Cikapundung Trail di Kawasan Dago

 

Siapa yang tak mengenal kawasan Dago di kota Bandung? Sepanjang jalan yang menjadi ikon kota Bandung itu tiap hari selalu ramai oleh berbagai kesibukan. Pada hari biasa kawasan sepanjang jalan ini akan ramai oleh berbagai aktifitas  seperti factory outlet, kuliner, sekolah, kantor dan pertokoan. Pada hari Minggu akan semakin ramai dengan adanya car free day  dimana warga kota dan turis tumpah ruah meramaikan suasana Minggu pagi.

Namun tahukan anda tak jauh dari jalan Dago yang hiruk pikuk  masih ada jalur setapak yang asri dan hijau, tepatnya di sepanjang aliran sungai Cikapundung. Mereka yang ingin melakukan hiking namun enggan jauh-jauh dari kota sangat cocok untuk mencoba jalur yang dimulai dari Curug Dago dan berakhir di Babakan Siliwangi ini. Trek hiking sepanjang empat kilometer dengan waktu tempuh tak sampai dua jam ini akan cukup membuat badan berpeluh dan hati riang dengan  tanpa merogoh kocek besar.

Medan yang dilalui sepanjang perjalanan beragam mulai dari hutan bambu, semak, perkampungan, sawah dan juga kuburan.  Kontur berbukit-bukit akan membuat kita naik turun di sepanjang aliran sungai ini.  Kondisi aliran sungai sepajang perjalanan juga berubah-ubah dari aliran dangkal, jeram, bendungan kecil, dan air tenang yang sering dimanfaatkan untuk memancing. Supaya tak tersesat kala menyusuri jalur ini, tetaplah berada tak jauh dari tepian aliran sungai Cikapundung, jangan terlalu jauh berjalan melambung. Untuk mendapatkan jalur yang  lebih jelas, dari arah  Curug Dago sungai akan selalu berada di sebelah kiri kita.

Jalur jalan setapak ini berakhir di desa, dan setelah melewati desa kita akan sampai di sebuah dam atau sering disebut waterfank. Dari sini hingga taman Teras Cikapundung (Babakan Siliwangi) jalan setapak sudah ditata dengan baik memakai ubin  sehingga nyaman bagi pejalan kaki. @districtonebdg

Menyibak Hutan Purba Gunung Sanggara

sanggara web

Hiking menuju puncak gunung Sanggara bukanlah perjalanan ongkang-ongkang kaki yang ringan bagi para jiwa resah yang rindu pada alam pegunungan. Tak lama sejak memasuki hutan segera saja kita sudah disambut oleh tanjakan yang terjal, sehingga terkadang harus menggunakan tangan untuk menjangkau akar dan batang pohon untuk membantu mendaki.  Hutan di kawasan Sanggara memang bukan taman yang manis seperti di Dago Pakar. Disini masih dapat dijumpai hutan purba dengan pepohonan yang berselimut lumut, pacet selalu siap menempel bila tak awas dan nyamuk hutan kerap mengerubuti kala beristirahat.

Puncak Sanggara sendiri berketinggian sekitar 1.900 meter dpl, terdapat sebuah nisan in memoriam di puncaknya yang menandakan pernah ada jiwa bebas yang dipanggil ke alam baka. Kawasan ini sering dijadikan arena latihan oleh para pecinta alam antara lain karena hutannya masih asri dan heterogen sehingga cukup representatif untuk materi survival.  Sehingga tak heran walau memang ada jalan di hutan namun bukanlah setapak untuk berlenggang kangkung karena hanya dilalui para pencari kayu, pemburu dan petualang.

“Lutung disini besar-besar hampir seukuran orang,” ujar seorang pencari burung yang sempat ditemui di bawah. Mungkin agak berlebihan, namun lutung yang kerap terlihat disini memang tidaklah kecil.

