Saung Lahang Rest Area Ideal di Lintasan Gunung Lingkung

Bila melakukan hiking dari Cikole ke Cibeusi maka jalur yang ideal adalah dengan melewati gunung Lingkung. Selain treknya cukup lebar juga terdapat warung yang kondusif untuk memulihkan tenaga yang terkuras usai mendaki gunung Lingkung.

Setelah melewati puncak, perjalanan ke Cibeusi dilanjutkan dengan trek menurun. Seringkali treknya merupakan tanah gembur yang baru digali supaya tak terlalu curam bagi jalur downhill sepeda. Beberapa tempat memang cukup curam bagi sepeda, sehingga ada anjuran untuk dituntun saja.

Warung yang digawangi Abah Entoy ini kini populer dengan nama Saung Lahang. Memang saat sampai disini setelah turun dari gunung Lingkung dalam suasana hujan, lalu meminum lahang panas terasa benar sensasinya.

Menuju desa Cibeusi, perjalanan tak sampai sejam lagi melewati jalanan melipir bukit dengan pemandangan hamparan sawah yang indah. Kampung sudah terlihat dari sini.

Sepanjang Jalan Koral dari Sukawana ke Cikole

Meski tidak seluas di Bandung Selatan, suasana perkebunan teh Sukawana tak kalah indah dibandingkan Pangalengan dan Ciwidey. Bahkan karena letaknya dekat dari kota, Sukawana memiliki point lebih.

Kabut dan gerimis senantiasa datang dan pergi. Tampak gagah gunung Burangrang diseberang lembah dan Gunung Tangkuban Parahu didepan menunggu pinangan. Kopi seduh arabika yang senantiasa tersedia di warung Ma Onah menjadi tandem ideal saat cuaca syahdu.

Jalan koral terhampar jauh dari Sukawana ini menuju Cikole dan Gunung Putri, sekitar tiga jam jalan kaki. Hanya yang cukup aral saja melakoni hiking jalur panjang ini. Nah itulah kami yang kurang kerjaan hehe

Secara tradisional jalan batu rusak ini merupakan jalur off-road, hingga kinipun tetap demikian. Namun kini lebih ke off-road komersial daripada hobby. Konvoy Land Rover bisa menjadi atraksi hiburan saat merayapi trek ini.

Beberapa tempat wisata alam akan dilewati jalur hiking ini yaitu berturut-turut Talaga Warna, Nyawang Bandung, Cikahuripan lalu disekitar pertengahan jarak Sukawana – Cikole kita bisa beristirahat di puncak Jayagiri yang legendaris. Mau sampai sini pun sebenarnya sudah cukup jauh, tapi kalo masih penasaran silahkan lanjut ke Cikole atau Gunung Putri. Kagok edan 😁

Di Jayagiri kita bisa mampir ke lorong lumut yang hits itu. Walau jalur puncak Jayagiri ke lorong lumut terhalang resort Jungle Milk sialan sehingga terpaksa melipir lebih jauh. Bila sudah berjalan sejauh ini memang sayang bila tidak diteruskan sedikit lagi ke lorong lumut, biar tidak penasaran saja toh.

@districtonebdg

Long Trek dari Dago Atas ke Palasari

Lebih dari 30 tahun lalu kami mulai memetakan jalur hiking dari Bandung Utara menuju Bandung Timur dan Sumedang, lalu segera jatuh hati dengan trek panjang ini. Ragam jalur dan variasi vegetasi menambah pesonanya. Dan yang utama trek ini sangat sepi walau hanya “sepelemparan batu” dari Bandung. Jalan rusak tak bisa diakses mobil, tak ada warung dan tanpa penanda, keliatannya hanya yang cukup aral saja yang main-main dijalur ini.

Sebetulnya dari arah Cisalak, Subang pun bisa tembus ke Jatinangor melalui Bukanagara, namun akan terlalu maksakeun. Lagipula hanya didominasi jalan koral kurang asik. Jalur yang lebih pendek bisa dipilih dari Cikole, Cibodas bahkan Dago dan sepanjang Cimenyan.

