Sekali Dayung, Dua Tiga Puncak Terlampaui

Mengawali langkah menyusuri jalanan setapak hutan sekunder Barubeureum yang berada di kaki Gn. Manglayang, matahari mulai merangkak naik menaungi kami yang kali ini berniat menguak jalur menuju puncak bayangan Manglayang tetapi melintasi Curug Antani .

Secara counturing jalur ini melingkar ke kiri jika kita berjalan dari arah pintu Barubeureum. Memasuki jalur awal kita disuguhi jalan setapak bercabang, lurus datar dan mengarah ke kiri menanjak. Karena kita bermaksud melintasi Curug Antani, maka kita memilih jalur kanan yang menanjak.

Nafas mulai memburu diiringi peluh yang mulai bercucuran disela perjalanan yang terbungkus hutan semak dan sekunder. “Keula euy urang motoan heula” (bentar saya ambil gambar dulu) keluh Erfan sambil membidikan kameranya kearah view yang terbentang di bawah. Sebuah trik yang lazim dilakukan jika fisik sudah mulai tidak bisa diajak kompromi dan minta untuk rehat sejenak. Sementara saya pun bersiasat menyibukkan diri memasang stringline (marka/tanda jalur).

Usai melintasi jalur yang menuju curug Antani, kami mengambil jalur yang lurus agak datar yang membuat kami agak bisa menghela nafas usai disuguhi jalanan menanjak. Kira-kira 50 meter kemudian kami menemukan jalur yang agak membelok ke kiri. Saya mulai curiga,,,”koq jalurnya sepertinya semakin menjauhi target puncak bayangan?” Walaupun pada akhirnya jalur itu membelok ke kiri dan lurus menanjak.

Kecurigaan saya semakin kuat ketika semakin lama vegetasi yang dilalui adalah hutan primer yang seharusnya jika menuju puncak bayangan kita hanya melalui hutan sekunder. Tapi rasa penasaran sudah merasuki, kami pun terus meniti jalan yang semakin menanjak yang saya pikir karakter jalur ini adalah jalur menuju puncak utama.

Dan dugaan saya terjawab setelah mendaki selama kurang lebih satu jam setengah, nampaklah bukaan yang dinaungi pepohonan yang memang ternyata merupakan puncak utama Manglayang. Ternyata memang jalur yang kita telusuri dengan melintasi curug Antani jika ingin menuju puncak bayangan harus melalui dulu puncak utama, dugaan saya diperkuat oleh keterangan pemburu babi hutan yang kami temui di puncak utama saat mereka sedang rehat.

Usai menyeduh sepeminiuman kopi yang kami masak, perjalanan pun dilanjutkan untuk kembali turun…”Fan, kita lewat puncak bayangan turunnya ok, biar kamu dapat dua tropi sekaligus hahaha” ujarku pada Erfan yang memang jarang melakukan pendakian. “ Anggap saja ini sekali dayung dua tiga pulau terlapaui fan” sambungku yang dijawab Erfan dengan senyum pahit bersimbah peluh,,,

Gunung Geulis : Apalah Arti Sebuah Destinasi,,,

Tidak ada yang istimewa sebenarnya dengan gunung ini, selain dengan lingkungannya yang gersang, apalagi saat ini kaki gunung itu seperti layaknya padang pasir yang tandus dan panas tergerus buldozzer dari sebuah proyek pembangunan perumahan.

Gunung Geulis  yang mempunyai ketinggian 1281 mdpl memang merupakan wilayah gersang, panas terpapar matahari,,,Pagi itu tepat pukul 08.00, saya bersama beberapa rekan yang tergabung dalam komunitas Sadaya Geulis Hiker (SGH) yang terdiri dari ibu-ibu tangguh, mulai meniti langkah menapaki area proyek berdebu dan gersang menuju kaki gn. Geulis, wilayah Jatiroke, Jatinangor Sumedang.

Kesejukan pagi kurang terasa di wilayah itu, hanya suhu panas dan tebaran debu terhembus angin yang bebas bertiup tanpa terhalang pepohonan yang kami rasakan.

