Perjalanan dimulai sekitar jam 10 pagi saat cuaca cerah matahari berseri-seri. Namun semua maphum bahwa cuaca gunung Patuha bisa berubah cepat. Walau jalan ke Geothermal kini sudah hotmix, kami berjalan kaki saja dari jalan raya. Dari Geothermal, kampung Cipanganten hanya sepelemparan batu. Alhasil sesudah satu jam berjalan dari dari jalan raya sampailah di Cipanganten. Tenaga dari bubur ayam tadi pagi sudah tercecer dijalan aspal perkebunan teh
Sejenak dadasar di warung lalu mulai melahap tanjakan batu sepanjang dua kilometer. Tenaga dari indomie warung pun memudar di ujung tanjakan yang berupa hamparan kebun teh. Darisini cuaca asli gunung Patuha mulai menyambangi, hujan tipis dan kabut tebal menyelimuti kaki gunung.
Setengah jam kemudian tiba di view deck Sunan Ibu, namun kabut tebal menghalangi pemandangan ke arah Kawah Putih. Sebagian orang mungkin menyesali kabut yang menutupi gunung ini namun kami seperti dipertemukan teman lama. Memeluk hangat dalam dingin
Perjalanan dilanjukan ke puncak ditengah serinai gerimis yang makin membulir tetesannya. Menjelang puncak flysheet dibuka lalu sejenak masak sambil bernostalgia. Hujan, kabut, letih dan lapar.. satu persatu elemen dari masa lalu merasuk membangkitkan memori yang megah.
Mendaki gunung Patuha via Cipanganten bagai sebuah penebusan terhadap komersialisasi alam. Rute yang bersahaja dan sunyi ini merupakan sebuah jalur yang layak diperjuangkan bagi mereka yang jatuh cinta pada Kawah Putih namun tak ingin terlalu dekat untuk mengotorinya
Puncak Patuha hanya sepelemparan batu dari tempat bivak, tak berapa lamapun kami sampai disini. Lalu lanjut ke Sunan Rama, dan turun via jalur yang berbeda ke arah Kawah Putih. Jalur turun ini terletak tak jauh dari petilasan. Sekitar jam lima sore sudah tiba di kawasan wisata Kawah Putih, tinggal menunggu angkot untuk turun ke parkiran bawah.
@districtonebdg