Backpacker, Sebuah Tinjauan Sejarah

By : Dodi Rokhdian

Backpacker bukan menghabiskan uang di perjalanan, tapi kehabisan uang diperjalanan -Anonym

Backpacker dalam kamus Inggris dijelaskan sebagai “a hiker who wears a backpack” (seorang pejalan kaki yang mengenakan tas punggung). Diartikan secara harfiah maknanya menjadi penuh problematis. Apakah keponakan saya yang setiap hari ke berjalan sekolah, dengan ransel di punggunya, bisa disebut backpacker? Apakah pedagang kaki lima di alun-alun Bandung, yang juga membawa barang dagangan dengan ransel di punggung (kemudian menggelarnya di trotoar) juga backpacker? Apakah Si Mbok jamu gendong, yang berkebaya dan membawa jamu di punggung, yang dililit kain, juga seorang backpacker?

Ah saya bingung jadinya, karena jika merujuk pada arti kamus, maka semua pertanyaan diatas bisa sah sebagai backpacker, apapun alasan dan niatan dibalik bawaannya di punggung. Kalau begitu para kindew (pengumpul barang bekas/tukang beling) yang membawa temuannya dengan karung/tolombong di punggungnya pun bisa disebut backpacker.Kriteria sah atau tidak sah (legal atau ilegal) tentang siapa sebenarnya sosok backpacker sejati tak akan ada di tulisan ini, hal itu karena saya bukan Menhumkam yang punya kuasa menentukan keabsahan kriteria backpacker (anggap saja backpaker itu parpol).

Rucksack or Rucken
Ciri utama seorang backpacker tentu terkait jenis tas yang disandangnya, khususnya ketika bepergian: yakni tas punggung (yang selanjutnya saya bilang ransel). Ransel dalam sejarahnya bisa dirujuk ke masa sebelum Perang Dunia ke-1, tepatnya pada tahun 1910-an, ketika di benua Eropa (khususnya di Jerman) berkembang suatu jenis ransel yang disebut ‘rucksack’ yang berasal dari bahasa Jerman yakni ‘Rucken” yang artinya ‘punggung’. Rucken pada awalnya digunakan orang Jerman untuk mengangkat batu atau beban berat, yang digunakan dengan paduan lilitan tali pada pada tubuh, agar nempel dibagian anatomi tubuh terkuat, yakni di punggung.

Sementara Rucken dalam pengertian sebagai produk massal, pertamakali diproduksi pihak militer, sebagai bagian perlengkapan wajib, karena pertimbangan bisa membawa banyak perlengkapan dan efektif mendukung pergerakan. Seiring perkembangan teknologi kini ransel ruckeni semakin canggih dan nyaman, dan meluas digunakan berbagai kalangan. Istilah ‘bodypack’ yang kita kenal dewasa ini sesungguhnya bentuk evolusi teknologi struktur tali ‘rucken’ yang membuat ransel nyaman menempel pada tubuh kita saat dibawa berjalan, berlari, menunduk, atau melompat.

Ketika kita menyandang ransel (untuk maksud apapun) maka kita sebenarnya sedang terkontak dengan perkembangan sejarah manusia sebagai ‘homo faber’- si mamalia berpikir penemu dan pengguna alat untuk menyamankan diri dan bertahan hidup. Sehingga jangan heran, bila ras manusia bisa hidup dimanapun di berbagai lanskap dan ekosistem bumi (tidak seperti binatang yang hanya cocok di suatu belahan tertentu). Hal tersebut disebabkan manusia adalah mamalia tersukses saat bermigrasi, yang didukung kemampuannya ‘membawa peralatan hidup’ dibagian tubuh terkuat dipunggungnya. Kelebihannya lagi, jika manusia tidak memakai punggungnya sendiri, ia sanggup memanfaatkan ‘punggung’ makhluk lain dengan domestikasi atau penjinakan: kuda, keledai, onta, bahkan gajah yang besar segede gaban pun sanggup dipinjam dan dijinakan ‘punggungnya’.

Backpacker Sebagai Wacana Tanding
Siapa dan sejak kapan backpacker sebagai alternatif model wisata mulai dikenal di muka bumi manusia ini? Tidak ada kepastian dalam sejarahnya, namun beberapa sumber tertulis, dan bisikan wangsit, menyebut tentang seorang tokoh dan sebuah rute legendaris bernama ‘Hippe Trail sebagai pemicunya.