 

Setelah sedikit melakukan peregangan, kami pun bergerak hingga tiba pada sebuah tegalan bertanah merah dan berdebu yang merupakan

 

pusat dari proyek perumahan  yang sedang digarap. Di mana-mana terlihat bedeng pekerja bangunan dan beberapa truck pengangkut pasir hingga bulldozer. Suasana layaknya pegunungan tidak kami rasakan yang justru di tempat yang dinamakan ‘Gunung’. Yang terasa justru kita seperti berada di area perindustrian,,,sungguh ironis.

 

Setelah melewati area lapang proyek, kami mulai memasuki ladang penduduk yang mengering dan berujung pada hutan semak dan sekunder. Di sini kami mulai sedikit merasakan kesejukan dan keriangan di antara anggota rombongan pun mulai tercipta. Hal ini terlihat dari raut wajah anggota rombongan yang memperlihatkan kesumringahnnya disertai gurauan-gurauannya.

Pada sebuah persimpangan saya memutuskan untuk istirahat sejenak sambil menunggu beberapa anggota rombongan yang masih tercecer di belakang. “Batur mah minggu pagi teh jalan-jalan ka mall bari ngopi, ieu mah kekebulan jeung kukurusukkan kieu” celoteh salah satu anggota rombongan yang kemudian disambut tawa yang lain. Celetukan-celetukan penuh canda mulai terdengar.

 

Usai istirahat, kami mulai menapaki jalan menanjak yang dikelilingi hutan bamboo yang daunnya mengering hingga berwarna keemasan.

Track yang kita lalui merupakan jalur counturing, memutar mengarah menuju puncak.

 

“Beban hidup tuh dah berat, koq ditambah berat gini” kembali celotehan terdengar saat dirasa jalur semakin menanjak dan kembali tawa pun terdengar hingar. Celotehan penuh canda memang merupakan

alat penghibur yang efektif disaat fisik sudah mulai terkuras sehingga kita bisa me

 

nikmati perjalanan tanpa merasa bosan atau lelah, atau setidaknya lelah kita teralihkan.

Setelah beberapa menit saya berjalan, yang kebetulan posisi saya di depan rombongan,,,tidak terlihat seorang pun ibu-ibu anggota rombongan saat menoleh ke belakang,,,

 

beberapa menit saya tunggu, anggota rombongan tidak kunjung terlihat, hingga saya memutuskan untuk berbalik arah menyusul mereka.

 

Dan tampak di antara sekelompok rerimbunan pohon mereka sedang duduk santai sambil mengeluarkan cemilan,,,”Bentar kang, buka arisan dulu,,” ujar Rully salah satu anggota rombongan,,,’oaaalllaaah dasar ibu-ibu’ gumam saya sambil nyengir,,,

Seperti umumnya karakter medan pegunungan, menjelang puncak kita disuguhi track yang lebih menanjak dan sedikit lebih terjal dari sebelumnya,,,’Ayo kamu bisa!! Kamu bisa!! ‘ teriak Cila menyemangati diri sendiri sambil mendokumentasikan lewat video ponselnya .

Sekitar pukul 10.00 WIB, akhirnya kami menjejakkan kaki di puncak Gn. Geulis. Setelah bersibuk ria berselfi di sana-sini khas ibu-ibu, kami pun membuka perbekalan,,,inilah kelebihan mendampingi ibu-ibu,,,logistic terjamin, perut pun tenang,,,dan kami pun menyantap perbekalan diselingi gurauan-gurauan penuh gelak tawa.

Bagi seorang hiker seringkali destinasi bukanlah hal utama yang membuat sebuah perjalanan bisa dinikmati, tapi yang lebih penting adalah kawan seperjalan yang bisa membuat nyaman adalah factor penting. Mungkin padang Sahara yang maha gersang sekali pun akan bisa dinikmati apabila teman seperjalanan kita comfortable, gurauan-gurauan penuh satire terbungkus gelak tawa akan menjadi obat pengalih rasa bosan dan lelah.