Suatu hari dibulan Juli 2024 kami kembali kesini kali ini dari arah Dago atas menuju Gunung Palasari. Ini hanya sepotong trek namun tetap saja terasa panjang dan menguras tenaga. Terasa memori yang melelahkan mengenang sahabat yang sudah lagi tak bersama saat dulu pertama menapaki jalur ini.

Sedapat mungkin menghindari jalan mobil, trek bisa dimulai dari jalan buntu tebing Keraton atau Pamuncangan. Ada warung cukup representatif untuk parkir mobil maupun motor. Darisini lanjut merayapi Patahan Lembang yang berujung di gunung Palasari.

Dari Dago hingga puncak patahan Lembang kini cukup ramai grup yang hiking dan tampaknya akan menjadi jalur hiking favorit baru di Bandung. Nah bagi yang suka jalur soliter teruslah melanjutkan perjalanan. Sepi baru menghampiri di trek kebon kopi menuju Palasari, walau suara motor di jalan raya dibawah kadang masih terdengar.

@districtonebdg

Ke Jayagiri Aku kan Kembali

Kawasan hutan Jayagiri, Lembang telah populer sejak dulu. Disinilah masa kecil para penjelajah kawakan dari Bandung memulai perkenalannya dengan alam bebas. Disinilah ketika hutan pegunungan dengan lembut menasehati para petualangan belia itu untuk tak tergesa, belum saatnya menuju petualangan-petualangan besar. “Belajarlah dahulu, nanti saatnya akan tiba” seperti petuah seorang ayah pada anaknya.

Selain tempat kemping, rute di hutan ini merupakan jalur hiking legendaris. Maka pada tahun 1980-an sering diadakan even Kebut Gunung, semacam lomba hiking, dikawasan hutan pinus ini.

Nama Jayagiri semakin legendaris dengan grup Bimbo mempopulerkan lagu “Melati dari Jayagiri” gubahan Iwan Abdurrahman. Lagu tersebut digubah Abah Iwan sekitar tahun 1970 kala kawasan ini sering dijadikan tempat kemping para pencinta alam. Dulu juga pernah populer merk ransel Jayagiri, sebuah brand pelopor ransel outdoor.

Bagi yang belum pernah kesini, kawasan hutan pinus disini bisa sangat membingungkan jalurnya. Banyak yang hanya berputar-putar padahal merasa sudah berjalan jauh.

Namun sebenarnya Jayagiri merupakan hub jalur setapak ke berbagai arah. Kita bisa memulai trek ke Jayagiri dari berbagai tempat seperti Sukawana, Pasir ipis, Gunung Putri, alun-alun Lembang atau Cikole. Kini rute dari Lorong lumut termasuk yang paling ramai karena memang pendek jaraknya.

Para petualang yang dibesarkan oleh trek Jayagiri akan selalu rindu untuk kembali kesini. Trek hutan pinus ini merupakan kepingan sejarah masa lalu yang selalu dirindukan. Lalu setelah mereka melakoni berbagai petualang megah, ke peraduan Jayagiri mereka akan kembali. Dengan segala kerendahan hati untuk berterimakasih atas segala ilmu yang diberikan.

 

Hidden Gem Lain Viral Curug Ini Tetap Sepi (Semoga Tetap Begitu)

Lembang sangat kaya trek hiking, sebagian menuju lokasi yang tersembunyi. Lambat laun lokasi hidden gem itu semakin terekspos hingga tak lagi bisa disebut “hidden”. Bahkan puncak gunung pun kini ramai dan treknya macet oleh pendaki.

Semakin maju teknologi semakin mudah tempat-tempat rahasia itu diakses lalu tinggal waktu saja menjadi wisata publik. Sisi positifnya, masyarakat setempat kecipratan rezeki.

Ditengah gencarnya serbuan viral, beberapa hidden gem tetap terjaga kesuciannya. Tempat seperti inilah penyelamat bagi mereka yang mencari sunyi. Nah salah satunya adalah Curug Luhur di Cibodas, Lembang.

Lokasi curug berada di desa Sunten Jaya, Cibodas tepatnya kampung Gandok. Dari jalan Cibodas maka akan ada dua menara pemancar yang berdekatan, nah twin tower itulah cek poin yang gampang terlihat dari kejauhan.