Adalah Giovanni Francesco Gemelli Careri (1651-1725) seorang pedagang sekaligus petualang Italia, yang dianggap sebagai orang pertama yang melakukan tur keliling dunia dengan delapan puluh hari pelayaran. Beliau dianggap lebih mengutamakan kesenangan ketimbang mencari keuntungan dagang saat melakukannya. Beberapa pihak mencurigai perjalanannya sebagai bagian aktivitas mata-matanya bagi Vatikan, namun rasa curiga tersebut tak menghalangi orang untuk terinspirasi. Sementara aktivitas backpacker sebagai alternatif model gaya baru turisme berhutang pada sejarah gaya berwisata subculture kaum‘Hippie’ Amerika dan Eropa pada tahun 1950 hingga 1970-an.

Model wisata kaum Hippie ini meninggalkan jejak ‘Hippie Trail” – rute wisata legendaries, yang dilakukan dengan low budget menempuh perjalanan panjang dari kota di Eropa atau Amerika dan hingga berakhir di kota/negara di belahan selatan/tenggara Asia. Hippie Trail sekan napak tilas menyusuri ‘jalur sutra’ yang secara wacana menawarkan model wisata alternatif, irit biaya, penuh kejutan dan resiko, namun menyenangkan bagi yang memilihnya, dan bisa dilakukan siapapun tanpa harus menjadi kaya terlebih dahulu. Sayangnya hippie trail kemudian tidak bisa dijalani secara utuh, terhenti sebab politik dan peperangan di salah bagian satu rute tersebut, yakni di bagian negara Afganistan pada tahun 1980-1990 ketika berkecamuk perang Uni Sovyet dan Mujahiddin. @Dodi_Rokhdian

Kena Prank Bis Bandara Brunei

Beberapa kali transit di bandara Brunei, terpikir juga ingin mengenal kotanya. Bandara kecil yang cantik dan sepi lebih menarik daripada bandara besar yang riuh. Karena hanya transit beberapa jam, jadi biasanya cuma ormed sekitar ruang tunggunya saja. Hmm boleh juga nih daripada tarpak terus di KLIA atau Changi.

Maskapai Royal Brunei juga kadang ada promo mematok harga yang bersaing dengan maskapai flagship lainnya.  Maka setelah mencari informasi, dicobalah dibulan Juni 2024 untuk masuk ke negara Brunei. Niatnya memang bukan khusus berkunjung ke Brunei melainkan hanya survey apakah feasible untuk dijadikan transit.

Dari informasi yang didapat ada shuttle bis dari bandara ke kota dengan tarif 1 BND alias 10,000 IDR. Kalo segini sih, saya tampung hehe.. walau tak semurah di Don Mueang atau Tan Son Nhat.  Dari Cengkareng saja kan mesti merogoh 80,000 untuk bis DAMRI keluar bandara.

Keluar bandara sekitar jam 5 sore, shuttle bis yang ditunggu tak juga nongol. 15 menit, 30 menit, satu jam cuma cengo di area tunggu. Wah, harus plan B.

Saat ada ibu menawarkan tumpangan ke bandar (kota), diterima saja. Tarifnya sama dengan taxi yaitu 20 BND. Toh tak ada pilihan lain.

Namun beliau berbaik hati mampir dulu di tempat-tempat ikonik  kota Bandar Seri Begawan dan menjelaskan sekilas kotanya. Jadi hitung-hitung city tour. Saat hendak turun di hostel pun memberi diskon jadi cuma bayar 15 BND.

Esoknya dari hostel ke bandara juga pakai taxi karena flight pagi sementara bis tampak kurang menjanjikan. Dengan biaya taxi yang kurang ramah backpacker, bila dihitung-hitung tetap lebih murah tiduran saja disekitar gate G bandara KLIA1 menunggu Malaysia Airlines yang flight ke Cengkareng besoknya. Ga jadi deh menjadikan Bandar Seri Begawan sebagai kota transit.

 

Ganja Tumbuh Bebas di Nepal

Pada tahun 60-70 an era flower generation, Kathmandu termasuk dalam kota-kota yang dilewati oleh Hippies Trail. Jalur backpackeran darat ini terbentang dari Istanbul hingga Bangkok melewati berbagai tempat dimana ganja bebas dikonsumsi.

Pada tahun 60-70 an era flower generation, Kathmandu termasuk dalam kota-kota yang dilewati oleh Hippies Trail. Jalur backpackeran darat ini terbentang dari Istanbul hingga Bangkok melewati berbagai tempat dimana ganja bebas dikonsumsi.

Tahun 70an kota Kathmandu merupakan magnet bagi para Hippies backpacker yang ingin bebas. Mereka berkumpul dikawasan Freak Street dekat Durbar Square menghisap mariyuana dengan bebas. Ada lagu Kathmandu dari Cat Stevens yang menggambarkan suasana kala itu.