 

Matahari semakin terik saat kami tiba kembali di kaki gunung, di tegalan pusat proyek perumahan yang panas dan berdebu. Kami langsung disambut kejutan yang menggelikan, karena jalan penghubung antara desa terakhir dengan tegalan di kaki gunung yang tadi pagi kami lalui sudah hilang digerus bull dozer. Kami pun melipir jalan agak memutar menuju desa terakhir,,,hmm serasa cerita dongeng Alice in wonderland versi padang tandus,,,,

 

 

CIREGOH SALAH SATU DARI SURGA CURUG

Matahari sudah mulai terik merangkak ke atas ubun-ubun saat kami mulai menapaki jalan setapak di area persawahan desa Cibeusi,,,

Kali ini kami berempat, team District One berniat untuk mencari keberadaan curug Ciregoh, yang merupakan salah satu curug yang berada di kawasan hutan Gn, Lingkung. Kawasan ini memang merupakan surga curug bagi para pemburu air terjun, karena selain curug Cibareubeuy & Pandawa yang sudah ramai oleh para wisatawan ternyata masih terdapat beberapa curug yang layak untuk disinggahi yang masih belum banyak terjamah oleh wisatawan.

Sebenarnya niat untuk mengeksplore curug di kawasan ini sudah ada dari sejak lama, namun karena beberapa kendala, niat ini baru terlaksana dua minggu usai lebaran tahun ini.

Kepenasaranan kami untuk mengeksplore curug di kawasan antara Gn. Lingkung, Gn. Keramat & Puncak Eurad ini muncul dari obrolan bersama penduduk lokal desa Cibeusi, bahwa di area tersebut terdapat kurang lebih 13 curug atau air terjun. Beberapa sudah kami sambangi seperti curug Cipangulaan, Cisarua dan Cibihak.

Sengatan matahari siang itu membuat kondisi fisik kami yang memang sudah beberapa bulan libur dari kegiatan survey, mengeksplore area baru sedikit kedodoran. Lepas dari area persawahan, kami mulai memasuki wilayah hutan, keteduhan rerimbunan pohon agak menolong kami yang mulai ngos-ngosan.

Jalur menuju curug Ciregoh ini tidak ada petunjuk yang pasti dikarenakan curug ini belum lah ditata untuk para wisatawan, kami saat itu hanya mengandalkan petunjuk dari obrolan dengan penduduk Cibeusi,,,

Perlu diketahui curug yang akan kami tuju ini terdiri dari dua curug, yaitu Ciregoh 1 dan Ciregoh 2. “pokokna mah kang, ngke di tengah leuweung aya saung penyadap aren anu mang Doyok,,,pendakan we, ngke pasti ditunjukkeun jalanna, soalna jalurna rapet kang, bilih sasab..” kurang lebih begitulah saran dari kang Wawan pemilik toko di desa Cibeusi yang menyarankan kami untuk menemui kang Doyok, seorang penyadap aren yang ada di tengah hutan untuk menunjukkan jalan menuju curug Ciregoh 2 yang jalannya rapat tertutup ilalang,,,

Benar saja, kami sempat melambung menapaki punggungan yang salah, sebelumnya akhirnya kami bertemu Kang Solihin, seorang petani kopi bersama dua anjing peliharaannya, robert & kancil yang menyarankan kami kami untuk terus mengikuti jalur, yang akan berujung di curug Ciregoh 1.

Sepeminuman kopi dari tempat kami bertemu Kang Solihin, kami pun tiba di curug Ciregoh 1, sebuah air terjun yang cukup apik dan belum banyak terjamah wisatawan. Seperti biasa kami pun melakukan ritual membasahi diri dengan air terjun yang sejuk agar awet ganteng,,,

Waktu menunjukkkan pukul 14.00, kepenasaranan kami masih berlanjut untuk sekalian menemukan curug Ciregoh 2 yang konon agak tersembunyi,,,perjalanan pun kami lanjutkan dengan menapaki jalur yang lebih menanjak dari sebelumnya, sepanjang perjalanan kami bisa mendengar detak jantung masing-masing karena memang jalur ini cukup menguras fisik yang sudah lama tidak terlatih.

