Sekitar pukul tiga sore Bar dan Baiz tiba di bandara Mae Fah Luang Chiang Rai setelah perjalanan sejam lebih dari Bangkok. Ini kali pertama mereka tiba di kota itu. Bandaranya tidak besar namun cukup apik dan menyenangkan. Seperti biasa tiba di tempat baru, yang pertama mereka lakukan adalah mencari peta atau denah lokasi kota itu. Sayang di Chiang Rai brosur atau map kota sepertinya tak berlimpah, hanya ada peta kota yang terpampang di dinding. Mungkin pula sudah habis oleh turis-turis yang mengalir cukup deras ke kota kecil di Thailand Utara ini. Namun Bar tak putus asa, setelah celingukan sebentar ia melihat sebuah brosur di meja staff bandara. Segera disambar ketika ditinggal sebentar oleh yang empunya meja. Lumayan ada sedikit gambaran, namun tak cukup memadai bagi yang pertama datang ke Chiang Rai. Terpaksalah akhirnya membeli juga sebuah peta wisata seharga 80 baht. Darisitu barulah mereka mendapat gambaran tentang kota ini.
Tak ada transportasi publik dari kota ke bandara, sehingga mereka harus memakai taxi menuju kota Chiang Rai yang terletak sekitar 10 km dari kotanya. Bandara Mae Fah Luang ini adalah bandara baru yang terletak diluar kota, sedangkan bandara lama yang ada di dalam kota sudah tak dipakai untuk penerbangan komersial. Tarif taxi ke kota seharga flat 150 baht, namun supirnya mesem-mesem ketika dibayar pas. Akhirnya tambahan 10 baht pun berpindah tangan.
Mereka menuju sebuah tempat yang disebut Night Bazar di peta wisata. Kelihatannya tempat itu cukup strategis karena terletak dekat terminal bis Chiang Rai. Namun karena masih sore, tak ada keramaian disana. Merekapun mencari-cari tempat untuk ngopi dan wifi. Sebuah jajaran café di seberang terminal bis Chiang Rai tampak mejanjikan, mereka pun masuk ke dalam salah satu bakery café disana, memesan secangkir kopi dan setangkup roti untuk mengisi perut yang belum terjamah kalori hingga sesore ini.
Setelah mengisi perut dengan secangkir kopi panas dan roti hangat, diputuskan untuk menginap semalam di Chiang Rai. Tak sulit mendapatkan tempat menginap disini, tak jauh dari café ini banyak bertebaran hotel dan guesthouse. Mereka menginap disebuah guesthouse seharga 700 baht termasuk free wifi, free breakfast plus feel free untuk membuat kopi. Tak murah menurut ukuran mereka, namun karena dekat dari terminal bis akhirnya pilihan itu diambil. Takut bangun kesiangan esok harinya.
Setelah matahari terlelap, kehidupan malam kota Chiang Rai mulai menggeliat dan kemeriahan Night Bazar pun dimulai. Jalan-jalan yang tadinya dipakai lalu-lalang kendaraan bersolek menjadi pasar tumpah yang berwarna-warni. Beragam kuliner, atraksi dan souvenir dijajakan kepada para wisatawan yang datang dari beragam penjuru. Pernak-pernik yang ditawarkan sebenarnya cukup menggoda, namun mengingat perjalanan masih jauh mereka berusaha keras tak tergoda. Cukup menawar buah nenas segar seharga 20 baht, untuk menjaga kondisi badan tetap fit. Resep fit backpackeran menurut mereka sederhana saja, yaitu cukup mengkonsumsi buah atau sayuran segar selama perjalanan. Dan cukup menyesap kopi, tentu saja.
Tak jauh dari kemeriahan Night Bazar ini terletak sebuah ikon kota Chiang Rai yang lain yaitu Clock Tower. Sebuah tugu penanda waktu di persimpangan jalan, yang berhiaskan ukiran dan bergelimang cahaya lampu di malam hari. Tak jauh dari tugu banyak turis yang bersantap hidangan kakilima di pinggiran trotoar seraya mengagumi keindahannya. Walau tak semeriah suasana Night Bazar, area di sekitar Clock Tower pun cukup semarak oleh keberadaan turis yang menikmati suasana malam. Puas menikmati suasana malam kota mereka kembali ke pengiapan, bersiap terlena dibuai udara sejuk Chiang Rai yang menjanjikan kehadiran dewi-dewi mimpi.
Pagi terasa begitu lekas menjemput. Rasanya belum rela untuk pergi jauh dari kota ini. Tapi sudah hampir jam delapan, mereka harus bersiap karena perjalanan masih panjang. Baiz sedikit berolahraga dengan melakukan freeletics gerakan Metis.
“Meni getol olahraga euy…”, gumam Bar melirik rekannya itu, sambil leyeh-leyeh di kasur membaca buku Lonely Planet tentang Laos, negara yang akan mereka tuju.
“Hiss.. jaga kondisi atuh, perjalanan masih jauh.. buru olahraga pagi mumpung isuk keneh,” timpal Baiz bersemangat. Bar tetap tak tertarik, “Engke we mun geus di Laos,” jawabnya memberi alasan dan meneruskan berbaring malas-malasan sambil membaca. Tentu saja, sampai tiba kembali di tanah air hal itu tak terlaksana.
Menu sarapan pagi tidak mewah namun cukup menyenangkan. Roti, telur, buah-buahan, susu dan kopi tak dibatasi pengambilannya. Namun mereka tak pernah makan banyak di pagi hari, cukup menimbun kalori secukupnya saja untuk bekal nanti di perjalanan. Bukan apa-apa, males banget kalau sedang di bis tiba-tiba perut bergejolak. Setelah membayar ongkos penginapan keduanya berjalan santai menuju terminal bus yang berjarak sekitar 200 meter. Memulai perjalanan panjang dari kota kecil yang tak sampai 24 jam disinggahi, namun telah berhasil mencuri hati mereka. (@bayubhar )