Bila datang dari arah Maribaya maka setelah melewati tempat wisata The Lodge  akan ada Indomaret dan Alfamart yang berhadapan. Disebelah kiri jalan akan ada jalan masuk, itulah arah menuju curug. Jalannya cukup dilewati mobil namun akan sulit bila ada mobil lain yang datang berlawanan arah.

@districtonebdg

Lewat Tol Cisumdawu Semakin Dekat ke Curug Cirengganis

Beroperasinya jalan tol Cisumdawu menjadikan lebih cepat menuju Tanjungsari. Keluar gate Pamulihan yang tarifnya 20ribu dari Buahbatu maka sudah sampai di Tanjungsari.

Berbeda dengan dulu saat awal explore daerah sini, ruwetnya lalulintas menjadikan malas untuk kesini. Padahal trek Curug Cirengganis cukup menyenangkan. Relatif datar, teduh dan segar.

Keluar gate toll Pamulihan, jangan terlalu percaya pada gmap karena jalur tercepat bukan berarti terbaik. Ambil jalan Parakan Muncang lalu nanti belok kiri di Cilembu. Nah tinggal ikuti jalan hingga mentok di persemaian Cicalung.

Tak jauh dari Curug Cirengganis sebetulnya ada danau atau cekdam. Kalau dikelola dengan serius sebetulnya bisa cukup menjanjikan, namun saat terakhir disurvey tampaknya belum bisa direkomendasikan.

Lupakan Tahura, Ini Tempat Hiking Terbaik dekat Bandung

Bagi yang suka hiking, Tahura di kawasan Dago adalah jawaban untuk kesumpekan rutinitas kota. Hiking, running atau sekedar healing disinilah tempatnya. Tapi, sebentar… ada yang lebih recommended loh.

Mereka yang lebih menyukai trek alami dengan segera akan jatuh cinta pada Patahan Lembang. Lokasinya yang tak terlalu jauh dari Tahura, masih kawasan Dago Pakar, menjadi tempat ini sangat terjangkau dari kota. Jadi kenapa tidak coba kesini?

Menuju Patahan Lembang, dari Tahura tinggal meneruskan arah ke Tebing Keraton. Parkir di area Tebing Keraton, nah tinggal dimulai hikingnya. Jangan masuk ke Tebing Keraton ya, melainkan mengikuti jalan setapak kearah hutan.

Kami membagi area hiking Patahan Lembang ini menjadi dua yaitu upper track dan lower track. Kali ini yang dimaksud adalah patahan Lembang upper track. Sementara untuk lower track biasanya dimulai dari Cibodas jalur nya disekitar tepian sungai Cikapundung.

Patahan Lembang upper track ini belum banyak yang tahu sehingga jalurnya relatif sepi. Sepanjang trek kita akan melewati kebun kopi dan hutan pinus. Berjalan di punggungan bukit membuat kita memiliki view yang luas kearah Lembang.

Mendaki Gunung Patuha via Cipanganten

Perjalanan dimulai sekitar jam 10 pagi saat cuaca cerah matahari berseri-seri. Namun semua maphum bahwa cuaca gunung Patuha bisa berubah cepat. Walau jalan ke Geothermal kini sudah hotmix, kami berjalan kaki saja dari jalan raya. Dari Geothermal, kampung Cipanganten hanya sepelemparan batu. Alhasil sesudah satu jam berjalan dari dari jalan raya sampailah di Cipanganten. Tenaga dari bubur ayam tadi pagi di pasar Sederhana sudah tercecer dijalan aspal perkebunan teh.

Sejenak dadasar  di warung lalu mulai melahap tanjakan batu sepanjang dua kilometer. Tenaga dari indomie warung pun memudar di ujung tanjakan yang berupa hamparan kebun teh. Darisini cuaca asli gunung Patuha mulai menyambangi, hujan tipis dan kabut tebal menyelimuti kaki gunung.

Setengah jam kemudian tiba di view deck Sunan Ibu, namun kabut tebal menghalangi pemandangan ke arah Kawah Putih.  Sebagian orang mungkin menyesali kabut yang menutupi gunung ini namun kami seperti dipertemukan teman lama. Memeluk hangat dalam dingin.

