Categories : Backpacker

 

Rencana flashpacking ke Bromo ini bisa dibilang mendadak  yang kemudian  disertai dengan tak henti-hentinya  kami  harus menjawab beragam pertanyaan keheranan dari teman teman terdekat. “Oh kalian teh belum pernah ke Bromo? Kemana aja selama ini?” Salah seorang teman berseloroh yang  dijawab, “Iya kan  mumpung ada kesempatan nih. Anak-anak kan udah gede, udah bisa ditinggalin”.

Lalu pertanyaan lain, “Kalian dulunya gak pernah main ya, sekarang baru mulai addicted?” Jawaban bersahaja pun keluar dari mulut saya,  “Iya kan dulu rajin kuliah, sampai lupa main”.

Ada juga pertanyaan “Orang lain mah udah dari kapan backpackingan, ini klean baru sekarang.“ “Oh iya, kan dulu kita memang berdompet tipis, apalagi jaman kuliah, boro-boro buat backpakingan, buat hidup di kostan juga pas-pasan.  Kan sekarang udah dapet uang sendiri jadi bisa bebas mau pergi kemana juga.” Jawaban yang sebenernya bertolak belakang dengan pemesanan tiket KA kelas  ekonomi 😀

Jadi  sebenarnya  kami ini emak-emak yang ingin main agak jauh tanpa mengambil cuti kerja terlalu lama, sekalian merayakan ultah Saya dan Novi yang kebetulan bertepatan di akhir Januari lalu.

Dengan anggaran ala emak-emak yang harus mepet-mepetin isi dompet,  akhirnya kami memulai perjalanan dari KA Bandung dengan menggunakan KA malam  Malabar kelas Ekonomi.  Ya sudah, jadinya kita namai  perjalanan ini flashpacking to Bromo, karena memang perjalanan dipersingkat dan terjadwal, beda dengan backpackingan sejati yang banyak jeda hari untuk lebih explore mencari pengalaman  perjalanan .

Setelah diburu waktu dan rasa deg-degan karena gojek yang ditumpangi  Nunung  tiba di stasiun Bandung pada  injury time (sampai petugas pun tidak sempat  mengecek kartu identitas),  akhirnya kami  masuk gerbong  beberapa detik sebelum KA melaju. Tentunya dengan wajah pucat pasi dan HP yang habis batere di tangan, belum lagi mendengar teriakan saya untuk berlari  kencang, Nunung hampir seperti Keanu Reeves  dalam adegan  film Speed, yang berlari kencang bak angin.

Kereta melaju, dan kami  masih mencari kursi, sambil mengusap dada tertawa terbahak Nunung  melontarkan joke,  “ Mun urang katinggaleun , didinya arek angger indit?” What a drama….

Esok paginya kami sampai di Stasiun Kota Lama Malang. Perjalanan 18 jam membuat pantat merasa teriris, dan jalan-jalan pagi sepertinya obat yang mujarab.  Sesuai itinerary,  singgah sebentar  ke Kampung Pelangi (Tridi) yang letaknya tidak jauh dari stasiun. Di seberangnya  ada perkampungan dengan bagunan  bangunannya didominasi  cat berwarna biru, ternyata itu Kampung Arema . Udara kota Malang yang tidak jauh beda  dengan Bandung tampak agak terik di pagi  itu. Keistimewaan kampung  Tridi ini sebenarnya terletak di cat rumah yang  berwarna warni bak warna pelangi dan lebih tertata,  kalau di Bandung  selintas suasananya  seperti  kampung di daerah  Tamansari-Cihampelas.

Jam 10 pagi kami sarapan pagi di Toko Oen yang terkenal itu, walau mendapati waitress dan cashier yang rada-rada jutex, kami memilih pura pura  gak bête asal kami bisa istirahat lebih lama di sini.  Rencana makan pagi di Toko Oen ini agak melipir dari rencana semula karena tadinya kami akan sarapan di terminal bus Arjosari  untuk  kemudian menaiki  angkutan umum  menuju  Tumpang. Karena ada yang bilang  entah siapa…  belum  ke Malang kalo gak mampir ke Toko Oen ini (padahal gak apa-apa gak mampir juga kayanya).  Dari sini kita  yang awalnya mau naik angkot ke terminal Arjosari berganti rencana menjadi naik Grab Car. Drivernya masih muda, bersih,  dan baik hati melayani ibu-ibu backpacker.