Saat pertama ke Kathmandu tahun 2018, sisa-sisa masa Hippies itu masih dapat dilihat secara nyata. Jangan heran bila tanaman ganja tumbuh dihalaman hotel di daerah Thamel. Mariyuana bisa didapat dengan mudah di daerah ini, hanya lihat-lihat saja sekeliling sebelum membelinya.

Diluar kota Kathmandu, ganja semakin sering terlihat bahkan diperlakukan seperti semak saja. Walau termasuk tanaman terlarang, warga desa tak buru-buru membabat tanaman ini karena selalu berkembang biak lagi seperti semak pada umumnya. Aparat pun maklum kondisi ini.

Saat trip bulan September 2023 menginap di sebuah hotel di kota Nagarkot, semak ganja sudah menyambut kala masuk halaman.. wah ini menjanjikan keliatannya. Benar saja, ternyata dari kamar hotel semak rimbun tanaman surga juga menyambut kala membuka jendela kamar. Kebanyakan masih tanaman muda, namun yang berbunga dan siap panen pun tak susah dicari.

Yang menarik, karena saya selalu membawa rokok kretek untuk sosped, mereka sangat apresiasi pada rokok kretek Indonesia. Dalam “cultural exchange” ini mereka memberikan lintingan ganja sebagai ganti rokok Gudang Garam merah. Waah menang banyak 😁

Maskapai Vietnam Mulai Nimbrung di Jagat Asia Tenggara

Berbekal pengalaman bertempur di kandang sendiri dengan Jetstar dan AirAsia, maka setelah Covid-19 reda maskapai Vietjet dari Vietnam makin pede unjuk gigi di jagat Asia Tenggara. Bukan berbekal pramugari berbikini seperti kala mencuri pasar Thailand, tapi tiket promo dan flight direct yang jadi andalan Vietjet menggoyang pasar Indonesia. Jauh hari sebelum ekspansi ke Indonesia, Vietjet  juga sudah meramaikan penerbangan ke kota-kota utama seperti Bangkok dan KL.

Sedikit mengenai Vietjet, maskapai ini adalah maskapai penerbangan milik swasta pertama yang didirikan di Vietnam dengan menyasar segmen budget. Jelas berbeda dari Vietnam Airlines yang merupakan maskapai full service milik negara, seperti Garuda kalo disini.

Sebagai milisi budget, kaum backpacker tentu lebih melirik Vietjet. Tapi sebetulnya Vietnam Airlines ini juga harga tiketnya kompetitif bila dibanding maskapai full service lain dan memiliki rute langsung Jakarta dari dulu. Cukup recomended bagi mereka yang terbiasa terbang manja pakai Garuda. Tapi karena kita backpackere jadi harap maklum.

Di Indonesia, awalnya Vietjet hanya membuka flight direct Vietnam ke Denpasar hingga saya terpaksa flight dulu ke DPS dari Bandung demi menghindari tarpak di Changi atau KLIA. Lalu setahun ini membuka direct flight ke Jakarta.. syukurlah, bye bye tarpak.

Dulu sekali memang ada juga AirAsia yang direct Jakarta ke Vietnam tapi sudah punah. Mungkin saat itu rute langsung Indonesia- Vietnam tak terlalu menggiurkan bagi maskapai Malaysia, namun bagi maskapai Vietnam menghubungkan negaranya yang  berpenduduk lebih dari 100 juta orang dengan Jawa-Bali yang berpenduduk juga segituan jelas sebuah pasar yang gurih. Maskapai Indonesia minggir dulu.

Namun namanya tiket murah pasti banyak peminat. Jadi jangan kaget antrian chek in Vietjet puanjaaang bingit, mengingatkan pada lampu merah Samsat Kiaracondong. Ini juga alasan saya enggan pakai Vietjet dari Vietnam, ogah antrian biadab. Vietjet lebih cocok untuk menuju Vietnam, bukan dari Vietnam.

@districtone

Banh Mi Sarapan Andalan Backpacker di Vietnam

Banh mi (roti)  adalah makanan khas Vietnam yang dibuat dari roti baguette. Makanan khas Vietnam ini menjadi hasil adaptasi dari kuliner Perancis karena dulunya negara Vietnam pernah dijajah oleh Perancis. Ini bisa dilihat dari penggunaan roti baguette khas Perancis.

Menu ini cukup bersahabat dengan dompet dibanding kuliner khas Vietnam lainnya kalau tidak jauh lebih murah.  Menu andalan backpacker ini paling murah sekitar 15000 – 20000 VND di kaki lima. Tapi bisa berlipat harganya di restoran atau dengan isian yang mewah.