Hingga akhirnya jalur menanjak ini terhadang oleh saung penyadap aren yang saya duga ini adalah saung Mang Doyo si penyadap aren. Dan tidak lama Mang Doyok pun menampakkan diri, usai berbasa basi sebentar, kami pun diantar menuju curug Ciregoh 2, jalurnya memang rapat dan tersembunyi, sehingga Mang Doyok pun harus menebas jalur menggunakan goloknya,,,

Akhirnya setelah menguak rerimbunan ilalang, tampak sebuah air terjun dengan kolam alaminya yang cukup keren,,,Curuk Ciregoh 2,,,yang konon apabila musim hujan kita bisa berjalan dibalik curahan air terjunnya,,,

Cukup sudah eksplore hari itu, namun masih ada beberapa curug yang mengundang kepenasaranan kami untuk disurvey nanti,,,salah satunya adalah Curug Cisanggarung, yang menurut cerita penduduk lokal, dari curug ini kadang kita dapat mendengar suara auman harimau atau macan kumbang,,,woow !!

 

 

Berburu View Juara dari Puncak Papanggungan

Tak jauh dari wisata alam Batu Kuda terdapat sebuah puncakan bukit dengan view lepas yang indah ke arah Bandung Timur. Lokasi ini telah semakin populer bagi mereka yang ingin menghindari area camping Batu Kuda yang kadang terasa hiruk pikuk. Menuju kesini tak terlalu sulit, tinggal ambil jalan ke kanan yang menyeberangi selokan lalu ikuti saja jalur setapak utama.

Para pencari sepi akan mendapatkan suasana lebih syahdu di Bukit Papanggungan yang terletak sebelah Timur laut dari area camping. Berada disini kala sedang tak ada orang lain akan terasa sebuah sensasi jiwa yang pulang ke haribaan alam…going to the mountains is going home, seperti kata John Muir.

Bila kurang puas hanya dengan hiking sampai Papanggungan, treknya bisa diteruskan semakin ke Timur menuju Barubeureum atau Kiarapayung. Dari area lapang tempat camping, bila menuju Barubeureum ambil jalan sebelah kiri yang melipir sisi gunung Manglayang, sementara menuju Kiarapayung ambil jalan yang semakin menurun disebelah kanan. Jalur menuju Kiarapayung lebih mudah dilewati, namun perhatikan dengan seksama arah yang menuju Barubeureum karena akan masuk ke hutan.

Terdapat sebaran area cukup lapang untuk menampung tenda-tenda bagi mereka yang ingin camping di bukit. Bila malam tiba, view kota yang bermandikan cahaya disini mungkin salah satu yang terindah di Bandung. Jadi mengapa tak coba hiking ringan kesini disaat Batu Kuda terasa semakin sesak oleh pengunjung? @districtonebdg

 

Balada Survey, dari Lone Wolf Hingga Lion Pride

If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together

Ada kalanya perjalanan meretas jalur petualangan baru terdiri dari para penggiat yang sudah tak diragukan lagi asam garamnya seperti kala pertama ke gunung Fansipan tahun 2011. Bersama lion pride  ini, tak ada keraguan sama sekali bahwa puncak Indochina yang kala itu masih misterius akan dapat segera dicapai. Namun dilain waktu menuju tempat yang infonya remang-remang seperti pegunungan di Yunnan, dengan sedikit cemas hanya sendirian saja berlenggang kangkung.

Begitu pula kala survey curug Siliwangi di kaki gunung Puntang, tim berkekuatan penuh dengan santai menyebrang sungai menerobos hutan namun disaat lain sebagai lone wolf  saja celingukan diantara labirin pinus Jayagiri – lalu nyasar 😀 . Artinya, survey adalah sebuah aktifitas dalam kategori show must go on.  Hanya sendirian pun tak menjadi batal, walau biasanya tim yang efektif adalah 2-3 orang. Dituntut sedikit militansi terutama pada cuaca buruk, nyasar dan perubahan rencana yang tiba-tiba. Kalau anggaran yang mepet sih memang sudah biasa hehe.

