Menurut legenda Sangkuriang, kayu yang digunakan membuat perahu atas permintaan Dayang Sumbi ditebang dari sebuah pohon di sebelah timur (di G. Bukittunggul) dan daun-daunnya jatuh ke sebelah barat menjadi G. Burangrang (rangrang = rontokan dedaunan). Dekat dengan G. Bukittunggul sekarang terdapat G. Pangparang (parang untuk menebang pohon itu). Setelah pohon ditebang, tinggallah umbi tunggul dari pohon tersebut sehingga masyarakat Bandung lama memberinya nama Gunung Bukittunggul. Gunung berketinggian 2.209 meter dpl ini boleh dikatakan gunung tertinggi di utara Bandung, untuk mendakinya dapat dilakukan mulai dari tepi jalan Lembang – Ujungberung, naik ke arah perbukitan hutan pinus. Memasuki kawasan hutan, lereng sangat terjal sampai akhirnya menemukan dataran puncaknya.
Tapi sebentar… yang tertulis di tugu dekat Kampung Batuloceng, kira-kira 5 km timur Maribaya, Lembang, adalah Bukit Unggul. Lho… pigimane ini, tong.. Bagi pemerhati toponimi perubahan nama menjadi Bukit Unggul bisa dikatakan sebagai bullying terhadap toponimi. Toponimi adalah ilmu tentang nama tempat, asal-usulnya, arti atau makna, serta penggunaannya. Leluhur memberi nama tempat sesuai dengan karakteristik tempatnya atau asal-usulnya, dan bahkan mungkin dikaitkan dengan sesuatu yang lebih luhur.
Walaupun sekarang kita terlanjur menggunakan nama Gunung Bukit Tunggul, tapi terungkap bahwa nama asalnya adalah Gunung Beutitunggul. Ini berdasarkan pada sebuah catatan dari Van der Pijl seorang ahli botani Belanda. Dankzij van der Pijl merujuk pada: PIJL, L.v.d. Wandelgids voor den Tangkoeban Prahoe, Bandoeng Vooruit, Serie no. 5. Menurut referensi tersebut nama itu tadinya Beuti Tunggul (beuti = umbi), tetapi karena kesalahan pemetaan berubah menjadi Bukit Tunggul. Nah.. misteri pun terpecahkan, setidaknya mulai terkuak. @districtonebdg
literatur : Budi Bramantyo, Kompasiana