Perjalanan dilanjukan ke puncak ditengah serinai gerimis yang makin membulir tetesannya.  Menjelang puncak flysheet dibuka lalu sejenak masak sambil bernostalgia.  Hujan,  kabut, letih dan lapar..  satu persatu elemen dari masa lalu merasuk membangkitkan memori yang megah.

Mendaki gunung Patuha via Cipanganten bagai sebuah penebusan terhadap komersialisasi alam. Rute yang bersahaja dan sunyi ini merupakan sebuah jalur yang layak diperjuangkan bagi mereka yang jatuh cinta pada Kawah Putih namun tak ingin terlalu dekat untuk mengotorinya

Puncak Patuha hanya sepelemparan batu dari tempat bivak,  tak berapa lamapun kami sampai disini.  Lalu lanjut ke Sunan Rama, dan turun via jalur yang berbeda ke arah Kawah Putih. Jalur turun ini terletak tak jauh dari petilasan. Sekitar jam lima sore sudah tiba di kawasan wisata Kawah Putih,  tinggal menunggu angkot untuk turun ke parkiran bawah.

@districtonebdg

Maju Kena Mundur Kena di Jalur Ngarit : Tahura ke Tebing Keraton

Tidak ada setapak ataupun penanda. Kami semua menerobos tanaman perdu, termasuk tanaman pulus yang seakan-akan mematai-matai kami, mengintai sepanjang perjalanan. Bahkan batang-batang pohon seperti memberikan PHP alias harapan palsu, terlihat kuat untuk dipegang dan mudah diraih, tetapi kenyataannya ketika dipegang, tanah begitu rapuh, sehingga seringkali kami ikut tergelincir ataupun jatuh bersama pohon yang kami jadikan pegangan.

Sebenarnya saya sudah ingin melupakan rute hiking menuju Tebing Keraton dari arah Tahura, malah sudah mendeklarasikan diri tidak ingin lagi mengalami hiking dengan rute trek seperti itu lagi (lihat cerita hell pass).
Tetapi takdir mempertemukan kami dengan salah satu guide lokal (?) di Tahura, kala itu kami ingin sedikit demi sedikit menuntaskan Ekspedisi Cikapundung 2022 yang diinisiasi oleh komunitas perempuan D1VA.

Perkenalan terjadi saat kami mengunjungi Curug Omas dan Curug Cikapundung yang menjadi bagian jalur ekpedisi Cikapundung. Saat itu beliau mengatakan bahwa ada trek hiking dari Maribaya menuju Tebing Keraton. Krrrk…krrrk…mata saya langsung membelalak…ingat beberapa tahun ke belakang. “Wait pak…jadi gimana treknya” saya mencoba membuka pertanyaan. “Ya agak nanjak terus, masuk hutan”. “Bapa yakin hafal rutenya?” “Hafal neng, kan bapa yang buka jalurnya juga” beliau meyakinkan.

Saya pun berdiskusi dengan Melly, Jule, dan teman-teman lain. Mereka sepakat untuk menjajal trek made in si bapa ini lalu mulai mengagendakan jadwal hiking pada hari Minggu, 18 Desember 2022. Beberapa teman batal ikut karena ada keperluan lain. Jadilah kami be-3. Saya, Melly, dan Jule.

Dengan mantap, pagi-pagi jam 8 kami berkumpul di Sekejolang untuk bertemu dengan guide di Warung bu Aah. Kami pun berjalan menuju Curug Cikapundung, dan beliau menunjukkan arah ke sebelah kiri menuju ke arah lereng Tebing Keraton.

Pada saat masuk jalur hutan tersebut, perasaan saya sudah kacau, dimulai dengan mendengar keterangan yang berbelit-belit mengenai trek dari guide, lalu terkesan menakuti-nakuti bahwa di sini ada ular piton dan banyak lebah bersarang. Mengenai binatang-binatang liar ini sih saya percaya, karena hutannya terlihat memang jarang terjamah manusia. Dan waktu terakhir jajal jalur hellpass di 2016 memang saya melihat sarang lebah yang luar biasa besar tepat di bawah tebing keraton.