Akan beda halnya dengan program reguler seperti hiking ceria, hiking for therapy atau backpackeran biasa dimana kenyamanan berkegiatan lebih diutamakan mengingat terbuka untuk peserta baru yang belum terbiasa ngapruk . Bila cuaca buruk atau jadwal yang bentrok maka dengan mudah bisa direskedul… gitu aja kok repot…  😀 Bahkan kadang lebih penting untuk COD barang jualan bila ada agan-agan yang mau beli barang 🙂 Namun jangan lupa bahwa program reguler pun destinasinya bukan tempat wisata mainstream, jadi beberapa kenyamanan khas tempat wisata bisa jadi sulit ditemui.

Bahkan dalam program reguler pun, bila tak ada peserta lain maka sendirian pun tetap berangkat untuk membiasakan diri menjadi pejalan mandiri. Hal itu penting bila kelak harus terjun seorang diri di tempat asing antah berantah nantinya (suatu hal yang sering terjadi). Jangan terlalu berharap dibekali info selengkap-lengkapnya bila sendirian tour of duty ke negara asing, bila banyak bertanya paling dijawab.. “nya kumaha lah we carana” 😀 😀

Seperti diketahui, aktifitas kegiatan DistrictOne atau kini DO Adventure lebih berfokus pada backpacker di Indochina dan hiking sekitar Bandung dengan segmentasi budget. Tentu akan adapula petualangan yang sedikit menyimpang dari kategori itu dengan berbagai alasan, misalnya promo tiket murah yang sulit untuk diabakan hehe.. atau bahkan sebuah survey yang harus terlaksana at all cost. Namun tentu saja hal itu cukup jarang terjadi.

Rasakan dalam diri Anda apakah ada adrenalin yang berdenyut atau mendambakan ketenangan suasana alam saja, lalu pilihlah dengan bijak sesuai dengan kenyamanan program-program back to nature dan budget traveling yang tersedia. Jangan salah pilih…. 🙂 Pada beberapa kesempatan, selalu ada peserta yang salah kamar sehingga ciut kala hujan badai di hutan namun pada kesempatan lain merasa penasaran “kok cuma gini?”. Tapi hati-hati, jangan cepat menyimpulkan sebelum kegiatan benar-benar selesai.. bisa-bisa alam mebalikkan keadaan pada injury time.

Walking together is safe.. but sometimes when walk in the thin ice fast is safe

@districtonebdg

Mengagumi Lukisan Alam Sukawana

Pemandangan indah perkebunan teh Sukawana sudah termahsyur sebagai view yang instagramable sehingga dijaman medsos ini orang berduyun-duyun menyambangi perkebunan teh yang paling dekat dari kota Bandung ini. Jauh hari sebelumnya penggemar offroad dan mototrail telah menjadikan jalur Sukawana-Gunung Putri sebagai menu wajib memanaskan kendaraannya. Sukawana pun semakin populer bagi goweser dengan tampak makin seringnya mobik bak yang loading sepeda kesini. Namun para penggemar setia keajaiban pemandangan alam disini tetaplah para pejalan. Merekalah yang paling mendapat hikmah dari perjalanannya, seperti kata Thoreau… the swiftest travel is he who goes on foot.

View terindah perkebunan Sukawana menurut kami justru tak akan didapat oleh mereka yang menggunakan kendaraan. Orang harus berjalan kaki untuk mendapatkan view yang terlihat dari arah pebukitan curug Layung. Menuju kesini hanya sepeda yang bisa, itu pun akan tampak maksakeun.