Selalu menjadi dilematis bila bertemu dengan wong cilik yang mencari pencaharian dengan berburu burung atau binatang lain di hutan. Disatu pihak itu mengganggu kelestarian alam namun dipihak lain perut mereka yang lapar tentu harus diisi, keluarganya di rumah perlu membeli beras dan anak-anak mereka perlu mendapat pendidikan yang tinggi agar kelak lebih pintar dari orangtuanya. Ah, semoga mereka berburu masih dalam batas kewajaran. Nature provides our meals as long as we contoll our appetite.

Pendakian cukup menguras energi, rasa lapar mulai menggeliat di perut kala sampai di puncak Sanggara. Namun tak ada makanan berat yang dibawa karena perkiraan kami tentang warung yang buka di desa terakhir meleset. Mungkin karena melewatinya terlalu pagi sehingga hanya ada coklat Silver Queen dan segepok roti yang gepeng untuk dibagi berempat. Toh itupun terasa nikmat setelah perjalanan di hutan yang menguras tenaga tadi.

Setelah beristirahat  beberapa lama kami berembuk sejenak apakah dari puncak Sanggara akan melanjutkan hiking ke Bukanagara atau turun kembali ke Cibodas. Dari perkebunan Bukanagara perjalanan bisa terus ke Cipunagara lalu kemudian Cikole, Lembang. Menurut cerita legenda Sangkuriang yang termahsyur itu, Bukanagara dan Cipunagara merupakan tempat para pekerja Sangkuriang beristirahat. Di wilayah Bukanagara terdapat sebuah tempat bernama gunung Tumpeng  dan di Cipunagara  terdapat tempat bernama gunung Paisdage yang diceritakan merupakan tempat  pembuatan makanan bagi para pekerja proyek Sangkuriang.

Akhirnya diputuskan untuk meneruskan perjalanan ke arah Bukanagara namun hanya sampai disekitar kawasan pasir ipis, darisitu kembali ke Sanggara dan turun ke Cibodas. Waktu satu jam kedepan mereka hanya akan mencoba masuk semakin dalam ke hutan dan merasakan aura kelebatan gunung ini. Setelah itu mereka akan kembali turun melewati jalan yang sama yaitu menuju perkebunan kina Cibodas.

Betapa berat rasanya meninggalkan Sanggara kembali turun menuju ke Bandung. Seolah tangan-tangan alam telah mendekap erat hati untuk tertambat disana. Hanya berjarak satu jam dari kota yang sumpek oleh kabut putus asa, ternyata di pegunungan semua tampak indah dan berirama. Sebuah simponi kehidupan yang mungkin dilewatkan di kehidupan kota, dan ketika merasakannya ada keharuan tersendat ingin dikeluarkan. Dan alam seakan orang tua yang penuh kesabaran membelai ujung-ujung rambutnya, mendengar semua keluh kesah serta memeluk penuh kehangatan. Pegunungan seperti ingin menitiskan kekuatan maha yang dimilikinya kepada yang mengunjunginya. Ataukah memang selama ini memang itu yang ingin dibisikkan mulut yang bijak bahwa kita telah mewarisi kekuatan itu sejak masih bayi yang memerah? Hanya kita tak merasakannya saja karena terselimuti kabut putus asa yang datang dan pergi. @districtonebdg

Symphoni di Ketinggian Gunung Burangrang

burangrang web

 

Setelah bertahun-tahun tak sowan ke gunung Burangrang, akhirnya keinginan melepas rindu itu terlaksana juga.  Sudah terlalu lama rasanya tak bercengkerama dengan hembusan angin dan gemerisik daun di gunung ini. Hiking di gunung Burangrang bersama Diki Tresnawan, Olivia Damayanti, Asep Nurdin dan Wahyu Suprianto  seakan sebuah reuni para sejawat era petualang dulu. Sementara teman-teman baru yang juga ikut yaitu Rifiati Safariah, Yudha, Tanto dan Iman semakin menambah semarak hiking kali ini.  Tak ada perjalanan yang lebih menyenangkan dibanding hiking  dengan teman lama dan teman baru sekaligus.

Sebelum dan sesudah acara hiking kami mengunjungi pesantren alam yang dikelola oleh Iman. Pesantren yang menampung anak-anak ini memang diarahkan untuk mengakrabkan anak didiknya untuk selalu mengakrabi alam sekitarnya. Sebuah ide yang menarik, pikir saya.

