintu perbatasan yang baru terbuka pukul 07.00 waktu setempat. Setelah pintu perbatasan dibuka kami melakukan pengecekan imigrasi untuk keluar dari Laos, pelayanan imigrasi di perbatasan ini mengingatkan saya ketika mengurus pajak motor di SamSat dulu sebelum ‘perbaikan’ : siapa duluan menyerobot antrian dan siapa yang calo nya paling hebat maka dia yang selesai terlebih dahulu. Keadaan ini tampaknya membuat kesal kawan kami dari Spanyol itu, dalam perjalanan menuju kantor imigrasi Vietnam untuk pengecekan imigrasi memasuki Vietnam dia bertanya : “your country is better, right??” dan kami jawab “of course” walau sebenarnya keyakinan kami masih setengah-setengah (bule-bule ini rencananya akan langsung ke Bali setelah dari Vietnam).
Sebelum masuk ke loket imigrasi, kami bertiga –ya, hanya kami bertiga- dihentikan oleh petugas dan dibawa menuju sebuah ruangan lalu di sana kami dicek oleh sebuah alat dan dipersilahkan kembali ke antrian, saat keluar ruangan kami membaca nama ruangan tersebut dan disana tertulis “ruangan kesehatan”, tampaknya keadaan kami yang kucel ditambah coreng moreng akibat arang di dalam bus membuat kami disangka “pembawa penyakit”. Keadaan di loket imigrasi Vietnam agak lebih baik daripada loket imigrasi Laos, setidaknya antrean di sini lebih teratur. Setelah pengecekan imigrasi selesai perjalanan menuju Kota Hue dilanjutkan, selamat tinggal Laos. (2011)
Udom Xai, the Heart of Northern Laos
oleh Rausyan Fikry Muhammad
“There is so far, and the road is bad. And I tell you something, in Oudom Xay, nothing to see”, demikian penuturan supir taxi di terminal utara Vientiane saat kami berbincang dengannya.
Ya, sepintas kota di sebelah Utara Laos ini memang sangat terpencil dan tak banyak dikenal oleh wisatawan. Tak heran bila supir tasi itu terkejut mendengar tujuan kami. Namun dengan semangat let’s get lost, penuturan supir taxi itu justru membuat adrenalin terpacu. Menurut penuturan supir taksi yang membawa kami ke terminal utara, untuk sampai di Oudom Xay dari Viantiene, membutuhkan waktu sekitar 15 jam berkendara.
Suasana terminal utara Viantiene ini cenderung sepi dan gersang. Sore itu, hanya beberapa bus saja yang terparkir di terminal ini. Bebeberapa turis asing terlihat menunggu bus berangkat, perkiraan kami, mereka akan menuju Luang Prabang atau Vang Vieng, bukan ke Oudom Xay seperti kami. Untuk menuju Oudom Xay kami membeli tiket bus menuju Borkeo, dan berencana turun di Oudom Xay, salah satu kota yang dilewati trayek bus tersebut.
Sengaja kami membeli tiket keberangkatan malam dari Viantiene, agar di dalam bus kami dapat beristirahat. Jadi dengan bus yang berangkat pukul 18.00, perkiraan kami sampai di kota Oudom Xay adalah pukul 10.00, pagi. Konsekwensinya tidak banyak yang dapat kami lihat sepanjang perjalanan malam itu.
Pemandangan baru terlihat disisi-sisi jalan ketika kami bangun pukul 06.00 keesokan harinya. Pandangan pertama adalah bukit-bukitan yang berjajar memanjang ke utara. Di samping kanan bus langsung berbatasan dengan anak sungai Mekong yang lebar. Bus seakan menelusuri sisi sungai yang tanpa pembatas jalan, karena dihimpit tebing terjal di sebelah kiri jalan. Dengan lebar jalan yang sempit, perjalanan menuju Oudom Xay ini cukup berbahaya, karena bus yang kami tumpangi pun hampir tergelincir menuju sungai.
