Categories : ASEAN Countries Backpacker

 

Awalnya hanya obrolan biasa ibu-ibu saat berkumpul. Ingin berlibur tapi dengan suasana seperti hiking rutin kami. Muncullah ide untuk mencoba backpacking tiga negara. Sangat berbeda situasinya jika ibu-ibu bersiap backpacking, dibanding dengan teman-teman petualang lain, apalagi petualang berstatus masih pelajar. Bagi kami semua harus disiapkan lebih jauh hari: cuti bagi yang bekerja, jadwal sekolah dan kegiatan anak waktu ditinggal harus saat longgar, penyesuaian dengan jadwal suami, dll.

Maka ketika akhirnya tiba waktunya kami pergi ditanggal 1 November 2018, diawali dengan perjalanan kereta api dari Bandung ke Gambir, jadilah kami rombongan ibu-ibu senang (maksudnya senang hatinya). Rasanya semua sudah diantisipasi, walau dengan arahan Kang Bayu Bhar kami bersiap juga untuk segala dinamika selama perjalanan.

Tiba jam lima sore di Don Mueang Airport, kami langsung menuju ke stasiun kereta Don Muang, tepat di seberang bandara. Sambil menunggu kereta ke Hua Lamphong tiba, kami makan di street vendors di sekitar stasiun. Kalau di Bandung setara nyemil ayam D’Chicks dan rujak potong. Kereta tiba, langsung menuju ke tempat hostel kami berada, di sisi lain Bangkok, di Hua Lamphong.

Sekitar 40 menit perjalanan, tibalah di stasiun kereta api besar Bangkok. Surprise dan terkesan melihat stasiun ini, besar sekali dan gedungnya sangat antik, gedung tua bergaya Italian Neo-Renaissance (menurut mbah Wiki). Bagus sebagai trademark kota, bagus untuk obyek foto. Jalan sedikit dari stasiun ini, tibalah kami di hostel, benar-benar hostel gaya backpack. Satu kamar tipe dorm untuk sepuluh orang itu kami sewa untuk kami perempuan bertujuh. Menginap di area Hua Lamphong dipilih untuk efisiensi, karena setelah satu hari keliling seputar Bangkok, hari berikutnya kami akan harus kembali lagi ke stasiun ini untuk menyeberang ke Kamboja dengan kereta.

Sebagai turis, tidak banyak yang berkesan khusus di Bangkok. Thailand sejak lama sudah cukup familiar bagi turis-turis Indonesia. Jadi begitu tiba waktu kami bergerak ke Kamboja lewat Aranyaprathet dan lalu menyeberang ke Poipet, semua bersemangat, terbayang Angkor Wat yang fenomenal. Pengalaman berkesan justru banyak kami alami di Kamboja ini. Sebelum pergi, kami memang paling banyak di-brief soal Kamboja. Tentang banyaknya scam di sana, sampai karakter khas para pedagang atau orang-orang yang berhubungan langsung dengan turis. Dan sejak datang hingga kami meninggalkan Kamboja, semua peringatan itu terbukti.

Diawali dengan pungutan “sukarela” di imigrasi Poipet, keramahan extra manis semanis madu berujung penipuan oleh penjual kartu internet nan cantik jelita yang kami juluki Miss Border, bule pemilik hotel yang seenaknya melempar penginapan ke lain tempat, perjalanan tengah malam 6.5 jam dari Siem Reap ke Phnom Penh tanpa AC dibumbui pengalaman pipis dalam gelap di semak-semak (buat ibu-ibu berhijab, ini masalah pelik), hingga keributan di sleeper bus di Phom Penh gara2 tiket yang entah hilang atau dihilangkan. Dibanding dua negara lain yg dikunjungi, Kamboja memang nampak sekali masih developing, dari segi kehidupan sosial warganya hingga penegakan hukumnya. Tapi positifnya tetap banyak. Makanan Khmer luar biasa enak, saya dan teman-teman sepakat ini lebih enak daripada Thai food. Driver-driver tuktuk yang kami sewa di Siem Reap untuk antar jemput juga sangat helpful, semua on-time, no ngaret. Orang Kamboja yang berinteraksi dengan turis juga rata-rata berbahasa Inggris lebih baik daripada di Thailand. Dan kompleks Angkor-nya luar biasa indah serta well-managed.

