Sebuah desas-desus tentang keberadaan reruntuhan benteng di sekitar Lembang membangkitkan insting untuk mencarinya. Selama ini kami hanya mengetahui sebuah bunker tua di daerah Gunung Putri, yang biasa dilalui jalur offroad trayek Sukawana-Gn Putri. Keberadaan benteng ini tentu mengusik rasa penasaran.
Pada tanggal 21 Oktober 2015, tim survey pun meluncur ke Lembang menuju rumah kenalan baru kami yaitu Warid di kampung Cisarani, desa Cikahuripan. Jalan menuju rumahnya diwarnai dengan tanjakan yang tajam dengan jalan yang tak terlalu lebar. Mungkin akan lebih baik bila memakai motor, pikir kami.
Pukul 10:15 hiking dimulai dari belakang rumahnya, melewati ladang dan kebun. Musim kemarau tampak jelas membuat petani disini kesulitan. Beberapa bak penampung air tampak sudah lama kering, banyak lahan dibiarkan tak ditanami karena sulit air. Selain pertanian disini juga tampak beberapa kandang sapi perah. Mereka menyetorkan susu sapi ke koperasi susu di Lembang.
Selepas ladang, jalur hiking mendaki bukit menuju hutan pinus. Belum lama berjalan di antara pepohonan pinus tiba-tiba Warid menunjuk tangannya ke atas. Sebuah elang besar tampak terbang tak terlalu tinggi dari pohon pinus. Waah..bukan main, sudah lama tak melihat elang besar terbang begitu dekat diatas kepala. Kalau tak salah dua tahun lalu kala hiking di gunung Geulis, Jatinangor.
Jalan setapak di antara pepohonan pinus menghantarkan kami ke perbatasan dengan hutan primer, yang disebut daerah Leuweung Poek. Dari perbatasan dengan hutan ini, reruntuhan benteng tak jauh lagi. Sebuah ajakan dalam basa Sunda untuk melestarikan hutan tertulis di papan triplek yang sederhana, terpaku pada batang pohon pinus.
“Duluh Galuh Pakuan Pajajaran. Salemah sabasa sabudaya. Sacai satradisi saturunan Eyang Siliwangi. Hayu urang jaga riksa jeung mumule leuweung sareng lemah cai na. Mugia janten ibadah.”
Warid menunjukkan sebuah tembok yang memanjang, sudah berlumut dan sebagian terkubur didalam tanah. Ia sendiri kurang tahu sejarah benteng ini. Namun tebakan kami, reruntuhan ini merupakan bagian dari sistem perbentengan yang terintegrasi dengan bunker Belanda di Gunung Putri, dibangun untuk melindungi kota Bandung bila diserang dari arah Subang.
Hanya satu jam perjalanan untuk sampai kesini, kami tak berniat meneruskan lebih jauh lagi karena tujuan utama hanya sampai benteng. Dari segi kewilayahan, kemungkinan termasuk ke dalam kampung Pasir Ipis, desa Jayagiri.
Di teras benteng yang tak terlalu luas, pemandang hutan Leuweung Poek terbentang di depan. Sebuah view yang pantas untuk menikmati bekal yang dibawa. Warid membongkar backpacknya, mengeluarkan kompor Trangia dan kopi.
“Ieu kopi meser di Cibareubeuy,” ujarnya,” teras ku abdi disangray dina katel taneuh nganggo suluh. Disangray dugi aroma na kaluar, teras ditumbuk nyalira. Abdi mah hoyong rasa kopi nu alami.”
Wah, tentu rasanya mantap. Ia lalu mengeluarkan gula merah, dari pohon aren. “Raosan nganggo gula aren batan gula bodas,” lanjutnya.
Benar saja, kopi yang diroasting tradisional, gula aren dan air mendidih membuat rasanya juara. Belum lagi view yang menakjubkan dan hawa segar pegunungan. Setelah beberapa kali sesapan, setiap orang tenggelam dalam sensasi rasa kopinya. Mabuk pada pesona alam, enggan untuk mengingat mereka harus kembali ke kota. Seperti meneguk anggur kehidupan.
“Wow..pedo kieu kopi na,” gumam Bar takjub.
“Enya..lekoh pisan..” jawab Bais.
Sayang waktu kami tak banyak, setelah sepeminuman kopi rombongan pun bergerak mengevakuasi diri. Masih terdapat beberapa spot menarik di sekitar sini bila melanjutkan perjalanan 1-2 jam lagi, misalnya air terjun ke arah Sukawana, perkemahan Jayagiri atau bunker gunung Putri.