Banh mi biasa diisi dengan irisan acar kubis, wortel, daging, daun ketumbar dan cabai. Namun saya lebih sering memilih sarapan roti dengan telur setengah matang. Pilihan ini juga cukup populer sebenarnya bagi masyarakat Vietnam, disebut banh mi op la. Jadilah banh mi opla sambil menyeruput ca phe den nong ( kopi hitam panas) menu  setia  di Vietnam.

Ongkos Termurah dari Bandung ke Bandara Soekarno-Hatta? Pakai Kereta Aja

Titik kritis untuk menuju Bandara Soekarno-Hatta adalah stasiun Manggarai, karena darisini terdapat kereta menuju Bandara. Nah, bila dari Bandung maka tinggal bagaimana caranya menuju hub comuter yang ramai ini.

Relasi terpendek menuju stasiun Manggarai dari stasiun kereta jarak jauh adalah dari stasiun Jatinegara. Jadi bila naik kereta dari Bandung turunlah di stasiun Jatinegara lalu lanjut comuter ke stasiun Manggarai. Lain halnya bila memakai kereta lokal dari Purwakarta yang terkoneksi ke comuter di stasiun Cikarang, maka tinggal lanjut saja ke stasiun Manggarai.

Mari berhitung berbagai alternatif memakai kereta dari Bandung menuju Bandara Soekarno Hatta:

1. KA Lokal

JALUR PURWAKARTA

Bandung – Purwakarta 8.000

Purwakarta – Cikarang 4.000

Cikarang – Manggarai 4.000

Manggarai – Bandara SH 30.000 / 70.000

 

JALUR SUKABUMI

Bandung – Padalarang 5.000

angkot Padalarang-Cipatat 7.000

Cipatat – Sukabumi 5.000

Sukabumi – Bogor 45.000 (termurah)

Bogor – Manggarai 5.000

Manggarai – Bandara SH 30.000/70.000

Bila dari Bandung, memakai jalur Sukabumi ini kurang efisien dibanding yang lain karena lebih memutar dengan banyak transit. Lebih cocok untuk yang memang pergi dari Cianjur dan Sukabumi.

 

2. KA Jarak Jauh

KA Serayu 63.000

KA Cikuray 45.000

KA Argo Parahyangan 150.000 (termurah)

turun di stasiun Jatinegara

Jatinegara – Manggarai 3.000

Manggarai – Bandara SH 30.000 / 70.000

Catatan : Keberangkatan kereta Bandara dari Manggarai dengan tiket 30.000 hanya di jam-jam tertentu

Jadi bila jadwal keberangkatan pesawat  match dengan ketibaan kereta Bandara dari stasiun Manggarai dengan tiket 30.000 maka akan didapat tiket termurah.

Sebagai perbandingan tarif bis & travel Bandung – Bandara SH sbb:

– Bis Primajasa 150.000

– Travel 175.000 s.d 200.000

namun perhitungkan pula biaya taxi bila keberangkatan bis/travel dari Bandung yang biasanya lewat tengah malam. Sementara untuk ke stasiun kereta masih bisa memakai angkot atau ojek karena belum terlalu larut bahkan bila memakai KA Serayu malam.

MENUJU ARANYAPRATHET,,,BERTEMAN LAMUNAN (2)

by Bayu “Baiz” Ismayudi

Pagi itu sekitar pukul 04.40 waktu setempat, pintu gerbang station Hua Lamphong Bangkok dibuka, setelah saya membeli ticket kereta jurusan Aranyaprathet seharga 48 baht saya langsung tergolek di kursi tunggu station, ingin memejamkan mata barang sekejap sambil menunggu keberangkatan kereta pukul 05.55.

Para pengunjung station sudah mulai ramai, baik itu yang menunggu keberangkatan maupun yang baru tiba dari luar kota Bangkok. Beberapa turis bule menyandang ransel penuh beban banyak berseliweran, kursi-kursi tunggu station pun sudah mulai penuh, ada yang sekedar duduk-duduk ada pula yang tertidur tergeletak karena semalaman begadang di luar station menunggu loket ticket buka seperti saya.

Sekitar 10 menit saya terpejam, badan sudah lumayan bugar, kemudian saya melangkah menuju toilet station ingin sekedar menyeka diri, membasuh muka yang kusut,,,tapi ternyata toilet belumlah buka. Di dekat toilet ada tulisan berisi “Tempat Sembahyang” bahasa melayu tentunya,,,”ini pasti maksudnya musholla” pikir saya,,,
Tapi setelah saya cari “Tempat Sembahyang” itu tak kunjung ditemukan,,,akhirnya saya bertanya kepada petugas station,,,” I am muslim, I am looking place for pray” ujar saya sambil menggerakan isyarat takbiratul ikhram,,,si petugas mengerti, beliau dengan senang hati dan antusias menunujukkan sebuah musholla yang terletak di antara dua rel kereta.