Phnom Penh jadi pitstop terakhir sebelum menuju kota perbatasan Bavet dan menyeberang ke Moc Bai, kota perbatasan di wilayah Vietnam. Ibu kota Kamboja ini cukup berwajah metropolitan (termasuk ciri khas Senin pagi yang macet), dengan sungai Mekong yang besar melintas kota. Sungainya sendiri cukup bersih, walau pinggirannya tetap agak kotor. Tapi tetap jauh sih kalau dibandingkan dengan kotornya Citarum. Dengan segala catatan itu, tetap berminatkah suatu saat kembali lagi ke Kamboja? Sangat. Anggap saja niat bersilaturahmi dengan si cantik Miss Border.

Perbatasan Kamboja-Vietnam dilewati tanpa drama kali ini, baik di imigrasi Bavet di sisi Kamboja maupun Moc Bai di sisi Vietnam. Yang menarik, kantor imigrasi di Bavet sangat bagus dan besar, berbanding terbalik dengan sejawatnya, kantor Poipet di perbatasan Thailand kemarin yg lebih mirip tempat jual karcis bus AKAP di terminal Cicaheum dan sama sekali tanpa pemeriksaan badan serta barang bawaan. Padahal Poipet sepertinya disetting sebagai kota judi, karena begitu keluar imigrasi, di sekeliling banyak casino besar terlihat. Kenapa retribusi yang ditarik dari casino-casino ini tidak dipakai untuk membangun kantor lokal yg lebih layak, ya? Hhmm…

Dari Moc Bai, lanjut tiga jam perjalanan lagi dengan bis ke tujuan kami selanjutnya, Ho Chi Minh City aka Saigon. Begitu masuk Saigon,keriuhan lalu lintasnya yang terkenal seantero dunia langsung menyambut. Tidak banyak kota dunia yang menawarkan “menyeberang jalan” sebagai pengalaman unik dan khas yang harus dicoba, jadi kami beruntung (walaupun seram) bisa mengalaminya di Saigon. Di Saigon tema kunjungannya heritage walk (belanja walk juga sih), keliling kota melihat uniknya Saigon sebagai kota yang, di luar dugaan, ternyata sangat cantik. Perpaduan klasik dan modern-nya pas, dan dimanfaatkan dengan baik untuk dijual sebagai wisata kota. Suatu hari sangat ingin kembali ke sana untuk eksplor lebih jauh, mungkin harus lanjut ke Vietnam Utara. Tidak terbayang sama sekali sebelumnya, bahwa Vietnam ternyata cukup membuat penasaran dan merindu.

***

Satu catatan khusus bagi kami adalah bahwa selama perjalanan, dan sepanjang perjumpaan serta pengamatan sesama turis berbagai penjuru dunia kemarin, spesies kami terbilang langka di kategori turis asing di ketiga negara tersebut. Backpacker? Banyak. Backpacker muda? Banyak sekali. Backpacker muda bule? Paling banyak. Backpacker muda Asia? Ada beberapa. Backpacker muda golongan bangsa Melayu atau asal Indonesia? Tidak ada. Backpacker paruh baya? Ada jumpa beberapa bule di stasiun. Backpacker paruh baya Asia? Tidak ada. Backpacker paruh baya Melayu? Tidak ada. Backpacker ibu-ibu paruh baya segala bangsa? Tidak ada. Backpacker berhijab? Tidak jumpa. Backpacker ibu-ibu paruh baya berhijab golongan bangsa Melayu asal Indonesia? Ada. Itulah kami, spesies yang mungkin harus dilestarikan (mungkin juga tidak haha).Mudah-mudahan jika Ia mengizinkan, kami masih diberi kesempatan untuk bisa bertemu spesies-spesies langka lain, di lain waktu, dan di lain petualangan

 

Penulis : Lia Kamellia Benny.

 Posted on : November 29, 2018
Tags :