Petualangan kali ini lebih seperti reuni mereka yang dulu pernah berkegiatan di alam bebas, katakanlah 15 – 20 tahun lalu. Sehingga tak heran kini yang dikejar bukanlah aroma petualangan ekstrim , namun lebih suasana nostalgia. Kini mereka bukanlah sebagai pelajar atau mahasiswa lagi, namun dari dari beragam profesi dengan istri dan anak yang menunggu di rumah. The expendables, mereka yang sudah terbuang dari dunia petualangan.
Sudah bisa ditebak, kondisi fisik mereka pun sudah jauh menurun dari masa-masa primetime-nya. Wawan sebagai veteran pendaki gunung dengan iri memandang Imam, mahasiswa yang mendampingi, dengan enteng berjalan membawa semicarrier yang padat sembari santai merokok.
“Baheula mah urang ge kenca katuhu ngudud na…” ia menghibur diri.
Perjalanan sendiri tak dimulai terburu-buru hingga hari beranjak menuju siang. Hampir dua jam delay dari itenary yang sudah dirancang. Menjelang tengah hari, perjalanan baru dimulai. Matahari terik di ubun-ubun, untung semua membawa topi. Pengalaman, barangkali itu saja bekal mereka kembali gunung-gunungan kali ini. Walau kick off pendakian delay hingga dua jam, mereka dapat memperkirakan sudah akan kembali ke desa sebelum gelap. Maklum saja, tak satupun membawa senter. Alamak..
Tak sampai setengah jam, nafas ngos-ngosan sudah terdengar. Peluh membanjir deras. “Jrit..nepi kadenge detak jantung sorangan,” Bais membuka suara.
“Aduh..sugan teh arek fun trekking..” keluh Ervan. Ini semacam sinyal untuk beristirahat, yang segera disambut bahagia oleh yang lain. Tak ada yang dikejar dalam pendakian ini, puncak bukan lagi tujuan utama, sunrise bukan lagi kemewahan. Kini adalah masanya kebersamaan, lalu untuk apa bergegas. Hampir tiap 100 meter mereka berhenti 🙂
Medan pendakian Rakutak relatif landai sehingga memberi cukup banyak kesempatan menarik nafas sebelum memasuki medan terjal didepan, terutama menjelang puncak kesatu. Daya tarik Rakutak adalah jalur yang berupa bibir jurang yang menghubungkan puncak-puncaknya. Walau hampir semua gunung akan memiliki kontur demikian, jalur yang dijuluki para pendaki Rakutak sebagai siratul mustaqim ini sangat unik. Saya senang menyebut setiap jalur curam sebelum puncak sebagai “Hillary step”.
Pemandangan terhampar bebas sepanjang jalur yang beresiko ini. Tampak hamparan hutan yang masih tak terjamah dibawahnya. Pendakian ke gunung berketinggian 1922 meter dpl ini juga masih sepi dari pengunjung, dengan demikian masih relatif bersih dari sampah. Walau di area bermalam sudah mulai tampak gejala-gejala mengkhawatirkan dari para pendakiyang malas membawa sampahnya kembali.
Matahari sedang bersinar hangat saat rombongan tiba di puncak dan membongkar perbekalan yang dibawa. Sementara para fotografer mendokumentasikan keindahan alam Rakutak dari puncaknya, kompor Trangia pun digelar untuk memasak mie serta minuman panas kopi dan teh. Tak ada yang lebih menyenangkan selain memberi sentuhan abadi di puncak perjalanan. Acara memasak ini ibarat sebuah ritual, sebuah upacara singkat namun akan dikenang abadi. Waktu mereka tak banyak, hanya 30 menit sebelum turun kembali. Ritual setengah jam ini akan menjadi tak terlupakan sepanjang hidup, seperti juga momen-momen saat dulu berdiri di kemegahan puncak-puncak gunung lain. Seberapa banyak kita mempunyai momen-momen indah yang dikenang abadi?
Bagi sebagian dari mereka, perjalanan kecil ini seolah menyentak alam bawah sadarnya dengan keras. Belasan tahun lalu ketika merasa sudah pensiun dari petualangan, tak satupun menyangka akan ada momen untuk kembali melakukan hal yang sama. Kini dengan alam pikir yang sudah lebih bijak dari masa adrenalin junkies dulu, sebuah halaman baru membentang didepan mereka. Itulah halaman kosong yang akan mereka warnai dan ruang hampa yang akan mereka isi dengan rasa yang pernah dikenal dulu. Sebuah pemahaman baru tentang alam, tentang hubugannya dengan manusia, dan terutama tentang diri mereka sendiri. @districtonebdg