”Backpakingan nih Mba?” si mamang driver mencoba ramah sambil melirik ke backpack kami  “Liat di aplikasi tujuan Mba mau ke Arjosari , trus kemana Mbak ?” Saya yang duduk di depan menjawab mewakili teman-teman “ Mau ke Bromo, tapi via Tumpang .“ “Udah dapet travel agent buat Jeep- nya, Mba?” “ Gak pake travel agent sih Mas, tapi ada kenalan baik kakak saya yang nanti akan mengantar  kami ke Bromo, dia tinggalnya di Desa Jeru Tumpang.”  “Oh kalau gitu udah aja saya antar langsung ke sana, kayaknya sekitar 40 menitan dari sini,” ia menawarkan.

Hmmm..setelah  terkantuk kantuk  karena kesulitan tidur didalam kereta, rasanya kurang elok juga  kalau memaksakan ke terminal lalu mencari angkutan umum ke Tumpang. “Ok lah  Mas kalau gitu, nanti kita tambah aja ya biayanya. “ “Boleh mba,  bisa mba liat aja ya di aplikasi, berapa rupiahnya.” Siiip, saya pun lega karena bisa istirahat juga.

“Eh tapi backpackingannya jadi gak sempurna dong?”” Wait..maksudnya?..“Iya kan jadinya pake grab gak from terminal to terminal,”  Ya ampuuun… gara gara komen terakhir itu membuat  saya akhirnya masih juga dibingungkan oleh istilah backpacking dan flashpacking. Ah yang penting sampai ke tujuan dengan selamat.

Sampai di  Desa Jeru ia masih bertanya pada saya apakah betul  itu desa yang dituju. Tapi kemudian setelah melihat ada  Jeep berjejer di depan alamat tersebut, tampaknya kekhawatiran dia pun hilang.

Sebetulnya Desa Jeru ini posisinya sudah melewati Kota Tumpang, sangat strategis  untuk transit  meneruskan  perjalanan ke Semeru maupun Bromo. Di rumah Pa Arif  kami beristirahat. “Pa Arif nya lagi ngantar tamu ke Bromo, Mba Tanti, nanti jam 2 an balik.” Pa Arif adalah owner beberapa jeep yang disewakan pada para turis. Istrinya yang dari sejak kami masih  di perjalanan menelepon saya, menyambut kami dengan ramah, ternyata dia adalah pengelola travel juga.

“Trus kita ngapain di sini, kan ke Bromo nya nanti malam?” Novi bertanya. “Istirahat aja dulu gogoleran sambil ngecharge HP, mandi we.” Nunung mengusulkan

Bu Arif mengajak saya berkeliling memperlihatkan guest house yang sedang ia bangun, “Sayang ya Mba mau ke Ranukumbolo tapi wilayahnya sedang ditutup, rehabilitasi, lumayan lama. Tahun depan ke sini aja lagi, sekalian coba nginap di guest house baru, Insha Allah cepat beres ini.”

Tak lama Pa Arif datang lalu sesuai arahan beliau sebaiknya kami jalan siang-sore ke Bromo via Tumpang, karena akan lebih indah view nya di sore hari.

“Mba mba akan kenyang nikmatin suasana, gak terlalu panas juga.  Sekarang musim hujan, udah berminggu-minggu kami tidak melihat sunrise,  percuma kalo malam ke sana, hujan iya, gelap gak keliatan apa-apa, kalo sore enaknya  sepi tidak penuh oleh pengunjung. Tapi kalo mba penasaran mau malam berangkat ya siap-siap bangun aja jam 1 nanti”.

Bromo, here we come.

 

Penulis : Tanti Brahmawati

 Posted on : August 22, 2018
Tags :