Perjalanan Empat Puluh Jam Dari Utara Ke Selatan Vietnam

10268413_508279635962015_2750692301835215171_n By Andreas Polin Situmorang

C: just hard seat no air conditioner, slow train, it needs fourty hour to Saigon..
“Waktu kami tidak banyak, kami harus cepat kembali ke Saigon, pikirku.”
“Kami saling berhadapan, bertatapan dan saling mengangguk, pertanda setuju”
M: “Ok, i take it two tickets”
Begitu kira2 percakapan saya dengan petugas ticketing di stasiun Hanoi.
Harga tiket memang murah mengingat jarak tempuh yang sangat jauh. hanya 650.000 VND/ orang (sekitar 380rb Rupiah), dibanding kelas Soft seat 1.250.000 VND. Ada banyak macam kelas penumpang yang disediakan, yaitu; hard seat non ac, hard seat w/ ac, soft seat w/ ac & soft sleeper. Perbedaan tiap kelas terlampau jauh harganya..
Saat menempuh Saigon-Dong Hoi-Hanoi, kebetulan kami mendapatkan tiket dengan kelas soft seat w/ac, untuk kelas ini kurang lebih sama dengan kelas bisnis di Indonesia..
Ini hari ke enam saya di Vietnam bersama Stefanus yang merupakan perjalanan backpacker saya pertama kali ke negeri orang. Sebelum berada di Hanoi, saya terlebih dahulu mengunjungi Taman Nasional Phong Nha Ke Bang di Provinsi Quanh Binh.
Singkat cerita, waktu untuk boarding pun sudah tiba, kami berdua mulai masuk ke gerbong yang ditentukan.
Jreeng.. Buset ekstrim amat! Bangkunya benar2 “Hard”, Keras cui! Ditambah bentuknya yang 90˚ (gimana cara tidurnya nih).
Suhu di Hanoi yang mencapai 39˚, membuat para penumpang kelas ekonomi ini seperti sedang dikukus. Para pria-pria macho bak bruce lee dengan pede bertelanjang dada, berharap mengurangi keringat yang diproduksi. Kipas angin tidak membantu sama sekali. Satu lagi, yang membuat semakin sempurna, toilet!
Orang-orang membawa banyak macam, karung-karung besar, ada yang membawa beras, sembako, makanan berat dan material2 aneh lain. Yak, seperti hendak mengembara jauh, benar saja Hanoi-Saigon berjarak sekitar 1800 km. Kondisi ini tentu saja begitu kontras dengan kereta kelas soft seat. Kalau begini rasanya sudah seperti penjara berjalan dengan masa kurungan selama 40 jam..
Duong Sat Vietnam kalau di (Indonesia PT.KAI), menawarkan perjalanan dari ujung selatan ke ujung utara dan sebaliknya. Kereta pasti berhenti di stasiun-stasiun besar, jadi jangan takut mengelilingi negeri paman Ho ini dengan menggunakan kereta api. Kalau di Indonesia penumpang biasanyaa menunggu kereta langsung di peron stasiun, tetapi di Vietnam penumpang harus tetap menunggu di lobby sampai kereta kita benar-benar datang. di Vietnam stasiun itu artinya “GA”, Ga Hanoi, Ga Sai Gon, Ga Nha Trang, dst
Sepanjang perjalanan kereta melintas melewati pemandangan yang menarik, kereta menembus terowongan tua ditengah perbukitan, hamparan sawah yang melimpah, muara-muara, dan megahnya kawasan karst di daerah Ninh Binh Province.
Kereta melipir mengikuti kontur dipinggir kanan Vietnam sehingga penumpang bisa melihat Pantai barat vietnam dan lautan cina selatan..
Pada kelas ekonomi ini. semakin malam, kondisi kereta semakin mengerikan, penumpang makin beringas, mereka berlomba-lomba untuk mencoba posisi setidak sopan mungkin.. lebih parah daripada kondisi kereta ekonomi di Indonesia, tikar digelar, mereka tidur diantara kedua bangku yang saling berhadapan, ada yang tidur bawah bangku persis malahan..
Kalo waktu ngga mepet dan uang mencukupi, saya sarankan menggunakan kelas soft seat atau bahkan naik pesawat saja…
Kalau pada musim dingin mungkin kereta lebih nyaman, kalau kemarau panasnya sangat terasa.
Jangan lupa bawa perbekalan untuk didalam kereta. Satu cara ampuh untuk tetap Survive di kereta hard seat non ac vietnam, SABAR.. ingat saja, “segala sesuatu yang dimulai pasti ada akhirnya” hehehe…
Wanna try?