Suasana pesantren anak-anak ini memberi warna tersendiri dalam hiking di gunung Burangrang kali ini. Didalam pesantren yang sederhana namun resik, terdapat beberapa rak buku yang berisi sumbangan buku-buku dari para donatur. Kebanyakan merupakan buku anak-anak, dan memang itulah yang lebih mereka harapkan kepada donatur yang ingin menyumbangkan kelebihan buku-bukunya. Sayang kami tak membawa sebuah bukupun untuk disumbangkan, karena tak mendapat informasi sebelumnya. Maklum saja, hiking ini merupakan acara dadakan –seperti biasa.

“Seringlah mampir kesini karena kami suka mengadakan pengajian Wiro Sableng,” seloroh Iman becanda.  Saya kurang paham maksudnya namun diam-diam kagum pada kerendahan hati teman satu ini dalam keluasan ilmu yang dimilikinya.

Selama bertahun-tahun saya selalu merasakan kecemburuan dari jalan setapak di punggungan gunung karena kami kerap bermain ke Situ Lembang yang terletak di lembah Burangrang tanpa pernah naik ke puncak gunung. Entahlah, mungkin saya sudah terlampau manja atau begitu sombong dengan mengabaikan bisikan Sang Gunung selama belasan tahun. Padahal di gunung inilah pertamakali saya belajar mengenal alam bebas.

Setidaknya ada tiga jalur yang dapat kita lalui bila ingin mencapai puncaknya, yaitu lewat Kertawangi (Pos Komando), Legok Haji dan Cisurupan. Gunung Burangrang (2.064 meter) memang tidak terlampau tinggi dan aman didaki pemula sekalipun, namun jangan pernah under-estimate pada sebuah gunung karena  terbukti dipuncaknya terdapat sebuah in memoriam yang menandakan pernah ada korban yang tetirah abadi disini.

Gunung yang imut inikerap mengingatkan pada lagu-lagu Iwan Abdulrahman, seorang sesepuh dunia petualangan yang juga pencipta lagu. Tahun 1964 di puncak gunung ini  Abah Iwan, demikian panggilannya, menciptakan lagu Balada Seorang Kelana untuk empat rekannya yang sedang tersesat di gunung itu.  Lagu itu ia dendangkan lewat radio untuk memberi dukungan moril bagi para pendaki yang tersesat yang mendengarkannya lewat radio.

“Ingat waktu dulu nge-SAR di sini,” ujar Diki.

“Ya.. rasanya baru seperti kemarin,” gumam Wahyu pelan, seperti teringat akan sesuatu. Sejenak saya ikut tertegun kembali mengingatnya.

Pikiran saya lalu menerawang ke bulan Desember tahun 1995 ketika melakukan hal yang sama di gunung ini. Tahun 1995 gunung Burangrang memang sudah tak selebat dulu, namun kala itu kami terlibat sebuah pencarian seorang siswa pendidikan yang tersesat.  Setelah semalaman seluruh personil di base camp dikerahkan menyisir punggungan, akhirnya siswa yang malang dapat ditemukan dalam keadaan lemas dan takut.

Saya selalu ingat pada rasa cemas itu. Sebuah kecemasan yang membuat adrenalin bergolak hingga akan melakukan apa saja untuk menemukannya bahkan bila harus bolak-balik kepuncaknya, sementara dilain pihak rasa khawatir akan keselamatan siswa itu menjalar disekujur tubuh. Saya tak ingin kehilangan seorang rekan disini.

Sebuah lagu dari Abah Iwan yang juga mengingatkan saya kala berada di ketinggian gunung Burangrang adalah sebuah lagu pujaaan yang kerap diperdengarkan di aula universitas. Dasar bukan mahasiswa teladan,  hingga bertahun-tahun kuliah di Unpad saya tak tahu yang namanya Hymne Universitas Padjadjaran. Saya lebih sering menyelinap keluar atau terkantuk-kantuk saat acara-acara resmi yang mengumandangkan lagu ini. Namun karena kerap mendaki gunung bersama teman-teman, tak banyak hiburan kecuali kaset dan tape yang dibawa.