Sebuah musholla kecil tapi cukup apik berdiri anggun di sana, tapi sayangnya baru dibuka pukul 05.30…”owh bagaimana jika ada orang yang akan shalat subuh?” pikir saya,,,tapi bagian toilet musholla tidak dikunci, saya pun membasuh diri sejenak dan berwudhu,,, untuk selanjutnya shalat subuh sambil duduk di kursi dekat musholla…hmm,,,semakin terasa keinginan mendekat kepada Sang Maha Penguasa saat kita sendiri dan jauh dari rumah jauh dari keluarga atau teman,,,hehehe, manusia memang akan selalu teringat dengan Penciptanya apabila dalam kondisi terjepit, tertekan atau kesepian,,,fitrah manusia,,,

Rupanya di sini tidak ada istilah kereta terlambat,,,sesuai schedule pukul 05.55 kereta menuju Aranyaprathet mulai bergerak. Kereta ini mirip dengan kereta ekonomi kita, cukup bersih dan nyaman. Saya duduk di kursi yang posisinya berhadapan di depan seorang ibu-ibu setengah baya. Kereta pun melaju perlahan, bergerak melewati kota-kota hingga pedesaan yang dihiasi bentangan sawah yang menguning yang saya saksikan keindahannya melalui jendela kereta samping tempat duduk saya. Pada beberapa bentangan sawah, saya melihat banyak mobil jenis double cabin semisal Hilux atau Ford Ranger hilir mudik mengangkut hasil bumi,,,”Wow, di Bandung mobil double cabin seperti ini mungkin hanya sebagai alat transportasi mewah yg hilir mudik diperkotaan, tapi di sini,,,hmm, dijadikan alat angkut hasil bumi” Pikir saya,,,

Matahari semakin merangkak naik, perlahan,,,Kereta yang saya tumpangi semakin penuh sesak oleh penumpang yang naik di setiap station yg terlewati. Saya terbangun oleh sinar mentari yang membias dari jendela kereta,,,hmm,,semakin terasa ‘sepi’ di tengah kehiruk pikukan. Ibu paruh baya di depan saya terlihat sedang asyik ngemil penganan yang dia beli dari penjaja makanan yang hilir mudik dari gerbong ke gerbong. Suara orang berbincang mendengung di telinga seperti suara lebah dengan bahasa yang tidak saya mengerti, sesekali diselingi suara kokokkan ayam yang dibawa oleh penumpang menghiasi kehirukpikukkan. Tidak lama kondektur terlihat memeriksa ticket para penumpang, kondektur yang mirip Cak Lontong ini pun menghampiri saya dengan tatapan menyelidik dan meminta ticket untuk selanjutnya diperiksa dan ditandai.

Kembali setelah itu, saya ‘sendiri’. Pemandangan luar kereta kembali menemani, tentang para petani yang membajak sawah, mobil double cabin yang mengangkut hasil bumi, anak kecil yang berlari telanjang, sungai yang mengalir, langit yang biru, burung belibis yang terbang mengarak,,,Lamunan menerawang memberI lukisan abu-abu yang misterius tentang perjalanan yang akan ditempuh,,,tentang ke-paranoid-anku saat nanti akan melewati Poipet, kota perbatasan Kamboja yang menurut beberapa blog yang saya baca, penuh dengan scam atau aksi tipu-tipu para calo imigrasi,,,lamunan candaan rekan-rekan yang menakut-nakuti,,,”Jangan tidur bay, bisa kebablasan hahahaha” ujar Wanbar,,,”Tegang yeuuuh!!” canda Bobby,,,”Haligh siah” celetukan Barbar,,,hehehe tapi itu semua justru membuat saya tersenyum sendiri saat itu. Dan lamunan yang paling menghiburku sekaligus menyiksaku adalah senyuman lucu Sava gadis kecilku dan tawa renyah Fiqar anak lelakiku di rumah,,,semua bercampur aduk dalam benak menemani kesendirian hingga kereta tiba di Aranyaprathet pukul 11.50 sesuai schedule…

#DistrictOne
#Solobackpacker
#OverlandBackpacker
#CrossBorderThailandCambodiaVietnam
#Oleholehbackpackeran

MENANTI KERETA, MENGGELANDANG DI HUA LAMPHONG (1)

by Bayu “Baiz” Ismayudi

Pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta akhirnya landing di Don Mueang Bangkok sekitar pukul 20.00 atau 08.00Pm waktu setempat. Penumpang pun satu persatu turun untuk kemudian antri di pintu imigrasi Thailand.
Usai urusan per Imigrasian saya bergegas ke counter money changer untuk menukarkan sedikit USD yg saya punya. Tepatnya pukul 21.30 saya baru keluar bandara dan menuju Don Mueang Station untuk berkendara dengan kereta api, sesuai itinerary yang saya buat menuju Hua Lamphong, sebuah station besar di Bangkok yang merupakan gerbang pemberangkatan menuju pelosok Thailand.