Thakek – Hue dengan Bis Bermuatan Arang

Oleh Hidayat Adhiningrat

10011321_10202896274520670_3289862934244830693_n”Telepon saya kalau kendaraannya tidak ada”, pesan om Edi, seorang warga Indonesia yang bekerja dan tinggal di Thakek. Ia dengan segala kebaikannya telah sangat membantu kami dalam petualangan ini. Trayek kendaraan dari Thakek (Laos) ke Hue (Vietnam) ini memang tergolong masih baru, belum sampai satu tahun, karena itu ia sendiri masih sedikit sangsi . Ia harus pulang karena waktu sudah menunjukan pukul 19.00.

Cukup lama kami menunggu kendaraan yang tak kunjung tiba, diam-diam kami mulai khawatir bahwa ‘minivan’ ini tidak akan ada, hampir satu setengah jam kami menunggu sampai ketika di parkiran dengan plang yg tertulis “Thakek-Hue” ini tiba kendaraan yang kami tunggu-tunggu, dan bukan mini van melainkan sebuah bus ‘reot’.

Dengan ‘bahasa isyarat’ -karena kondektur dan supirnya tidak bisa berbahasa inggris- kami coba meyakinkan bahwa bus ini memang menuju Hue, setelah yakin kami memasukan barang ke dalam bus. Didalam bus terdapat sembilan orang penumpang, dari terminal Thakek ini naik lima orang penumpang yaitu kami bertiga dan dua orang turis dari Spanyol sehingga total jumlah penumpang adalah 14 orang, setelah kursi kami isi didalam bus tersisa dua kursi lagi, bagian belakang kosong tanpa kursi!!

“Ah, sudahlah”, kami pikir yang penting kami bisa sampai ke Hue, lagi pula keadaan kami sudah sangat lelah sisa penelusuran kemarin, sekarang saatnya tidur.
Sempat mengobrol sebentar di dalam bus tidak lama kami bertiga tertidur dengan lelap, perjalanan malam hari ini sangat menguntungkan karena kami bisa beristirahat di perjalanan, begitu kira-kira yang ada dalam pikiran kami.

Tapi, ketika kami mulai terlelap kondektur membangunkan kami semua –dengan bahasa Laos tentunya-, kami kaget, sambil masih mengantuk dan bingung saya memperhatikan keadaan sekitar dan saya semakin bingung karena kami ada ditengah hutan!! Lebih kaget lagi ketika turun, di bawah “berbaris” sekitar 6 orang menggunakan penutup muka dan berpakaian lengan panjang, lalu kami dibawa ke sebuah gubuk dengan sebuah perapian di sisinya. Dalam kebingungan saya berpikir yang bukan-bukan, bayangan mengenai Perang Asia Tenggara muncul, jangan-jangan kami diculik kelompok separatis? Jangan-jangan kami akan dibunuh? Dan pikiran-pikiran aneh lainnya muncul di otak saya.

Setelah kesadaran kami mulai pulih, kami mulai memperhatikan keadaan sekitar dengan saksama dan ternyata di balik pepohonan terdapat jalan raya dan Sembilan penumpang selain kami dan turis Spanyol tadi terlihat ‘nyaman-nyaman’ saja, sedikit demi sedikit pikiran yang bukan-bukan itu terkikis, sepertinya saya terlalu berlebihan dalam berprasangka.

Dua orang turis Spanyol itu mendatangi kami, dengan berbahasa inggris mereka meminta kami untuk bertanya pada supir dan kondektur mengenai apa yang sedang terjadi, kenapa kita berhenti di tempat ini? Mereka meminta kita karena lagi-lagi –seperti yang terjadi sebelumnya- kita dianggap warga lokal. Tentu saja kami menolak, karena memang kami tidak bisa berbahasa Laos tetapi kami juga ingin tahu apa yang sebenarnya membuat kami terhenti di sini? Kami perhatikan tidak ada yang mereka kerjakan kecuali mengobrol, dengan menggunakan ‘bahasa isyarat’ kami coba bertanya lalu dijawab oleh mereka dengan bahasa Laos dan ‘bahasa isyarat’ lalu kami mengangguk-angguk dan tetap tidak mengerti.