Setelah hiking kurang lebih 30 menit, lebih tepatnya climbing sih ini, pemandangan tampak berbeda. Batu-batu besar berlumut mendominasi trek saat itu. Trek bikin jengkel mulai menghantui ketika jalan yang kita lalui sepertinya bukan merupakan jalur. Tidak ada setapak ataupun penanda. Kami semua menerobos tanaman perdu, termasuk tanaman pulus yang seakan-akan mematai-matai kami, mengintai sepanjang perjalanan. Bahkan batang-batang pohon seperti memberikan PHP alias harapan palsu, terlihat kuat untuk dipegang dan mudah diraih, tetapi kenyataannya ketika dipegang, tanah begitu rapuh, sehingga seringkali kami ikut tergelincir ataupun jatuh bersama pohon yang kami jadikan pegangan.

 

Suasana pun tambah tegang hati bimbang ketika si bapak tidak memberikan jawaban pasti ke arah mana kita harus melangkah. “Ke kiri atau ke kanan ya neng?” beliau malh balik bertanya. Jule yang sepanjang perjalanan terus mengomel akhirnya tidak tahan untuk tidak berkomentar “Lha, kan bapa guide nya, kenapa nanya ke saya?”
Lalu dia menerangkan bahwa jalurnya tertutup pohon-pohon tumbang, sehingga ia harus meraba-raba kembali jalannya.

Drama terpeleset, kaki tertahan di kemiringan, jadi santapan selama satu jam perjalanan. Ah melelahkan sekali. Lereng semakin miring dan tanah semakin rapuh, kami menghela nafas sejenak. “Cape kesel, sumpah!” Jule mulai ngacapruk lagi.
“Pa naha ieu mah jalurna sieun kieu” Melly mulai ragu karena tertahan di kemiringan tidak bisa naik lagi. “Gak ada pijakan, mau naik kemana, tidak ada pegangan juga.” Melly dalam posisi telungkup kesulitan bergerak memang sementara saya dan Jule pun hampir jumpalitan di lokasi tempat saya tertahan.

Saya berbisik ke Jule yang juga sedang berusaha untuk mencari pijakan yang lebih kuat. “Jul, ini mah kita harus mengandalkan diri sendiri, ini kita gak bisa bergantung sama dia, liat deh bapaknya juga kepayahan”
“Eh Jul tarik aku uy mau tergilincir ke lereng” saya minta tolong Jule yang sudah sampai duluan ke area dekat pohon yang kuat.

 

Saya pun menelepon Pa Bayu yang survey tahun 2016 itu untuk meminta saran, duh untung ada sinyal setrongg….”Ini sih hiking edan lagi’ saya bilang. “Sudah balik kanan aja, masih jauh itu”, ia menyarankan.
Guide sepertinya enggan untuk turun, seperti halnya saya dan Jule yang sudah di atas. Tapi Melly yang posisi di bawah gimana? Dia tertahan di posisinya kesulitan naik, mencari pegangan pun susah.

Saya ngobrol lagi sama guide nya, “Pak kemungkinan berapa menit lagi ini sampe?” beliau dengan wajah ragu hanya menjawab “sedikit lagi”’….saya bisa membaca kecemasan di wajahnya… mulai ngomong ngalor ngidul….tidak meyakinkan….. ah sudah…..skip…skip…
Saya berusaha tenang ”Pa istirahat dulu lah, makan permen dulu, ngerokok dulu lah pak”
Kalo saja bapanya bisa meyakinkan kami bahwa treknya sudah dekat dan aman, mungkin kami bisa sedikit push Melly bantu naik. Tapi …krkkk..krkk..krrk…tiba-tiba bapak guide nya nanya ke saya…”Neng cobi eta ka rerencangan eneng eta nu nelp taroskeun kira-kira udah berapa perjalann lagi?” harrrrrr…ari bapak….mulai tambah capek karena gagal paham.

Akhirnya saya suruh beliau ngomong aja ke pa Bayu …”Pak, jadi gini aja, kalo jalurnya udah bagus, udah bapa tata lagi, dibebereslah, nanti bisa dicoba lagi, sekarang udah jam 12 siang lebih mending balik lagi aja, khawatir keburu hujan tambah beresiko” saran pa Bayu.