Saya mulai menyimak lagu hymne ini karena ia berada diantara lagu-lagu Iwan Abdulrahman yang yang sering dibawa oleh teman. Di keheningan alam, walaupun berasal dari radio transistor butut milik Wawan, lagu hymne itu terasa lebih menyelinap di hati dibanding mendengarnya didalam aula kampus dan dibawakan dengan megah oleh paduan suara.

“Lagu ini ditulis tahun 1971 di suatu  ketinggian di gunung Burangrang bersama-sama  beberapa orangteman saya berkumpul; Remi Cahari, Hari Raspati, Bekti…mahasiswa kedokteran, mahasiswa ekonomi waktu itu..sekarang mereka sudah jadi dokter..Hymne Universitas Padjadjaran. Yang saya tulis waktu itu adalah harapan dan penghayatan kami terhadap universitas,” demikian ujarAbah Iwan disuatu kesempatan sebelum melantunkan lagu Hymne Universitas Padjadjaran.

Di ketinggian Burangrang sejenak saya merasa memahami perasaan cinta  itu. Suatu desir-desir halus yang kerap dirasakan saat bersusah payah membawa bendera berlambang almamater ke berbagai puncak tertinggi dan mengibarkannya disana. Jarak yang terpisah puluhan tahun terasa amat dekat, seakan berada disatu ruang dan waktu yang sama. (2011)

@districtonebdg

Gunung Palasari Menawan Hati

IMG-20160211-00682

Gunung Palasari (1.852 m dpl) memang tak terlalu populer  bahkan bagi warga Bandung, mungkin lebih terkenal nama jalan Palasari sebagai tempat penjualan buku diskon itu. Popularitas gunung ini kurang beken dibanding gunung lain sekitar Bandung seperti Tangkuban Parahu, Bukittunggul dan Manglayang. Salah satunya barangkali karena ukurannya yang lebih kecil dari gunung-gunung yang lain. Namun bila anda memandang ke arah Utara dari kota Bandung akan mudah terlihat sebuah gunung berbentuk segitiga yang sempurna. Itulah gunung Palasari, disebelah kiri belakangnya akan tampak gunung Bukittunggul dan disebelah kanannya adalah gunung Manglayang.

 

Saat pertama kali mendaki gunung Palasari pada tahun 1993  saya harus rela berjalan kaki dari daerah Patrol, desa Suntenjaya, tempat angkutan desa dari Lembang berakhir. Jalan koral yang berdebu itu amat sepi, hanya terik matahari yang menemani perjalanan sepanjang kebun kina itu. Selain jalanan batu yang rusak, jalan ini memang bukan jalur wisata hingga amat jarang dilewati kecuali untuk kepentingan perkebunan. Namun kini perjalanan bisa dilanjutkan dari Patrol dengan menyewa ojek yang selalu mangkal disana, bahkan bila kita membawa kendaraan sendiri maka tinggal meneruskan saja hingga ke kaki gunungnya karena jalan sudah beraspal. Alternatif lain yaitu datang dari arah Ujungberung menuju ke desa Palintang, lalu meneruskannya menuju kaki gunung Palasari. Dari sinipun jalan sudah beraspal hingga banyak kendaraan yang lalu lalang. Setiap hari libur jalur ini merupakan salah satu favorit untuk bersepeda.

IMG-20160211-03074

Bila dulu selalu melewati jalur ini dengan berjalan kaki, kini karena jalan sudah beraspal rasanya lucu juga bila memaksakan berjalan. Selama masih ada akses kendaraan, maka tenaga harus dihemat. Begitulah prinsip saya sekarang, sehingga jalur Cibodas – Palintang kini selalu dilewati dengan menumpang kendaraan. Tak memerlukan kendaraan 4×4 untuk sampai disini,  nanti bisa diparkir di sebuah lapangan luas di daerah yang dinamakan Gunung Kasur. Namun bila menggunakan kendaraan four wheel drive tetap saja kami akan  selalu berusaha menghindari jalan aspal melainkan mencari jalanan koral di sisi-sisi perkebunan yang lain. Setidaknya suasananya masih tak jauh berbeda dengan masa lalu, jadi bisa menikmati sedikit romantisme masa-masa young guns.