Sekitar setengah jam kemudian akhirnya terjawab sudah pertanyaan kami, ternyata bus ini berhenti untuk mengangkut arang-arang yang akan dibawa menuju Hue + sapu ijuk dan jumlahnya membuat bus terisi penuh didalam + atap bus yang juga sangat penuh, jadilah malam itu kami 14 orang penumpang dengan arang dan sapu membelah malam menuju Vietnam.

Keesokan paginya kami tiba di perbatasan Laos-Vietnam (Lao Bao), sepertinya kami tiba terlalu pagi karena kami harus menunggu pintu perbatasan yang baru terbuka pukul 07.00 waktu setempat. Setelah pintu perbatasan dibuka kami melakukan pengecekan imigrasi untuk keluar dari Laos, pelayanan imigrasi di perbatasan ini mengingatkan saya ketika mengurus pajak motor di SamSat dulu sebelum ‘perbaikan’ : siapa duluan menyerobot antrian dan siapa yang calo nya paling hebat maka dia yang selesai terlebih dahulu. Keadaan ini tampaknya membuat kesal kawan kami dari Spanyol itu, dalam perjalanan menuju kantor imigrasi Vietnam untuk pengecekan imigrasi memasuki Vietnam dia bertanya : “your country is better, right??” dan kami jawab “of course” walau sebenarnya keyakinan kami masih setengah-setengah (bule-bule ini rencananya akan langsung ke Bali setelah dari Vietnam).

Sebelum masuk ke loket imigrasi, kami bertiga –ya, hanya kami bertiga- dihentikan oleh petugas dan dibawa menuju sebuah ruangan lalu di sana kami dicek oleh sebuah alat dan dipersilahkan kembali ke antrian, saat keluar ruangan kami membaca nama ruangan tersebut dan disana tertulis “ruangan kesehatan”, tampaknya keadaan kami yang kucel ditambah coreng moreng akibat arang di dalam bus membuat kami disangka “pembawa penyakit”. Keadaan di loket imigrasi Vietnam agak lebih baik daripada loket imigrasi Laos, setidaknya antrean di sini lebih teratur. Setelah pengecekan imigrasi selesai perjalanan menuju Kota Hue dilanjutkan, selamat tinggal Laos. (2011)

 

Udom Xai, the Heart of Northern Laos

oleh Rausyan Fikry Muhammad

10252114_731777663520558_4738265010627416401_n“There is so far, and the road is bad. And I tell you something, in Oudom Xay, nothing to see”, demikian penuturan supir taxi di terminal utara Vientiane saat kami berbincang dengannya.

Ya, sepintas kota di sebelah Utara Laos ini memang sangat terpencil dan tak banyak dikenal oleh wisatawan. Tak heran bila supir tasi itu terkejut mendengar tujuan kami. Namun dengan semangat let’s get lost, penuturan supir taxi itu justru membuat adrenalin terpacu. Menurut penuturan supir taksi yang membawa kami ke terminal utara, untuk sampai di Oudom Xay dari Viantiene, membutuhkan waktu sekitar 15 jam berkendara.

Suasana terminal utara Viantiene ini cenderung sepi dan gersang. Sore itu, hanya beberapa bus saja yang terparkir di terminal ini. Bebeberapa turis asing terlihat menunggu bus berangkat, perkiraan kami, mereka akan menuju Luang Prabang atau Vang Vieng, bukan ke Oudom Xay seperti kami. Untuk menuju Oudom Xay kami membeli tiket bus menuju Borkeo, dan berencana turun di Oudom Xay, salah satu kota yang dilewati trayek bus tersebut.

Sengaja kami membeli tiket keberangkatan malam dari Viantiene, agar di dalam bus kami dapat beristirahat. Jadi dengan bus yang berangkat pukul 18.00, perkiraan kami sampai di kota Oudom Xay adalah pukul 10.00, pagi. Konsekwensinya tidak banyak yang dapat kami lihat sepanjang perjalanan malam itu.

Pemandangan baru terlihat disisi-sisi jalan ketika kami bangun pukul 06.00 keesokan harinya. Pandangan pertama adalah bukit-bukitan yang berjajar memanjang ke utara. Di samping kanan bus langsung berbatasan dengan anak sungai Mekong yang lebar. Bus seakan menelusuri sisi sungai yang tanpa pembatas jalan, karena dihimpit tebing terjal di sebelah kiri jalan. Dengan lebar jalan yang sempit, perjalanan menuju Oudom Xay ini cukup berbahaya, karena bus yang kami tumpangi pun hampir tergelincir menuju sungai.

