Setelah sekian lama bermain di seputaran Dago Pakar, akhirnya terbersit juga untuk mengetahui jalan tembus dari Warung Bandrek (Warban) ke Caringin Tilu. Menurut info dari teman-teman goweser, memang ada jalan tembus kesana untuk kemudian turun di Padasuka tempat Saung Angklung Udjo. Info itu sudah kami dengar sejak lama namun karena bukan goweser jadinya hare-hare saja menanggapinya.
Kini berhubung kerap lari di daerah Dago Pakar, keingintahuan akan jalur itu ditebus dengan survey santai memakai motor di Sabtu pagi. Beriringan memakai motor matic dan bebek, kami menyusuri jalan kecil yang sebagian tampaknya baru diaspal minggu kemarin. Pemandangan sepanjang jalan ini ternyata sangat indah, menjadi pertanyaan kenapa jalur ini belum populer sebagai jalur wisata. Rata-rata dari Warban orang tak berpikir untuk menuju kesini, melainkan ke Tebing Keraton saja. Hemm, kapan-kapan lari kesini dari Dago Pakar boleh juga, pikir saya.
Kondisi jalan memang tak terlalu mulus, sebagian terpapar tanah merah entah dari longsoran atau hanyut oleh hujan. Motor harus ekstra hati-hati bila kondisi licin begini, untunglah skill mengemudi kami diatas rata-rata ( haha..capruk).
Setelah melewati jalan kecil yang meliuk-liuk dengan pemandangan lembah yang indah, sampailah di jalan utama yang menuju Bukit Moko dan Puncak Bintang. Kedua tempat itu memang berdekatan, dari kejauhan sudah terlihat monumen bintang raksasa di puncak bukit yang menandakan Puncak Bintang. Lokasinya sendiri secara administratif tepatnya adalah RW 14 Kampung Buntis, Desa Cimenyan.
Saat memasuki jalan yang dibeton kami segera dicegat retsibusi parkir sebesar 5.000 rupiah per motor. Darisini kendaraan masih bisa masuk terus melewati jalan menanjak sekitar 100 meter, lumayan untuk menghemat tenaga.
Kami lihat pemandangan yang terbentang tak jauh berbeda dengan sepanjang jalan yang dilalui dari Dago Pakar. Agak masygul juga, atraksi apa yang ditawarkan di lokasi yang disanjung-sanjung di medsos ini. Apa cuma patung bintang raksasa tadi yang terlihat dari jauh.
“Hayu asup, motret Puncak Bintang,” ajak Bais merogoh kocek 10ribu untuk tiket. Saya melengos malas, paling juga begitu-begitu saja.
Memahami sikap hare-hare ini, sebaiknya pembaca menyikapi dengan bijak. Bukan berarti lokasi wisata ini tidak bagus, melainkan memang indah. Namun view seperti ini sudah terlalu biasa bagi kami, lagipula sepanjang jalan dari Dago Pakar yang dilalui tadi pemandangannya memang seperti ini, indah. Kalau hanya ingin selfie di hutan pinus, lah sedari tadi di Dago Pakar itu hutannya lebih lebat coy.
Apalagi kala mau masuk ke warung yang disebut Warung Daweung -tempat ini juga cukup disanjung di medsos- diwajibkan membayar 25ribu. Aturan ini katanya berlaku sejak bulan Maret 2015. Wah, kalau minta bayaran segitu ente kepedean, pikir saya. Di warung bawah juga minum kopi paling goceng. Jadi terlintas bisikan seorang teman goweser yang sejak 90-an bermain disini. ” Didinya mah barudak gowes ge kalabur,” bisiknya. Olala pantes saja..
Nah, supaya tak terlalu “sia-sia” berkunjung kesini, sebaiknya anda melanjutkan hiking ke arah Batu Lonceng. Berjalan santai setengah jam darisini akan bisa menikmati view Patahan Lembang yang legendaris itu. (Lihat Menonton Gunung Menangkap Awan di Patahan Lembang ). Setelah merasa puas beberapa menit melihat-liat lokasi, kami balik kanan bersiap melanjutkan perjalanan dengan jalur berbeda.
Saat akan melanjutkan perjalanan menuju ke Padasuka, saya tergelitik dengan arah yang berlawanan. Tak ada salahnya bertanya ke ibu penjaga warung kemana arah jalan itu menuju.
“Pami eta mah terasna tiasa ka Cicaheum,” jawabnya.
“Ooh..ka Jatihandap?”
“Muhun.”
Mumpung lagi disini tak ada salahnya juga dicoba, kamipun mengarahkan motor menuju arah berlawanan. Sejak awal kondisi jalan tampak kurang menjanjikan, namun keingintahuan selalu manjadi panglima dalam survey. Lewat satu kilometer jalan mulai rusak, aspalnya terkelupas dan tanah merah menutupi. Motor didepan tampak sempoyongan menembus tanah merah, akhirnya terhenti.
“Moal bisa terus jigana motor urang..!” teriak Bais, motornya sudah stuck didalam lumpur tanah merah. Saya pun ikut balik kanan, ogah ikut berkubang di tanah merah. Kami meneruskan pulang menuju Padasuka.
Sekitar dua kilometer dari Bukit Moko, adalah tempat yang dinamakan Caringin Tilu. Kami mampir sejenak mengisi perut dengan indomie telor dan kopi, sebelum pulang dengan jalanan yang terus menurun hingga Padasuka. View jalan pulang ke arah Padasuka memang tak seindah ketika datang dari Dago Pakar, hingga kami simpulkan kalau orang datang dari arah Padasuka mungkin akan berkata “Wow!” kala sampai di Moko, tetapi yang datang dari Dago Pakar hanya akan berkata”ooh..”. Namun bagi anda yang belum pernah kesini, tak ada salahnya mampir ke lokasi wisata yang termasuk kekinian ini di Bandung