Ada yang berbeda ketika kami dari d1va tour mengantar peserta Railway Adventure ke daerah Nagreg pada tanggal 6 Januari 2021 lalu. Niat kami memang menuju Bukit Kendan untuk hiking ringan dan mencari spot menarik dengan perjalanan kereta api lokal. Tapi tulisan ini bukan ingin membahas petualangan hiking kami di Bukit Kendan yang memiliki potensi untuk menjadi kawasan wisata itu, tapi lebih pada memberikan opini tentang pembelian tiket online di stasiun Nagreg berdasarkan pengalaman yang kami lihat.
Pagi hari kami sudah berkumpul di Stasiun Kiaracondong. Setelah membeli tiket Go Show jurusan Kiaracondong – Cibatu seharga Rp.7000,- per org, kami pun boarding memasuki gerbong. Sejam kemudian kami tiba di stasiun kecil Nagreg yang terletak di paling ujung Timur kabupaten Bandung. Ketika keluar dari stasiun, di pintu masuk stasiun terpampang pengumuman bahwa terhitung tanggal 1 Januari 2021, stasiun Nagreg tidak menjual tiket Go Show melainkan harus membeli online. Keadaan ini mengakibatkan kami berhenti sejenak untuk mengurus pembelian tiket pulang secara online. Bersyukur beberapa dari kami memiliki aplikasi KAI Access walau harus mengisi dompet ‘Link Aja’ untuk pembayarannya, yang tentu saja menciptakan keribetan tersendiri, tapi kami berusaha mengikuti prosedur untuk melalui semuanya.
Setelah beberapa jam ‘kenyang’ bermain di Bukit kendan, kami pun kembali ke stasiun Nagreg untuk pulang ke Bandung kembali. Kami menunggu beberapa menit di ruang tunggu stasiun, menghabiskan waktu mengamati keadaan sekitar. Ada beberapa generasi milenial lengkap dengan gadget di tangan datang, siap men-scan barcode ke mesin yang tersedia tanpa petugas tersebut. Kemudian ada satpam yang sepertinya tugasnya multifungsi, selain menjaga stasiun, juga mengingatkan penumpang untuk men-scan barcode yang tertera di tiket online ke mesin yang disediakan.
Kemudian datang seorang ibu bersama beberapa warga lokal lainnya hendak membeli tiket menuju Rancaekek. Beliau hanya bisa mengelus dada ketika tahu bahwa pos tiket tutup dan baru tahu bahwa pembelian tiket hanya bisa dilayani secara online. Setelah itu beberapa warga lokal lain memasuki tempat tunggu dan hanya bisa menatap pos tiket yang tutup sambil bertanya.
“Tiketna tos seep atanapi petugasna teu aya, atanapi teu acan muka?” ( “tiketnya sudah habis atau petugasnya yang gak ada atau pos tiketnya yang belum buka?”)
Dijawab security ”Kedah meser online ” (“harus beli online”).
Kemudian ia hanya tertegun. Saya tidak tahu apa yang ada di benaknya. Terus terang, melihat hal ini hati saya terusik. Di stasiun besar Kiaracondong bisa, mengapa di stasiun kecil Nagreg tidak bisa?
Bayangkan, kami di sini yang memakai gadget android saja tak semuanya memiliki aplikasi KAI Access, apalagi warga desa yang mungkin entah memiliki gadget atau tidak. Kalaupun iya memiliki gadget, mereka dipaksa mengerti bahwa pembelian tiket online melalui KAI Acces hanya bisa dibayar dengan dompet virtual sekelas LINK AJA. Lalu mereka dipaksa paham bahwa untuk mengisi dompet LINK AJA secara cepat mereka tentunya harus memilki aplikasi Mobil Banking terlebih dahulu. Lalu mereka harus paham bahwa untuk menggunakan mobile banking mereka harus mengisi dulu saldo rekening bank mereka. Pernahkah terbersit pertanyaan, berapa uang yang ada di dompet warga desa yang bersahaja untuk kebutuhan sehari-hari apalagi harus mengisikan uang ke rekening di bank.
Saya merenung, untuk pembelian tiket seharga 8000 perak ini, warga setidaknya harus mendownload tiga aplikasi sekaligus yaitu KAI Access, LINK AJA, dan Mobile Banking setelah sebelumnya buka rekening bank BUMN. Melek teknologi boleh, tapi apakah bijak diaplikasikan di sini? Disinilah pentingnya menjalankan kebijakan teknologi untuk masyarakat luas tetapi hati nurani tetap harus dikedepankan. Ya, teknologi yang memiliki hati nurani.
Saya tidak mengerti apa yang menjadi dasar kebijakan ini diambil. Investasi? Monopoli? Semoga apa yang ada di pikiran saya tidak benar. Lebih baik PT KAI mempertanyakan kembali fungsi dan peran angkutan transportasi KA untuk masyarakat. Bukankan ingin memasyarakatkan angkutan umum kereta api dan kemudian masyarakat merasakan manfaat fasilitas yang disediakan, bukan justru menjadi rumit dengan prosedur berbelit yang kurang bijak.
Saya menjadi teringat ketika mengunjungi Thailand 2 tahun lalu. Saya melihat masyarakat di sana masih bisa menggunakan telepon koin yang tersebar di stasiun KA besar sekelas Hua Lamphong Bangkok, dimana teknologi lama masih berfungsi dengan baik.
Lalu kenapa pemerintah seperti ingin cepat-cepat melompat terlalu jauh sementara disisi lain masyarakat kecil malah merasa ditinggalkan?
Bandung, 9 Januari 2021
Tanti Brahmawati
(d1va tour, adventure for woman)