Jalan setapak menuju puncak gunung, merupakan sebuah “perempatan” antara jalan koral menuju Pangparang, jalan setapak menuju puncak Palasari dan jalan aspal kebun kina. Bila kita memarkirkan kendaraan di lapangan Gunung Kasur, berjalan kaki di jalan aspal menuju jalur setapak ini tak lama paling hanya lima menit. Dari awal jalur setapak menuju puncak pun tak memakan waktu lama sekitar satu setengah jam dengan perjalanan yang tak tergesa-gesa. Hanya saja karena jarang dilewati jalan setapak kadang kurang jelas dan semak berduri maupun robohan pohon kerap menutupi jalan.

Selain hutannya yang lebih homogen, tak ada yang aneh di gunung Palasari, sama saja dengan gunung-gunung lain disekitarnya. Dulu ada semacam undak-undak seperti kuburan di atasnya. Menurut cerita konon undak-undak itu merupakan peninggalan manusia prasejarah Bandung pada zaman batu besar (megalithik). Sehingga tak heran banyak cerita-cerita dari beberapa penduduk bahwa Palasari adalah gunung yang angker. Memang ditempat tersebut terkadang dijadikan tempat untuk berziarah dan memberikan sesaji. Namun ketika mengunjunginya kembali di tahun 2016 ini sulit menemukannya lagi, mungkin karena sudah terlalu lama juga.

Walau bukan gunung berapi dan  tampak mungil, gunung Palasari sebenarnya menyimpan kekuatan alam yang destruktif. Kawasan ini merupakan salah satu sesar aktif di pulau Jawa yang berhubungan dengan aktivitas gunung Sunda purba. Seperti diketahui setelah gunung Sunda purba meletus dengan dahsyat, disekitar kaki gunungnya tumbuh gunung-gunung parasit seperti Bukittunggul dan Palasari. Daerah ini merupakan ujung timur Sesar Lembang, terletak antara Gunung Manglayang dan Bukit Tunggul. Sesar aktif sepanjang 22 kilometer merupakan retakan di kerak bumi membelah daerah Maribaya hingga Cisarua, beberapa bagian sesar Lembang yang terangkat ini, antara lain adalah Gunung Palasari ( lihat Menonton Gunung Menangkap Awan di Patahan Lembang ) .

Dari arah perkebunan kina, yaitu disekitar daerah gunung Kasur, pemandangan ke arah gunung Palasari merupakan salah satu view paling indah di Bandung. Dari sini gunung Bukittunggul maupun Manglayang tak terlihat karena terhalang oleh bukit-bukit kina, sehingga gunung Palasari tampak megah didepan mata. Saya tak akan bosan-bosannya mengagumi view itu walau telah berkali-kali melewatinya, bahkan membuka bekal makan siang atau meliwet nasi di bedeng yang terletak disitu, sambil ditemani kesyahduan alam di sekitar. Saya memang harus merelakan untuk mengubur romantisme jalur klasik ini, namun setidaknya di beberapa spot tempat yang hanya segelintir orang saja yang tahu, sebuah keindahan masih dapat dinikmati dengan syahdu. Saya merasa termasuk yang beruntung. @districtonebdg

 

Medan Pendakian yang Unik di Gunung Rakutak

rakutak3

Petualangan kali ini lebih seperti reuni mereka yang dulu pernah berkegiatan di alam bebas, katakanlah 15 – 20 tahun lalu. Sehingga tak heran kini yang dikejar bukanlah aroma petualangan ekstrim , namun lebih suasana nostalgia. Kini mereka bukanlah sebagai pelajar atau mahasiswa lagi, namun dari dari beragam profesi dengan istri dan anak yang menunggu di rumah. The expendables,  mereka yang sudah terbuang dari dunia petualangan.