“Train to Hua Lamphong it’s finished !!” sebuah pernyataan tegas dari petugas ticket station Don Mueang saat saya akan membeli ticket kereta menuju Hua Lamphong,,,”owh,so,, how I am to go to Hua Lamphong?” ujar saya agak kaget dan sedikit panik. Karena memang dalam itinerary saya tidak ada plan B untuk mengantisipasi hal seperti ini. Akhirnya si penjaga ticket memberi petunjuk kendaraan yang menuju Hua Lamphong,,,

Dengan berkendara menggunakan bus menuju Mochit lalu dilanjutkan menggunakan MRT dari station subway Bang Sue yang menyusuri beberapa station di bawah kota Bangkok hingga berujung di Hua Lamphong tepat pukul 22.30 waktu setempat.
Rencana awal perjalanan saya kali ini untuk hari pertama saya harus menuju Hua Lamphong, karena besoknya saya akan menuju Aranyaprathet daerah perbatasan Thailand dengan Kamboja untuk selanjutnya menyeberang ke Kamboja. Perlu diketahui, ini adalah perjalanan pertama saya tanpa teman alias solo backpacker.

Persiapan sudah saya lakukan dari sebulan sebelumnya, dari mulai menyusun itinerary, mencari informasi via blog-blog hingga penghitungan budget. Perjalanan ini sebenarnya lebih merupakan “tantangan” yang diajukan rekan saya Barbar untuk mencoba bersolo backpackeran…dan saya terima “tantangan” itu,,,Perjalanan yang akan saya tempuh ini merupakan perjalanan overland alias cross border antar tiga negara,,,Thailand, Kamboja dan berakhir di Vietnam.

Bagi sebagian orang, para backpacker perjalanan ini adalah perjalanan biasa,,,tapi bagi saya sebagai pemula sangat luar biasa hehehe,,,perjalanan kali ini lebih merupakan perjalanan spiritual yang menguras adrenalin bagi saya,,,

Malam memang sudah larut saat saya tiba di Hua Lamphong, saya sempat melihat jadwal keberangkatan kereta yang akan saya tumpangi menuju Aranyaprathet dan rupanya kereta tersebut berangkat pukul 05.55 esok pagi. Sambil berjalan melihat-lihat station, saya berfikir,,,apakah saya akan menginap di penginapan terdekat dengan resiko bangun kesiangan dan ketinggalan kereta atau tidur di emperan station seperti yang orang banyak lakukan, bergeletakan di teras station hingga lorong-lorongnya.

Tidak berapa lama beberapa petugas keamanan station menutup gerbang station yang menandakan bahwa station telah tutup.”can I sleep here?” Tanya saya kepada petugas seraya menunjuk kearah deretan kursi yang ada dalam station…”no, you sleep outside like them” jawab petugas seraya menunjuk ke teras station yg telah penuh dengan calon penumpang.

Dan saya pun ngeloyor pergi menyusuri pinggiran station, sambil menikmati kemegahan Hua Lamphong, sebuah station kereta yang besar dan apik. Di sisi lain saya menemukan jejeran café yang masih buka yang diisi oleh para turis bule dan saya pun memasuki salah satu café untuk memesan kopi hitam panas sambil tentu saja nebeng wifi hehehe,,,

Dari café seberang station ini saya bisa melihat Hua Lamphong yang dihiasi lampu warna warni yang membuat station itu terlihat gemerlap. Setelah menikmati secangkir kopi dan sebungkus roti, bekal saya yang saya bawa dalam backpack, saya kembali menyusuri jalanan sekitar yang mulai sepi…

Malam semakin larut, rasa letih selama perjalanan mulai terasa,,,dan akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat di salah sebuah lorong di sekitar station yang tidak begitu banyak orang. Saya memutuskan untuk tidur di emperan station karena saya takut tidur kebablasan jika saya tidur di dormitory atau hostel dan tentu saja bakal ketinggalan kereta menuju Aranyaprathet wilayah perbatasan Thailand & Kamboja.