Satu jam kemudian, bus beristirahat di sebuah kota kecil Pak Mong. Sebuah kota yang dikelilingi bukit-bukit rimbun, tampak tak banyak dihuni oleh penduduk. Ketika kami turun dari bus, udara sejuk dan dingin yang menyentuh, mengingatkan pada kampung halaman di Bandung. Pak Mong merupakan kota transit bus-bus yang akan menuju Borkeo dari arah selatan atau Viantiene dari utara. Di kota ini, penumpang bisa membeli oleh-oleh. Namun sepagi ini belum banyak toko yang buka.

Selepas Pak Mong, jalan menuju Oudom Xay semakin menyempit dan semakin rusak. Menembus bukit-bukit terjal yang menanjak, bus akhirnya menemukan titik puncaknya. Bus yang kami tumpangi mogok berkali-kali dalam perjalanan. Menarik apa yang kami saksikan di dalam bus. para penumpang yang seluruhnya warga Laos, kecuali kami, malah tertawa dan bercanda di dalam bus. Tidak seorangpun yang mengeluh, sepertinya sbuah kebersamaan dalam penderitaan masyarakat Laos.

Semakin jauh perjalanan, semakin menarik pula hal-hal menarik yang dapat disaksikan. Di sisa perjalanan menuju Oudom Xay, terlihat banyak masyarakat Laos yang belum banyak tersentuh kemajuan. Perkampungan yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu, bilik dan beratapkan jerami masih banyak terlihat di sepanjang perjalanan.
Pukul 11.00 kami tiba di teminal bis tujuan. Oudom Xay atau juga disebut Muang Xay merupakan kota yang tidak terlalu besar dan dikelilingi oleh bukit-bukit. Tidak segemerlap kota-kota tujuan wisata lain di daerah utara, seperti Luang Prabang dan Van Vieng. Seperti tak banyak potensi kota Oudom Xay yang bisa menyilaukan banyak mata wisatawan asing. Namun kami tak patah semangat, pasti ada sesuatu disini!

Oudom Xay merupakan kota kecil, jadi untuk mengelilingi kota ini tidak membutuhkan waktu lama, hanya sekitar dua jam menggunakan Tuk-Tuk. Tidak banyak aktivitas masyarakat di kota ini, kebanyak hanya diam di rumah masing-masing atau berjualan di pasar dan menjaga toko. Masyarakat di kota ini pun sangat jarang sekali yang dapat menggunakan bahasa Inggris, sehingga agak menyulitkan wisatawan asing yang datang ke kota ini. Kebanyakan aktivitas yang dilakukan oleh warga adalah berniaga. Tidak banyak warga yang berjalan-jalan di kota, kebanyakan warga yang terlihat adalah warga yang memang berdagang atau bekerja di toko.

Melihat kondisi kota yang sangat panas, kami menyewa tuk-tuk untuk mengelilingi setiap sudut kota Oudom Xay. Dengan menyewa Tuk-Tuk seharga 200.000 K, kami mendapatkan waktu dua jam untuk mengelilingi kota antara lain mengunjungi temple dan Museum. Ketika mengunjungi temple, biksu yang tinggal di temple itu mengatakan bahwa temple ini baru dibangun sekitar 30 tahun yang lalu, dan dia mengatakan bahwa untuk temple-temple tua banyak terdapat di Luang Prabang. Sementara museum yang ingin dikunjungi ternyata tutup padahal menurut jam buka yang tertera di pintu museum, harusnya museum ini buka pada jam ketika kami berkunjung.

Ternyata kota kecil di Utara ini tetap memiliki pesonanya sendiri dalam ekowisata Laos. Wisata yang ditawarkan disini antara lain trekking di distrik Khamnu, melihat kehidupan desa Hmong, atau dengan sedikit keluar dari kota akan mendapati wisata yang kian menantang seperti gua Chom Ong, sember air panas Muang La atau lembah Nam Ko. Jadi kebanyakan bentuk wisata yang ditawarkan di kota Oudom Xay ini terletak di luar kota Oudom Xay, yakni sekitar daerah perbatasan dengan Luang Prabang di selatan dan kota Borkeo di utara. Namun seperti motonya the heart of northren Laos , dari kota ini wisatawan akan dapat menjangkau tempat-tempat yang menarik tersebut. Jadi dalam suatu perjalanan tak perlu kecil hati bila informasi awal seperti tak banyak menjanjikan. Itulah awal sebuah petualangan.