Luang Prabang, sebuah kota yang menjadi salah satu andalan bagi industry wisata di Laos. Sebuah kota yang ramai oleh para wisatawan, baik domestic maupun mancanegara, sebuah kota yang sadar wisata. Saat tiba di pusat kota Luang Prabang, kami langsung menuju sebuah café yang terletak di sebuah persimpangan jalan. Seteleh memesan minuman wajib yaitu kopi panas, kami pun duduk duduk sambil melihat sekeliling. Karena kursi kursi café itu terletak di halaman sebuah travel agent, maka kami bisa leluasa memandang aktivitas sekitar. Terlihat di seberang jalan, night market yang merupakan salah satu hiburan andalan di kota ini sudah mulai digelar, lampu lampu jalan warna warni menyemarakkan suasana sekitarnya. Sambil tentunya ber-wifi-an, dan akhirnya dapat mengabari kondisi kami kepada keluarga & rekan di luar sana sambil menikmati cerahnya suasana senja.
Malam itu kami menginap di sebuah guest house yang terletak di jalanan sekitar area night market, Sebuah guest house yang nyaman berlantai parquette. Sehabis mandi kami lalu menelusuri jalanan Luang Prabang, dari mulai area night market sampai kawasan backpacker di pinggiran sungai Mekhong.
Luang Prabang banyak dihiasi oleh bangunan bangunan khas Eropa, karena memang Laos adalah bekas jajahan Perancis, wajar jika kota ini ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Sayangnya bangunan antik tersebut banyak yang kurang terawat, catnya kusam dan mengelupas, sungguh sangat disayangkan, padahal bangunan bangunan tersebut bisa menjadi daya tarik wisata yang unik.
Keunikan tempat ini sangat jelas bisa dinikmati pada pagi hari. Usai menyaksikan upacara sedekah biksu yang telah menjadi bagian dari atraksi turis, sebuah moment dimana para biksu berbaris mengambil sedekah dari para turis dan penduduk setempat. Setelah itu kami berjalan menghirup udara segar pagi hari sambil menikmati suasana kota.
Menjelang malam, kami sudah standby di southern terminal Luang Prabang, kali ini kami berencana akan bergerak menuju Vientiane menggunakan Sleeper Bus atau Bus malam kelas sleeper dengan harga ticket 150.000 KIP/ orang, dengan pertimbangan menghemat biaya penginapan. Para backpacker dalam melakukan perjalanannya sering kali menggunakan bus malam baik itu kelas VIP atau Sleeper yang tempat duduknya dapat disetting sebagai tempat tidur dengan maksud menghemat biaya penginapan. Jadi biasanya saat sampai ditujuan mereka akan menghabiskan siang harinya untuk mengeksplore kota.
Saat kami sedang duduk duduk menunggu waktu keberangkatan, tiba tiba ada seorang bule menyapa…”hey guys, where are you going?” . Wow rupanya si turis Italia itu yang tempo hari bersama kami di terminal Luang Prabang, selanjutnya kami pun terlibat sedikit percakapan…rupanya dia juga akan bergerak meninggalkan Luang Prabang menuju Vientiane dan dari situ akan terus menerobos menuju Vietnam…wah, asyik juga nih perjalanan si italiano ini….bikin ngiler hehehehe.
Sementara rencana kami dari Vientiane akan terus menuju Nong Khai, kota perbatasan Laos-Thailand dan melanjutkan ke Bangkok untuk kemudian pulang ke tanah air. Akhirnya sesuai jadwal keberangkatan yaitu pukul 20.45, bus kami pun bergerak menuju Vientiane.
Sekitar pukul 04.30 AM kami tiba di Northern Terminal Vientiane, hari masih gelap & udara masih terasa dingin walau tidak sedingin saat di Luang Namtha. Kami pun turun dan duduk duduk sejenak di sekitar terminal sambil sedikit melakukan orientasi medan. Setelah menghabiskan sebatang rokok, saya pun beranjak mandi di toilet terminal setelah sebelumnya rekan saya Barbar mandi terlebih dahulu dengan membayar 5000 KIP. Sekitar pukul 06.00 AM kami pun melaju menggunakan tuktuk menuju pusat kota.
Vientiane adalah ibu kota Laos yang terletak di Lembah Mekong. Vientiane merupakan bagian dari prefektur Vientiane (kampheng nakhon Vientiane) dan terletak di perbatasan dengan Thailand. Penduduknya di tahun 2005 diperkirakan berjumlah 723.000 jiwa (Wikipedia).
Tidak berapa lama kami tiba di pusat kota Vientiane, jalanan masih sepi toko toko belum lagi buka, seperti halnya di Thailand atau Vietnam di sini pun toko buka rata rata pukul 10.00 pagi. Dari kejauhan di taman kota saya melihat beberapa orang sedang melakukan aktivitas olah raga. Kami pun melangkah ke arah taman yang letaknya dipinggiran sungai Mekhong tersebut dan mengambil beberapa foto.
Matahari mulai meninggi saat kami menjelajahi pusat kota, panas mulai terasa menyengat. Kami pun memasuki sebuah café untuk sekedar istirahat & berteduh sambil memesan minuman dingin. Sementara saya terkantuk kantuk dibuai sejuknya semilir AC di dalam café itu, rekan saya Barbar membuka buku Lonely Planet tentang Laos yang dibawanya saat berangkat. Tiba tiba dia menunjuk pada sebuah halaman di buku Lonely Planet tersebut di situ tertera judul “ Classic Routes” sebuah jalur klasik yang sering dilalui para backpacker yang di mulai dari utara Thailand kemudian menyebrang ke Laos selanjutnya menyusuri menuju selatan dan itu ternyata jalur yang kami lalui.
Setelah badan sedikit segar, kami pun melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Laos menggunakan tuktuk dan kami meminta kepada supirnya sebelum ke perbatasan untuk diantar ke Monumen Patouksai & Museum Sisaket atau Wat Sisaket yang merupakan icon dari kota Vientiane.
Sesampainya di pos imigrasi perbatasan Laos saya liat bejibunnya orang yang antri untuk melintasi perbatasan menuju Thailand. Hal ini sangat jauh berbeda saat kami melintasi perbatasan Thailand menuju Laos. Antrian panjang pun terjadi saat kami memasuki pos imigrasi Thailand di kota Nong Khai. Di kota ini lah kami mengakhiri perjalanan karena sore harinya kami menuju Bangkok untuk kemudian kembali ke tanah air.