Don Mueang Railway Station bisa dikatakan spot pertama kami dari Sadaya Geulis Hikers, saat melakukan trip 3 negara Thailand – Campodia – Vietnam bersama District One pada tanggal 1-7 November 2018 yang lalu.
Tidak sulit menemukan Railway Station ini karena lokasinya yang berseberangan dengan Bandara Don Mueang tempat pesawat kami dari Cengkareng mendarat. Ada jalan khusus untuk tembus menuju tempat ini dari Bandara sehingga kami tidak perlu repot menyebrangi jalan.
Mungkin ada yang aneh dengan kata ‘relax’ pada judul di atas. Kok bisa sebuah stasiun KA yang identik dengan keramaian dan hiruk pikuk manusia, apalagi ini di Thailand yang penduduknya lumayan padat, bisa dibilang ‘santai’.
Jangan salah, kami memang merasakan ambience yang ringan. Bisa jadi ini pengaruh setelah agak dag dig dug melakukan perjalanan panjang dari Bandung menuju Gambir yang kemudian diteruskan dengan Damri menuju Cengkareng yang saat itu terkena macet. Sehingga perkiraan tiba di Cengakreng dalam waktu satu jam, kenyataanya tiba dalam waktu 2 jam. Belum lagi menghadapi petugas Bandara di Don Muaeng yang menurut kami lumayan ‘galak’ dan sempat marah dengan cara menunjuk –nunjuk ke teman kami, Iing Irma karena belum lengkap mengisi data visitor.
Dengan tiba di stasiun ini membuat kami agak bisa menarik nafas lega setelah drama-drama tersebut, dan juga euphoria menyadarai sebenarnya petualangan kami dimulai di sini. Calon penumpang yang duduk menunggu KA relatif sedikit. Loket pun sepi. Entah rush hour -nya sudah lewat atau karena kebetulan Don Muaeng ini sebenarnya berada agak jauh dari pusat Kota Bangkok. Entah. Yang jelas ketika kami menunggu jadwal KA ke Hua Lamphong terasa santai dan relaks.
Setelah kami membeli tiket menuju stasiun Hua Lamphong Bangkok seharga sekitar 5 Baht ( setara Rp. 2.250,-), kami pun duduk-duduk di kursi peron dengan leluasa, bersantai melihat sekeliling.
“ Serasa di Jakarta ya, itu tadi lorong terusan Bandara – Stasiunnya mirip di Stasiun KA Tanah Abang”, Nonon berkomentar diikuti tawa semuanya.
Stasiun KA Don Mueang areanya terbuka sekali, pedagang kaki lima bisa bebas berjualan. Sambil menunggu di kursi peron, kami bisa dengan bebas membeli aneka street food karena hampir tidak ada pagar pembatas antara stasiun dengan jalan raya. Makan sore ala-ala nasi plus ayam fried chicken kami beli seharga 20 baht saja, plus sebotol juice nenas seharga 10 baht, buah jambu 10 baht. Total jajan saat itu 40 baht (setara sekitar 17.500,-). Nikmat menyehatkan pula.
Tapi ada hal yang paling berbeda di Thailand ini kami tidak melihat orang lain merokok di public area. Ada tanda “No Smoking” tersebar, tapi adapula beberapa spot yang sudah hilang tandanya. Tapi jangan heran, tanpa tanda pun masyarakat sudah dibiasakan tidak merokok di public area, sehingga ada dan tidak ada tanda larangan pun kebiasaan sudah terbentuk untuk tidak merokok sembarangan. Jadi ingat di Indonesia ada masyarakat malah yang merokok di depan tanda larangan merokok. Inilah positifnya backpackingan ke Negara lain, sering membandingkan kegelian yang terjadi.
Hal unik juga dimana masih banyaknya telepon koin lama yang masih difungsikan. Rupanya pemerintah Thailand termasuk yang tidak tergesa-gesa menghapus teknologi lama. Telepon koin walau termasuk teknologi lama tidak ada salahnya memang untuk tetap digunakan jika masih berfungsi dengan baik. Bandingkan, telepon koin di Indonesia telah punah sejak beberapa tahun lalu walau mungkin sebenarnya masih bisa berfungsi. Kami pun sejenak menjadi ahli banding. Membandingkan perbedaan dan kesamaan Thailand dan Indonesia.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 19.00, kami pun bersiap-siap menyambut KA yang akan membawa kami ke stasiun Hua Lamphong.
@BrahmaTanti