Mendapatkan view menakjubkan ini tak sesulit yang dibayangkan, yaitu tinggal datang dari arah wisata alam curug Layung -bukan dari Sukawana. Setelah berjalan menanjak sekitar sepuluh menit, sampailah di puncak bukit pinus dengan view lepas ke arah perkebunan teh Sukawana. Kini telah disediakan panggung-panggung dan tempat duduk dari kayu untuk menikmati view. Tentu saja, bila datang dari arah Sukawana pun tetap bisa mencapai spot ini setelah berjalan kurang lebih sejam lamanya dari warung terakhir. Hayo.. pilih mana? 😀

Puncak bukit ini selalu terlewati dalam event trail running maupun hiking di curug Layung yang diselenggarakan oleh DistrictOne atau kini DO ADVENTURE 😉 ..hehe rebranding boleh kan.. Walau sering terlewati namun kami selalu terpana kala bertemu kembali dengan view ini.

Anda boleh percaya atau tidak, namun dari spot yang sama ini dari waktu ke waktu akan selalu terasa suasana yang berbeda dan suasana paling syahdu menurut kami adalah kala serinai gerimis turun dan kabut berkejaran dimainkan  angin dingin. Sejuk tak hanya terasa disekujur badan, namun menyapa kedalam hati. @districtonebdg

Photo courtesy of Freyja Malika Rafaldini

Mengintip Raptor di Lembah Elang

Pekikan elang sudah dapat terdengar sejak lembah sungai Cikapundung di area Tahura Djuanda namun karena ramai turis berlalu lalang, keberadaannya tak kentara. Seperti enggan menampakkan diri pada manusia. Namun bila kita melanjutkan perjalanan melewati Tebing Keraton, jejak burung pemangsa itu akan semakin jelas.

 

Raptor atau burung pemangsa adalah burung yang mencari makan dengan cara berburu, yakni dengan terbang, menggunakan indra tajam mereka, terutama penglihatan. Mereka terdefinisikan sebagai burung yang utamanya berburu hewan bertulang belakang, termasuk juga burung lain. Cakar dan paruh mereka cenderung relatif besar, kuat dan beradaptasi untuk merobek daging. (Wikipedia)

Tak jauh setelah melewati Tebing Keraton akan ditemui menara pengamatan burung, salah satunya untuk mengamati migrasi raptor. Keberadaan menara besi yang kokoh itu menjadikan lebih mudah untuk mengawasi jejak mereka di angkasa. Namun beberapa orang berpendapat bahwa keberadaan menara besi justru menakuti elang yang bermigrasi itu.

Melanjutkan hiking lebih kedalam hutan dari menara, akan sampai dipertigaan ; ke kiri ke Kampung Areng, Cibodas ke kanan ke Bukit Moko. Untuk mengikuti aliran sungai Cikapundung, ambil arah kiri menuju kampung Areng.  Kita akan melewati jalur setapak yang menurun menuju lembah. Jalur ini sering dipakai dalam event trail running tahunan.

Area lembah ini bagi saya merupakan secret garden di kawasan tebing Keraton. Sebuah lokasi  best kept secret yang nyaman untuk menyepi, jauh dari lalu-lalang orang. Satu-satunya yang berlalu-lalang disini adalah para elang, nun jauh di angkasa.

Sebuah batu besar di lembah merupakan tempat favorit saya untuk berhenti membuka bekal. Sekedar mengganti  kalori yang terkuras dengan snack dan air minum, sambil mulai memandangi angkasa. Menajamkan pendengaran untuk mendengarkan pekikan elang.

Biasanya tak berapa lama akan terdengar pekikan yang anggun itu. Saya menunggu beberapa saat lagi untuk melihat keberadaannya diangkasa. Disini akan lebih mudah mengintip elang yang terbang tinggi daripada di Tahura karena kawasan hutannya sepi. Saat melihat sosoknya  melayang anggun jauh diatas pepohonan, terasa koneksi yang aneh dengan burung itu, dengan hutan dan alam sekitarnya.

