Napak Tilas 100 Tahun Gedong Cai Tjibadak 1921

Sejarah Gedong Cai dibangun 100 tahun lalu saat terjadi wabah kolera. Walikota saat itu memerintahkan agar mencari sumber mata air bersih yang bisa diminum langsung oleh masyarakat untuk mengatasi wabah tersebut.

Kegiatan Napak Tilas 100 Tahun Gedong Cai Tjibadak 1921 dengan tema Konservasi – Seke – Tradisi diselenggarakan pada hari Rabu,  29 Desember 2021 atas inisiasi Komunitas CAI dan Karang Taruna Ledeng, juga bekerjasama dengan beberapa komunitas pegiat pelestari alam dan instansi terkait di pemerintahan kota Bandung.

Acara yang dihadiri oleh Plt. Walikota Bandung Bapak Yana Mulyana ini ditutup dengan adanya nota kesepakatan antara pihak-pihak pemerintah terkait untuk segera membuat suatu kebijakan dan komitmen yang tangguh dalam hal menjaga kelestarian bangunan heritage peninggalan Hindia Belanda tersebut. Ini harus dilakukan agar tidak terbengkalai seperti sebelumnya.

Gedong Cai saat ini masih berfungsi sebagai benteng pelindung reservoir mata air di Bandung Utara, namun proses urbanisasi di KBU yang hilang kendali membuat keberadaannya terancam akan bahaya longsor.

Sejarah Gedong Cai dibangun 100 tahun lalu saat terjadi wabah kolera. Walikota saat itu memerintahkan agar mencari sumber mata air bersih yang bisa diminum langsung oleh masyarakat untuk mengatasi wabah tersebut. Ketika ditemukan beberapa Seke (mata air) di daerah Ledeng, lalu dibangunlah semacam water station dengan pipa besar yang ditanam dalam tanah untuk mengalirkan air ke seluruh penjuru kota Bandung.

Mengutip pidato Direktur PDAM Tirtawening Sonny Salimi S.ST.MT, pada acara tersebut, Gedong Cai ini pertama kali dimanfaatkan oleh PDAM pada tahun 1977 dengan debit air 50lt/dtk, skrg menurun jadi 22lt/dtk, yang dimanfaatkan PDAM skrg ini hanya 10lt/detik, itu pun untuk mengairi kurang lebih 800 pelanggan di wilayah Cipaku dan Ciumbuleuit saja. Sisanya digunakan warga Cidadap dan sekitarnya.

Saat ini, walau debitnya berkurang, tempat ini masih mengalirkan air bersih untuk wilayah pemukiman sekitar Ledeng, Cidadap, Cipaku, dan Ciumbuleuit.

Mari kita jaga seke-seke di sekitarnya agar debit airnya semakin meningkat kembali, sehingga pasokan air bersih untuk kota Bandung bisa meningkat kembali. @BrahmaTanti

Sekeping Surga Dibelakang Terminal Kumuh

Di sekitar Cidadap Girang, Bandung atau biasa dikenal dengan kawasan Ledeng tersebar beberapa seke atau mata air yang tak pernah kering. Selain seke-seke ini ada beberapa anak sungai salah satunya Sungai Cipaganti yang punya potensi wisata.

Menurut catatan, kawasan belakang terminal Ledeng ini mulanya bernama Kampung Cibadak. Secara epistimologi, nama ‘Cibadak’ berarti ‘Cai Badag’ atau air yang melimpah. Agak ironis bila melihat kondisi terminal Ledeng sekitarnya yang kumuh.

Masa pemerintah Belanda, sumber mata air yang melimpah dari tempat ini dibuatkan bangunan pelindung untuk kemudian disadap dan dialirkan melalui saluran pipa besar yang ditanam di dalam tanah. Bangunan pelindung itu dikenal dengan nama Gedong Cai.

Bertujuan melakukan penghijauan, sejak 2019 Komunitas CAI hadir melanjutkan program revitalisasi lingkungan di sekitar Gedong Cai. Beragam tumbuhan mereka tanam di sekitar Sungai Cipaganti, salah satunya tanaman bambu.

Hasilnya, puluhan bambu endemik langka, seperti bambu 22, bambu ater, bambu bitung, dan bambu hitam ada di sini. Selain bambu, ditanam juga pohon penyerap air, misalnya kopi, beringin, pohon endemik seperti karung serta patrakomala, atau buah-buahan seperti mangga dan nangka.

Sebagai bentuk support atas tujuan mulia tersebut, pada hari Sabtu 4 Desember 2021 bertempat di cafe 25 Arcamanik D1VA mengundang komunitas CAI untuk berdiskusi sekaligus nonton bareng film pendek “Preserving the Seke” produksi ZBX yang menceritakan kawasan tersebut. Film pendek yang disutradarai Irwan Zabonk ini mendapat apresiasi dalam festival film di New York. @districtonebdg