Cao Dai, Religi Made in Vietnam

5

 

 

 

 

Cao Đài atau Đạo Cao Đài adalah sebuah agama relatif baru yang bersifat sinkretis yang dibentuk di Tây Ninh, Vietnam, pada tahun 1926. Cao Đài berarti “tempat yang tinggi” atau hariahnya di tempat tertinggi di mana Tuhan berada. Pengikut Cao Dai mempercayai bahwa agama mereka beserta pengajaran, simbolisme dan organisasinya ditunjukkan langsung oleh Tuhan. Mereka meyakini pengajaran Buddhisme, Taoisme, Konfusianisme dan Kristen. Jumlah pengikutnya diperkirakan antara 2-3 juta jiwa di Vietnam dan berbagai negara lain. (Wikipedia).

Kunjungan ke kuil Cao Dai tahun 2011 ini sebetulnya tak direncanakan, karena niatnya hanya melihat artefak perang Vietnam ke Cu Chi Tunnel, namun karena harga paketnya tak jauh beda jadilah sekalian mengambil paket tur seharga $7 yaitu Cu Chi tunnel+Cao Dai temple. Mungkin ada keinginan dari pihak-pihak disana untuk memperlihatkan produk agama made in Vietnam ini ke turis-turis atau sekedar karena jalurnya yang sejalan dengan arah ke Cu Chi tunnel. Tak banyak yang dapat dikomentari, selain karena kuilnya tak berbeda jauh dengan kuil-kuil  pada umumnya kami juga tak paham tata cara peribadatan agama lain.

Rombongan turis datang di tengah hari, biasanya sebelum peribadatan dimulai. setelah melepaskan alas kaki, kami masuk ke dalam melihat-lihat ruangan ibadahnya yang luas, namun segera keluar ketika tampaknya rombongan yang akan sembahyang sedikit-demi sedikit mulai berdatangan untuk beribadah. Walau diliputi keingintahuan, rasanya tak elok memotret-motret suasana ibadah yang selalu diharapkan menjadi momen yang syahdu oleh umatnya.

Kami pun keluar dari kuil di tengah hari yang panas ngajeos, mencari perlindungan diantara pohon-pohon besar di halaman kuil. Beberapa ekor monyet juga berkeliaran disekitar pohon, sama mencari keteduhan dalam dekapan pohon. Sementara itu sayup-sayup terdengar irama musik dari dalam kuil memancing keingintahuan. Namun panas terik mengurungkan niat melihat kedalam. Apatis, tepatnya begitulah. Kami hanya menunggu saja ditemani sepoi angin  sampai bis rombongan wisata bergerak menuju tujuan utama hari itu, yaitu Cu chi tunnel. @districtonebdg

Menyaksikan Ritual Sai Bat Di Luang Prabang

tradisi & icon di Luang prabang

By Bayu Ismayudi

Senja yang memerah cerah menaungi terminal Luang Prabang saat bus yang kami tumpangi dari Luang Namtha tiba. Luang Prabang adalah adalah kota ketiga yang rencananya akan  disinggahi dalam rangkaian perjalanan saya & rekan saya Barbar kali ini, setelah sebelumnya Chiang Rai (Thailand), lalu melewati Chiang Kong (Thailand), selanjutnya menyeberang ke Laos melalui Bokeo dan singgah di Luang Namtha.

Dengan menggunakan tuktuk (sejenis angkutan kota) seharga 20.000 KIP/ orang (KIP : mata uang Laos) kami melaju menuju pusat kota dari terminal bus. Setengah jam kemudian kami tiba di pusat kota, tuktuk yang kami tumpangi berhenti di persimpangan jalan utama kota.

Seperti biasa, setiap kami tiba di suatu tempat hal pertama yang kami lakukan adalah mencari café untuk sekedar menikmati secangkir kopi hitam panas & ber-wifi-an, agar bisa sedikit “aklimatisasi” & orientasi medan. Dan kebetulan tuktuk yang kami tumpangi berhenti tepat di depan sebuah café.

Sejenak kami rehat sambil meneguk hangatnya kopi, terlihat di seberang jalan sebuah keramaian, rupanya Night Market yang menjadi salah satu ciri khas kota ini sudah dimulai. Menurut beberapa teman yang pernah berkunjung ke kota ini, Luang Prabang adalah sebuah kota yang menarik & eksotis, kota yang merupakan salah satu destinasi utama di Laos. Banyak beberapa atraksi yang bisa dipamerkan untuk para turis di sini, selain Night Market, pada pagi sekitar pukul 05.00AM ada upacara biksu yang berbaris memungut sumbangan dari penduduk setempat dan para turis. Selain itu karena Laos dulu pada tahun 1893 dan selama kurun waktu 52 tahun pernah diduduki Perancis, maka arsitektur banguanan bergaya Eropa banyak menghiasi kota Luang Prabang ini dan itu semua menjadi sajian menarik di kota ini. Kota ini juga terkenal sebagai situs warisan dunia yang dinobatkan oleh UNESCO.

Sepeminuman kopi pun berlalu, kami pun beranjak mencari guest house untuk menginap malam itu. Dan setelah melalui jalanan yang menjadi area Night Market kami menemukan guest house di jalanan kecil di dalam area Night Market tersebut. Sebuah Guest House yang nyaman dan strategis dan setelah melihat lihat room, kami pun booking satu kamar dengan double bed seharga 200.000 KIP.

Usai rehat sejenak dan membersihkan diri, sekitar pukul 20.00 PM kami bergerak mengeksplore jalanan kota Luang Prabang. Semarak Night market kami lalui, kami terus menelusuri sebuah kawasan di pinggiran sunga Mekhong yang menjadi area para backpacker berkumpul di mana banyak pula café & guest house bertebaran. Dan tentu saja wilayah ini tidak kalah semarak dengan area Night market tadi.