 

Setelah melakukan telp. Saya dan Jule termenung, gimana kita baliknya? Wkwkkwkw…susah banget mau turun. Tapi harus kita lalui juga ini. Haduh serba salah. Kayak film Warkop aja ‘Maju Kena Mundur Kena’
Bapak guide (abal-abal) sepertinya enggan turun juga. Lanjut naik aja neng, udah dikit lagi kok.
Lanjut ke mana pak, Jule yang mulai hilang kesabaran “Udahlah bapak jangan banyak wacana….” Ya ampuuun…jadi kumaha ini teh atuuuuh….
Okay udah kita balik aja, saya pun akhirnya tegas memutuskan. Jalur ini bahaya…not recommended.

“Pa lain kali jangan nawarin trek ini ke tamu, ini menurut saya not recommended” nasihat kami.

Sedikit demi sedikit dengan kesabaran bercampur kecemasan akhirnya bisa turun ke pijakan yang tidak terlalu miring.
Ketika batu-batu besar dan jalur air telah dilewati, jalanan mulai agak bersahabat wajah si bapa mulai berbinar kembali lalu bercerita kalo trek ini sering dipake trail running Tahura, “Bapa sering bawa tamu asing ke sini, ada yang bikin video, kalo jatuh teh pada ketawa-ketawa….pada nyampe ke atas tamu-tamu bapa…bla…bla…bla…”

Krkrkk….krrkkk…. Jule yang dengernya malah bernyanyi ‘’’Segala yg kau ucap bohong, semuanya omong kosong, tak perlu lagi percaya, kau hanya pura-puraaaa”
Lalu mang guide bertanya ke Melly, “ini tadi kita lewat jalan sini kan ya”….harrrrr yang kesekian kali …

What an experience. Setelah turun ke curug Omas kami pun bersih-bersih. Lalu ada seorang bapa yang sedang duduk di warung berkomentar.

“Neng, ngapain ke sana, itu mah jalur ngarit bapa”

Hatchiiii….langsung bersin …
Yasudah!

 

Penulis : Tanti Brahmawati

 

Benteng Gunung Puteri Lembang Tempat Eksekusi Tentara KNIL

Saat Jepang melancarkan invasi ke Jawa Barat pada Perang Dunia II , target utamanya adalah terlebih dahulu menguasai pangkalan udara Kalijati, Subang yang saat itu difungsikan sebagai basis angkatan udara terbesar Belanda. Setelah Kalijati dikuasai baru mereka merangsek kearah kota Bandung.

Sebetulnya Belanda pun sudah mengantisipasi ancaman dari arah Utara ini dari jauh-jauh hari dengan membangun benteng-benteng pertahanan melindungi Bandung antara lain di Pasir Ipis dan Gunung Puteri, Lembang. Saat serbuan menuju Bandung datang bulan Maret 1942, pertahanan Belanda di Ciater yang dilengkapi meriam dan satu brigade pasukan KNIL coba menghadang gerak maju pasukan Jepang pimpinan Kolonel Shoji ini.

Namun Jepang yang didukung pesawat-pesawat tempur yang sudah berpangkal di Kalijati tentu diatas angin. Walau laga ini berat sebelah pertempuran hidup mati di Ciater itu berlangsung sengit selama tiga hari yang berakhir setelah Belanda mundur karena kehabisan amunisi.

Pasukan KNIL yang tersisa mengevakuasi diri ke arah Cimahi melewati rute Benteng Gunung Putri yang kemudian dilanjutkan ke Benteng Pasir Ipis, perkebunan teh Sukawana, Parongpong lalu Cisarua. Sementara itu sebagian tentara KNIL yang tertangkap digiring ke sebuah puncak bukit disekitar benteng Gunung Putri untuk dieksekusi.

Saat kembali mengunjunginya bulan November 2022, suasana benteng hampir tak berubah dari belasan tahun lalu saat pertama kesini. Demikian pula dengan auranya, ditemani kabut yang datang dan pergi kita dapat membayangkan kengerian dibulan Maret 1942 ketika sisa-sisa tentara KNIL dibantai oleh pasukan Jepang disini. Tak ada salahnya mendoakan ketenangan bagi mereka. @districtonebdg