Ada semacam pengalaman spritual hanya dengan mengikuti dengan pandangan mata kemana arah terbang sang elang. Setelah mendapatkan pengalaman itu maka misi hiking pun selesai. Bagi saya sesederhana itulah klimaks hiking disini, melihat elang terbang bebas di habitatnya. @districtonebdg

Menghirup Aroma Kebebasan di Bukit Palalangon

Bila kita naik menuju Palintang dari alun-alun Ujungberung, maka akan melewati daerah Palalangon. Entah mana batas-batas wilayahnya, namun yang paling gampang adalah sebuah warung tempat transit para goweser yang disebut Warlos. Kawasan ini ibarat Warung Bandrek nya jalur Palintang bagi goweser. Dulu warung ini sangat sederhana, kini sudah menjadi rumah makan Warlos yang mana mobil Pajero Sport pun kerap tampak parkir sekedar untuk kuliner.

Saya masih ingat tahun 1994 Jimny putih bermuatan logistik yang kami naiki mati-matian ngesot di jalan koral yang licin  disini demi mencapai Palintang. Untung tak tergelincir ke jurang dibawah. Kini jalan sudah beton, mobil-mobil tampak berlenggang kangkung menuju ke arah Lembang.

Walau lebih dikenal oleh goweser, sebuah jalur hiking tersembunyi di perbukitan disini. Sebuah jalur setapak diseberang warung yang mengarah ke atas menawarkan sebuah hiking ringan dengan view landscape cukup indah. Jalur ini sejatinya merupakan trek downhill sepeda MTB yang masih aktif. Beberapa kecelakaan downhill membuat jalur ini tak seramai awalnya, namun tetap akan dijumpai yang menjajalnya pada hari libur.

Bila mendaki bukit Palalangon ini, gunung Palasari tampak berada di kiri dan Manglayang di kanan. Seolah keduanya menuntun jalan kita ke puncak. Sesekali burung elang melintas ke arah Palasari atau sekedar mendengar pekikannya sja.  Angin berhembus dari pegunungan, sehingga walau pada cuaca panas pun akan terasa sebuah kesejukan.

Bukit ini cukup terbuka, penghjauan baru dimulai beberapa tahun lalu  disini. Pohon-pohon pinus masih muda, dengan sebuah kebun pembibitannya terletak di sebuah pos pada ujung jalur setapak. Tempat finish jalur ini adalah perbatasan jalan aspal dan koral. Hiking ringan ini hanya akan memakan waktu sekitar setengah jam.

Dibandingkan menaiki gunung Palasari atau Manglayang yang terletak di punggungan seberang, bukit Palalangon ini memang tak seberapa. Namun diperbukitan yang bersahaja ini kita tetap dengan leluasa menghirup sebuah aroma yang didamba-dambakan mereka yang terkurung di gedung perkantoran, yaitu aroma kebebasan. Freedom of the hills.

@districtonebdg

Uniknya Favela Babakan Siliwangi di Cikapundung Trail

Favela adalah bahasa Portugis untuk daerah kumuh dan berkonotasi pada perumahan kumuh yang menempel di pebukitan kota-kota besar di Brasil terutama di Rio de Janeiro.  Warga yang hidup di kawasan favela berpenghasilan rendah sehingga hanya bisa menempati rumah-rumah yang sempit berdesakan. Meskipun demikian konturnya yang di pebukitan menjadikan favela sangat unik. Ekspose media juga telah menjadikang favela mendapat tempat yang khusus dalam aspek wisata kota di Ro de Janeiro. Turisme telah mempengaruhi kehidupan favela atau justru sebaliknya? Yang jelas semakin banyak kreatifitas seni dan budaya yang tumbuh dari kawasan kumuh ini, dan pada gilirannya memperkuat daya tarik favela sebagai lokasi tujuan wisata kota.

Kriminalitas berkembang dalam budaya favela yang kumuh, namun tata kota pemerintah Rio de Janeiro sudah tak bisa memungkiri keberadaannya. Daripada gusur menggusur yang akan membawa banyak masalah, pemerintah kota lebih memilih membangun berbagai fasilitas antara lain kereta gantung untuk memberi kehidupan lebih baik bagi warga favela. Kriminalitas yang berkembang tetap diperangi dengan program yang disebut pasifikasi.