Sekitar satu jam saya memejamkan mata,,,tiba-tiba saya mendengar langkah halus mendekat, saat mata saya picingkan,,,seorang lelaki kekar berdiri tidak begitu jauh dari tempat saya tidur,,,matanya merah dan tangan yang penuh dengan tattoo,,,Dia menatap tajam pada saya, saya pun segera bangkit “red alert” dalam diri saya memberi signal tanda siaga 1. Kami saling tatap untuk sesaat,,,mungkin melihat saya waspada, si lelaki bertatto itu tidak lama kemudian ngeloyor pergi…saya pun kembali terduduk sambil menghela nafas,,,”huh,,,gak lucu kan klo sampe dipalak atau dirampok di negara orang saat hari pertama perjalanan saya pula” gerutu saya dalam hati,,,Akhirnya saya pun sukses untuk melek terus hingga station buka kembali pukul 04.40,,,”daripada barang saya digondol preman saat saya tidur, mending saya melek dan tidur nanti di kereta” pikir saya,,,hmm,,,rupanya adrenalin saya sudah mulai diuji di hari pertama solo backpackeran saya,,,

#DistrictOne
#SoloBackpacker
#OverlandBackpacker
#CrossBorderThailandCambodiaVietnam
#Oleholehbackpackeran

Melanjutkan Rute Laos : Luang Prabang ke Hanoi

Salah satu rute backpacker di Laos yang masih membuat penasaran adalah rute Utara menuju Hanoi, ibukota Vietnam. Sejak pertama kali mengunjungi Laos tahun 2011, lalu 2015 dan 2017 maka rute Northeast ini belum dicoba. Biasanya rute ini dimulai dari Luang Prabang sebagai destinasi wisata UNESCO heritage di Laos. Ada dua jalur menuju Hanoi dari Luang Prabang  yaitu via Oudomxay dan Ponsavan. Tadinya dipikir semua rute itu akan melewati Dien Bien Phu, namun hanya jalur Oudomxay yang menuju kota itu.

Bila memesan tiket bis menuju Hanoi, maka hampir bisa dipastikan akan memakai rute Ponsavan yang lebih pendek,. Namun karena memilih singgah di Dien Bien Phu, saya membeli tiket bis menuju Dien Bien Phu saja yang berarti melewati Oudomxay. Kota ini pernah terlewati tahun 2015 kala datang dari arah Luang Namtha.

 

Bis kecil menuju Dien Bien Phu  dikatakan berangkat jam 6 pagi dari terminal Naluang. Walau skeptis berangkat tepat waktu, terpaksalah tetap bergerak pagi-pagi sekali dari hotel, berjalan kaki ditengah hujan yang mengguyur sejak subuh. Bukan hari keberuntungan tampaknya, padahal sejak datang dikota ini cuacanya panas ngajeos. Karena tak membawa rain coat, terpaksalah ngingkig memakai sarung melindungi guyuran air dari langit. Ya sarung amat berguna… jangan pergi tanpa membawa sarung.

 

Kala melewatinya tahun 2015 sedang dilakukan perbaikan jalan di kawasan ini sehingga sesuai prediksi jalan menuju Oudomxay sangat mulus. Jalur menuju utara ini melipir pegunungan, tampak sungai  jernih disebelah kanan selalu menyertai. Singgah untuk makan siang di Oudomxay, perjalanan dilanjutkan ke Muang Khua -kota terakhir sebelum perbatasan.  Kota kecil di pegunungan ini sekilas tampak cukup menyenangkan, tampak sebuah hotel yang cukup representatif juga. Beberapa pejalan menyarankan transit disini bila ingin menghindari perjalanan 12 jam Luang Prabang – Dien Bien Phu yang membuat panas bujur.

Pos imigrasi Tay Trang terletak di pegunungan, tak banyak yang melintas saat tiba sekitar jam 4 sore disini. Seperti biasa, petugas mengutip “biaya stempel”. Hal yang kerap dijumpai di Laos dan Kamboja, wajar…negara kismin. Tak perlu banyak argumentasi, toh cuma 10.000 kip, sekitar 16 ribu rupian. Seorang backpacker Spanyol yang misuh-misuh “disetrap” oleh petugas imigrasi yang kesal.  Wong cuma sedolaran aja ribet, mungkin begitu pikir mereka.