Hampir satu jam lebih kami menyusuri jalanan, sampai akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat kami menginap, namun sebelumnya kami sempat mencicipi nasi goreng yang dijajakan di pinggiran jalan seputar area Night Market, hmmm dari semenjak memulai perjalanan di Chiang Rai baru saat ini kami makan nasi setelah sebelumnya perut kami diisi oleh roti perancis dan mie rebus khas Laos (aroma & rasanya persis seperti Pho, mie Vietnam ). Beres makan kami pun kembali ke penginapan untuk istirahat.

Pukul 05.30 AM kami terbangun, pagi itu kami berniat menyaksikan upacara biksu yang terkenal itu. Maka setelah bersih bersih seperlunya kami pun bergegas menuju jalanan. Di kejauhan tampak ramai kerumunan orang, rupanya upacara itu sudah dimulai, setelah mendekati kerumunan tampak para biksu sedang berbaris berbalut kain berwarna orange membawa bakul kecil tengah memunguti sedekah dari penduduk setempat & para turis. Upacara yang dikenal dengan nama ‘Sai Bat’ berlangsung setiap hari dari pukul 05.00 AM. Para Biksu ini menerima sedekah berupa nasi ketan atau camilan tradisional. Penduduk yang akan member sedekah duduk di sepanjang jalan menunggu para biksu melewatinya. Konon menurut penduduk setempat, makanan yang terkumpul merupakan jatah makanan sehari untuk para biksu tersebut. Pada saat upacara ini berlangsung banyak para turis mengabadikan moment langka & unik ini.

Usai menyaksikan upacara ‘Sai Bat’ kembali kami berjalanan menyusuri  jalanan kota itu sambil menikmati udara pagi. Terlihat beberapa orang sedang melakukan aktifitas olah raga pagi. Saat itu kami juga melewati beberapa bangunan berarsitektur eropa dan beberapa kuil berornamen khas Indochina yang sempat kami abadikan. Sementara itu aktifitas kota belum lah bergeliat sepenuhnya, karena memang seperti halnya di Vietnam atau Thailand di sini juga aktifitas perdagangan & perkantoran dimulai pukul 10.00 AM. Setelah puas berkeliling kami pun kembali ke penginapan untuk mandi & sarapan.

Suatu hari di Masjid Biru, Ho Chi Minh City

blue-Mosque-04

Sebuah bangunan  dengan arsitektur dan lansekap yang unik tampak familiar menyempil diantara belantara gedung2 bertingkat di sudut kota Ho Chi Minh, tepatnya di distrik 1 Dong Khoi yang sibuk dan padat. Warna biru kombinasi putih mendominasi penampakan bangunan ini. Cukup rapih dan terawat walau warna birunya sudah mulai agak kusam. Tampak empat menara atau minaret menjulang di keempat sudut bangunan utama.Tidak ada kubah besar namun di setiap pucuk minaret terdapat semacam kubah2 kecil berwarna keemasan.

Pintu-pintu atau gerbang masuk kedalam gedung yang berderet sebanyak tujuh buah dengan lengkungan khas timur tengah menegaskan bahwa ini bukanlah gedung yang biasa akan kita temukan di Vietnam. Pekarangannya cukup luas, bersih, cukup terawat dan pastinya teduh dengan pohon sarat dahan berdaun banyak. Tidak salah lagi, itu adalah Saigon Central Mosque atau Blue Mosque atau Jamiah Al Muslimun, salah satu mesjid terbesar yang ada di Vietnam. Saya sejenak cukup takjub dengan pemandangan yang ada.

Bangunan mesjid ini didirikan pada tahun 1935 oleh para pedagang dari India yang telah bermukim di kota itu. Tahun dimana Vietnam belum merdeka dari kolonialisme Perancis, begitupun India yang masih belum lepas dari kolonialisme Inggris. Sehingga nampaknya wajar, Saigon ketika itu, sebagai kota pelabuhan dan perdagangan terbesar di sisi selatan Vietnam, sangat menarik sehingga mengundang para saudagar dari mancanegara, yang berbeda etnis dan agama ini, untuk datang bahkan hingga bermukim di kota itu. Beberapa keturunan India muslim saat ini masih merupakan bagian dari komponen komunitas muslim di Vietnam selain juga keturunan Melayu. Walaupun demikian, etnis lokal Cham masih menjadi jemaah muslim mayoritas di Vietnam.

Setelah melewati pekarangan dengan taman yang asri, sebuah tangga lebar dengan anak tangga yang cukup banyak sudah menanti untuk mengantar kami memasuki masjid. Setelah menaiki tangga, tepat di sayap kanan terlihat sebuah kolam dengan dikelilingi pancuran air yang nampaknya adalah tempat untuk membersihkan diri atau bersuci mengambil wudhu. Seperti biasa, alas kaki sudah harus dilepaskan disini.

Yang juga menarik dari masjid ini, selain ciri khas dan warna birunya, adalah adanya gedung madrasah atau sekolah agama persis di halaman belakang mesjid. Nampaknya komplek masjid ini dari awal memang benar-benar dirancang sebagai enclave komunitas muslim di Ho Chi Minh. Namun sayang, berbeda dengan mesjidnya,  bangunan ini nampak kurang terawat. Bangunan ini berlantai tiga, ada tulisan Madrasah Noorul Imaan Islamic School di lantai kedua dengan lambang bintang yang khas diatasnya.

by Luthfi Rantaprasaja / @loerant