Sudah bisa ditebak, kondisi fisik mereka pun sudah jauh menurun dari masa-masa primetime-nya. Wawan sebagai veteran pendaki gunung dengan iri memandang Imam, mahasiswa yang mendampingi, dengan enteng berjalan membawa semicarrier yang padat sembari santai merokok.

“Baheula mah urang ge kenca katuhu ngudud na…”  ia menghibur diri.

Perjalanan sendiri tak dimulai terburu-buru hingga hari beranjak menuju siang. Hampir dua jam delay dari itenary yang sudah dirancang. Menjelang tengah hari, perjalanan baru dimulai. Matahari terik di ubun-ubun, untung semua membawa topi. Pengalaman, barangkali itu saja  bekal mereka kembali gunung-gunungan kali ini. Walau kick off pendakian delay hingga dua jam, mereka dapat memperkirakan sudah akan kembali ke desa sebelum gelap. Maklum saja, tak satupun membawa senter. Alamak..

Tak sampai setengah jam, nafas ngos-ngosan  sudah terdengar. Peluh membanjir deras. “Jrit..nepi kadenge detak jantung sorangan,” Bais membuka suara.

“Aduh..sugan teh arek fun trekking..” keluh Ervan.  Ini semacam sinyal untuk beristirahat, yang segera disambut bahagia oleh yang lain. Tak ada yang dikejar dalam pendakian ini, puncak bukan lagi tujuan utama, sunrise bukan lagi kemewahan. Kini adalah masanya kebersamaan, lalu untuk apa bergegas. Hampir tiap 100 meter mereka berhenti 🙂

Medan pendakian Rakutak relatif landai sehingga memberi cukup banyak kesempatan menarik nafas sebelum memasuki medan terjal didepan, terutama menjelang puncak kesatu. Daya tarik Rakutak adalah jalur yang berupa bibir jurang yang menghubungkan puncak-puncaknya. Walau hampir semua gunung akan memiliki kontur demikian, jalur yang dijuluki para pendaki Rakutak sebagai siratul mustaqim ini sangat unik. Saya senang menyebut setiap  jalur curam sebelum puncak  sebagai “Hillary step”.

Pemandangan terhampar bebas sepanjang jalur yang beresiko ini. Tampak hamparan hutan yang masih tak terjamah dibawahnya. Pendakian ke gunung berketinggian 1922 meter dpl  ini juga masih sepi dari pengunjung, dengan demikian masih relatif bersih dari sampah. Walau di area bermalam sudah mulai  tampak gejala-gejala mengkhawatirkan dari para pendakiyang malas membawa sampahnya kembali.

Matahari sedang bersinar hangat saat rombongan tiba di puncak dan membongkar perbekalan yang dibawa. Sementara para fotografer mendokumentasikan keindahan alam Rakutak dari puncaknya, kompor Trangia pun digelar untuk memasak mie serta minuman panas kopi dan teh. Tak ada yang lebih menyenangkan selain memberi sentuhan abadi  di puncak perjalanan. Acara memasak ini ibarat sebuah ritual, sebuah upacara singkat namun akan dikenang abadi. Waktu mereka tak banyak, hanya 30 menit sebelum turun kembali.  Ritual setengah jam ini akan  menjadi tak terlupakan sepanjang hidup, seperti juga momen-momen saat dulu berdiri di kemegahan puncak-puncak gunung lain. Seberapa banyak kita mempunyai momen-momen indah yang dikenang abadi?

Bagi sebagian dari mereka,  perjalanan kecil ini seolah menyentak alam bawah sadarnya dengan keras. Belasan tahun lalu ketika merasa sudah pensiun dari petualangan, tak satupun menyangka akan ada momen untuk kembali melakukan hal yang sama. Kini dengan alam pikir yang sudah lebih bijak dari masa adrenalin junkies dulu, sebuah halaman baru membentang didepan mereka. Itulah halaman kosong yang akan mereka warnai dan ruang hampa yang akan mereka isi dengan rasa yang pernah dikenal dulu. Sebuah pemahaman baru tentang alam, tentang hubugannya dengan manusia, dan terutama tentang diri mereka sendiri.  @districtonebdg