Pos imigrasi Vietnam terletak sekitar lima kilometer dari pos imigrasi Laos, melewati jalan melipir pegunungan. Disini proses stempel berjalan lancar tak ada kutip mengutip, entah kalo si Spanyol karena naik bis paling akhir.  Darisini kota Dien Bien Phu hanya berjarak sejam perjalanan. Setiba di terminal bis, langsung dikerubuti supir taxi. “Xe om..xe om..,” ujar saya dengan lafaz Vietnam sefasih mungkin padahal cuma itu yang tahu hehe… xe om artinya ojek, merekapun membiarkan saya melenggang dibonceng ojek ke hotel dengan tarif 20 ribu dong sekitar 13 ribu rupiah.

Esoknya, perjalanan malam ke Hanoi dilakukan dari terminal bis yang sama. Tak banyak yang bisa diceritakan karena tidur sepanjang perjalanan. Sleeper bus selalu menjadi favorit karena menghemat biaya hotel dan sebetulnya cukup nyaman untuk tidur. Sekitar pukul 6 pagi tiba di terminal bus Yen Nghia yang berada dekat stasiun MRT..waduh, Hanoi ternyata sudah lama punya MRT. Sementara Jakarta baru eforia sebulan lalu.

Di terminal seukuran Kampung Rambutan ini sempat celingukan mencari arah ke bandara dan tak mendapati tanda-tandanya. Mengandalkan kata kunci san bay No Bai akhirnya dapat juga arah menuju bandara No Bai diluar kota Hanoi yaitu memakai bis no 27, lalu dilanjutkan memakai bis no 7 disuatu tempat,entah dimana. Karcis bis di Vietnam cukup murah. kedua bis itu tarifnya 7000 dong. Sedikit tips di domestic departure bandara No Bai, ada resto cukup murah dengan wifi ngabret di lantai tiga. Saya memesan nasi goreng, kopi hitam dan segelas air putih dibandrol seharga 80.000 dong saja.

@districtonebdg

 

 

 

 

Catper Singkat Ronin Backpacker di Phnompenh

19/10.

Subuh itu sekitar jam 6 waktu Kuala Lumpur, kami berempat bergegas boarding pesawat dari KLIA airport menuju Phnom Penh, setiba disana de ronin sepakat naik transportasi lokal bernama Tuktuk, modifikasi andong dengan motor sebagai sumber geraknya menggantikan kuda, biaya 2$ perorang. Kamboja negara kismin gitu juga currency nya dollar Amrik dong hehe.

Sepanjang jalan menuju hotel backpacker suasana nampak bangunan tua, tapi pembangunan nampak disana-sini. Setiba di hotel budget ‘riverside-backpaker’, kami mencari makanan halal, informasi dari kang Predy, seorang alumnus Unpad, merekomendasikan ‘Warung Bali’ untuk di singgahi. Sang empunya yaitu kang Firdaus bahkan menyambut kami dengan bahasa Sunda setelah tahu kami dari Bandung. Yang paling asik saat akan makan malam, ternyata Warung Bali sedang mendapat tamu yang sedang menjamu atase militer Indonesia yg baru, sehingga kami pun diajak makan bersama.. beuh wareg ta mah..dan banyak ketemu orang Indonesia yang bermukim disana

 

20/10

Tadi pagi de Ronin menyusuri sepanjang sungai Mekong yang ternyata sangat lebar..  asiknya trotoar yang luas dengan beberapa sarana olahraga sederhana cukup menarik untuk dicoba. Diujung jalan ada vihara kecil dengan aktivitas ibadah mereka, banyaknya merpati juga menjadi hiburan tersendiri. Tak jauh darisini terletak Royal Palace. Dan akhirnya sarapan …lagi-lagi.. di Warung Bali cukup untuk bekal energi ke Russian market, hanya saja banyak yg memberi peringatan akan banyaknya copet..entahlah, sepertinya senapan AK -47 menarik untuk jadi oleh oleh, meunang teu nya??? Heuheu

21/10

Tadi sore, setelah sepakat janjian lagi dengan kang Predy dan istrinya, kami bergerak ke arahan pasar Russia, dan bertemu di KFC nya Kamboja, lalu masuk ke dalam pasar. Tapi barang yang dicari tidak ditemukan, kamipun bergerak kearah mall, yang konon menjadi mall pertama kota Phnom Penh, disini ada sekelompok anak muda yang sedang belajar musik tradisional, menarik tapi hanya lewat saja karena keterbatasan waktu. Kemudian kami bergegas ke Pasar Central dan disana ternyata terdapat los barang second…cocok nih.. Setelah membeli beberapa barang, kami memutuskan untuk pulang ke hotel, dan di jalan ada kaki lima kuliner unik yang sayang bila dilewatkan. Kesempatan terakhir mencoba jajanan Kamboja sebelum besok merembes jalur darat ke border..nyam nyam

by Erfanzain
sebagai ‘ronin backpacker’