Satu jam kemudian, bus beristirahat di sebuah kota kecil Pak Mong. Sebuah kota yang dikelilingi bukit-bukit rimbun, tampak tak banyak dihuni oleh penduduk. Ketika kami turun dari bus, udara sejuk dan dingin yang menyentuh, mengingatkan pada kampung halaman di Bandung. Pak Mong merupakan kota transit bus-bus yang akan menuju Borkeo dari arah selatan atau Viantiene dari utara. Di kota ini, penumpang bisa membeli oleh-oleh. Namun sepagi ini belum banyak toko yang buka.
Selepas Pak Mong, jalan menuju Oudom Xay semakin menyempit dan semakin rusak. Menembus bukit-bukit terjal yang menanjak, bus akhirnya menemukan titik puncaknya. Bus yang kami tumpangi mogok berkali-kali dalam perjalanan. Menarik apa yang kami saksikan di dalam bus. para penumpang yang seluruhnya warga Laos, kecuali kami, malah tertawa dan bercanda di dalam bus. Tidak seorangpun yang mengeluh, sepertinya sbuah kebersamaan dalam penderitaan masyarakat Laos.
Semakin jauh perjalanan, semakin menarik pula hal-hal menarik yang dapat disaksikan. Di sisa perjalanan menuju Oudom Xay, terlihat banyak masyarakat Laos yang belum banyak tersentuh kemajuan. Perkampungan yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu, bilik dan beratapkan jerami masih banyak terlihat di sepanjang perjalanan.
Pukul 11.00 kami tiba di teminal bis tujuan. Oudom Xay atau juga disebut Muang Xay merupakan kota yang tidak terlalu besar dan dikelilingi oleh bukit-bukit. Tidak segemerlap kota-kota tujuan wisata lain di daerah utara, seperti Luang Prabang dan Van Vieng. Seperti tak banyak potensi kota Oudom Xay yang bisa menyilaukan banyak mata wisatawan asing. Namun kami tak patah semangat, pasti ada sesuatu disini!
Oudom Xay merupakan kota kecil, jadi untuk mengelilingi kota ini tidak membutuhkan waktu lama, hanya sekitar dua jam menggunakan Tuk-Tuk. Tidak banyak aktivitas masyarakat di kota ini, kebanyak hanya diam di rumah masing-masing atau berjualan di pasar dan menjaga toko. Masyarakat di kota ini pun sangat jarang sekali yang dapat menggunakan bahasa Inggris, sehingga agak menyulitkan wisatawan asing yang datang ke kota ini. Kebanyakan aktivitas yang dilakukan oleh warga adalah berniaga. Tidak banyak warga yang berjalan-jalan di kota, kebanyakan warga yang terlihat adalah warga yang memang berdagang atau bekerja di toko.
Melihat kondisi kota yang sangat panas, kami menyewa tuk-tuk untuk mengelilingi setiap sudut kota Oudom Xay. Dengan menyewa Tuk-Tuk seharga 200.000 K, kami mendapatkan waktu dua jam untuk mengelilingi kota antara lain mengunjungi temple dan Museum. Ketika mengunjungi temple, biksu yang tinggal di temple itu mengatakan bahwa temple ini baru dibangun sekitar 30 tahun yang lalu, dan dia mengatakan bahwa untuk temple-temple tua banyak terdapat di Luang Prabang. Sementara museum yang ingin dikunjungi ternyata tutup padahal menurut jam buka yang tertera di pintu museum, harusnya museum ini buka pada jam ketika kami berkunjung.
Ternyata kota kecil di Utara ini tetap memiliki pesonanya sendiri dalam ekowisata Laos. Wisata yang ditawarkan disini antara lain trekking di distrik Khamnu, melihat kehidupan desa Hmong, atau dengan sedikit keluar dari kota akan mendapati wisata yang kian menantang seperti gua Chom Ong, sember air panas Muang La atau lembah Nam Ko. Jadi kebanyakan bentuk wisata yang ditawarkan di kota Oudom Xay ini terletak di luar kota Oudom Xay, yakni sekitar daerah perbatasan dengan Luang Prabang di selatan dan kota Borkeo di utara. Namun seperti motonya the heart of northren Laos , dari kota ini wisatawan akan dapat menjangkau tempat-tempat yang menarik tersebut. Jadi dalam suatu perjalanan tak perlu kecil hati bila informasi awal seperti tak banyak menjanjikan. Itulah awal sebuah petualangan.