Di beberapa kota di Indonesia seperti Malang dan Yogyakarta juga telah berkembang kreatifitas untuk mengubah kawasan kumuh menjadi destinasi wisata seperti di Kampung Pelangi, Yogyakarta dan Kampung Warna-warni, Malang. Pada dasarnya setiap kota pasti memiliki kawasan kumuh, namun kemudian tergantung kreatifitas warga dan pemerintah untuk membalikkan kekumuhan itu menjadi daya tarik wisata.

Kawasan Babakan Siliwangi  terletak di bantaran sungai Cikapundung, merupakan daerah yang padat penduduk sehingga rumah-rumah seperti bertumpuk. Kawasan ini terlewati dalam Cikapundung trail, sehingga entah sudah berapa kali kami lewat sini. Kala pertama melewatinya, yang teringat adalah favela-favela di Rio de Janeiro, Brasil yang malah menjadi ikon kota itu. Lalu ketika kota-kota seperti Yogyakarta dan Malang telah mulai merevitalisasi kampung-kampung kumuhnya menjadi lokasi wisata tanpa menggusur, menjadi tantangan warga kota Bandung untuk berbuat serupa. @districtonebdg

 

foto – Lia Budiman

Bernostalgia dengan Sepi di Curug Cibihak

Baru berjalan sekitar 20 menit di pesawahan yang hijau, hujan turun deras memaksa rombongan mencari tempat berteduh. Beruntung di sepanjang jalur setapak banyak tempat untuk berteduh baik itu warung atau gubuk pekebun. Sedari awal awan kelabu memang seperti hamil tua, hanya tinggal waktu saja mengguyur pesawahan. Namun waktu sudah hampir tengah hari, tak ada yang ingin pulang kesorean nantinya.

Benar saja, hujan turun deras ditengah jalan membuat semua berjejalan di gubuk terdekat. Tak lama kemudian seorang pekebun tanpa sungkan ikut bernaung. Saung saung nu uing, mungkin begitu pikirnya 😀 . Nah, kebetulan ada narasumber kamipun ngobrol ngaler ngidul, antara lain tentang nenek yang hilang di hutan seminggu lalu. Lalu beliau menyarankan melongok ke curug Cibihak yang letaknya lebih dekat daripada curug Cibareubeuy.

Nembe dibuka boboran kalangkung,”  katanya. Wah, kenapa tidak? Tempat baru selalu mengasyikkan.

Setelah hujan agak reda, niat awal ke curug Cibareubeuy direvisi. Arah perjalanan berubah menuju curug Cibihak yang berada dibalik bukit gubuk kami berteduh. Sedikit menanjak lalu datar melipir bukit, tak sampai 15 menit sudah tiba di area curug. Tak ada sesiapa hanya kami berlima dan semilir angin dingin.

Mungkin juga karena kami datang hari biasa, namun tampaknya memang disini tak seramai area curug lain. Hanya ada saung pembuat gula aren yang tampaknya permanen disini, sementara warung hanya dadakan bila banyak pengunjung. Aliran sungai yang deras dan jernih, dengan sebuah kolam diarea jatuhan air curug seperti diperuntukan  bagi kami saja. Kemewahan yang telah lama tak dijumpai.

Harus diakui ada aura nostalgia dicurug yang sepi ini. Kala pertama mengunjungi curug Cibareubeuy dulu masihlah sepi hampir tak ada warung, dan curug Pandawa masih tertutup hutan. Kini area curug Cibareubeuy tak ubahnya sebuah destinasi wisata walau masih bersuasana alami, berkat jaraknya jauh dari jalan raya. Curug Pandawa pun ramai oleh pengunjung yang mau berpose di menara selfie. Kemajuan wisata disini tak tertahankan, arus pengunjung mengalir deras. Beberapa orang adakalanya merindukan suasana sepi dulu -yang tak mungkin kembali. Tetapi di curug Cibihak suasana itu masih terasa, walau mungkin tak berapa lama lagi. @districtonebdg

 

foto – Nuruliati