Terdengar sayup-sayup suara “ Bangun, Mah. Ade pengen maen sama Destri”. Saya membuka mata, melihat sekeliling, anak saya yang bersuara rupanya. Saya tercenung, tarik nafas, rupanya raga ini sudah berada di rumah.
Rasanya baru kemarin tidur beralaskan tikar bersama Saniah, bocah berumur 6 tahun, dan Acih, ibu Saniah, perempuan suku Baduy Dalam kisaran umur 23 tahun. Masih teringat kopi panas yang disajikan Acih dalam mangkok ketika kami tiba ke kampung Cibeo di kala senja dalam keadaan basah kuyup, lapar, dan tidak membawa perbekalan baju maupun perlengkapan lain. Wangi nasi panas dari padi huma yang disodorkan dengan dadar telor masih kuat di ingatan. Kain khas Baduy dalam yang mereka pinjamkan karena kami kebasahan, masih terasa hangat melekat di badan.
Pengalaman –pengalaman itu berawal dari perjalanan saya dengan teman-teman hiker menuju Baduy. Saya dan Kiky meneruskan perjalanan menuju Baduy Dalam, teman yang lain memilih stay di Gajeboh, salah satu kampung di Baduy Luar. Perjalanan yang diperkirakan PP 6 jam tersebut rupanya hanyalah angka perkiraan. Alam selalu memberikan jalan dengan caranya sendiri. Perjalanan 3 jam menuju Baduy Dalam tidak seperti hiking ke pegunungan sekitar Bandung. Track yang terjal belasan kilometer, hujan tiada henti, dan tanjakan tanjakan yang berkelok kelok memberikan kejutan kejutan baru sehingga tragedi terpeleset, terjerembab, dan jatuh pun tidak bisa dihindari. Kiky terpeleset 3 kali, yang ke-3 jatuh mengenai tulang ekor setelah melewati tanjakan sepanjang 1 KM tanpa jeda tanah datar dengan kemiringan 45 derajat. Sehingga sisa perjalanan kita lalui dengan perlahan dan yang akhirnya kami memutuskan untuk menginap saja.
Cibeo, adalah salah satu Kampung di Baduy Dalam selain Cikeusik dan Cikertawarna. Butuh waktu 3 jam jalan kaki ke setiap satu kampung ke kampung Baduy Dalam lain, berbeda dengan Baduy Luar yang jarak antar kampung ke kampung lainnya relatif pendek. Untuk menuju ke Cibeo dari Ciboleger, gerbang pertama memasuki kawasan Baduy, kami harus menembus sekitar 7 kampung yang berada di kawasan Baduy Luar terlebih dahulu dengan beberapa kali melewati jembatan dan bukit .
Hutan yang hujan, setapak berbatu yang terbentang belasan kilometer itu seakan akan mengajakku menari untuk terus melanjutkan perjalanan ini. Hasim, pemandu kami menunjukkan ke bukit yang menjulang tinggi di depan kami seraya berkata,
“Sudah dekat bu, di balik bukit itu nanti sudah masuk Baduy Dalam”. Hasim melihat wajah saya, mata saya beradu. Dari tatapannya dia seperti yakin saya mampu melewatinya.
“Oke, kita lanjutkan.” Saya mengangguk ke arah Hasim. Sampai di puncak ada dataran luas yang lapang, dari arah atas ada suara seperti angin kalo orang Sunda bilang ‘ngahiung’. Saya menengadah tanpa tanya tanpa kata. Hasim seperti tahu rasa penasaran saya ia pun berkata “itu suara angin dari bambu, untuk menjaga ladang”. Memang terlihat bambu bambu berjajar mengelilingi lahan luas seperti lapangan sepakbola. Saya tidak banyak bertanya lebih banyak karena mulai kelelahan.
Setelah melewati lapang tersebut kami menuruni setapak bertanah merah lalu melewati lagi hutan dengan jalanan setapak berbatu kembali. Hujan mulai reda, kabut tipis menyambut kami sampai hujan turun lagi saat mendekati jembatan yang sekaligus merupakan gerbang masuk ke Cibeo. Hasim bertanya, “Bu, gimana jadinya. Saya gimana ibu, kalau nanti mau pulang lagi, saya siap aja.”
Tanpa berpikir panjang saya langsung menjawab, “ Kita menginap saja, tolong carikan rumah penduduk yang bisa kita tempati dan pakainnya bisa dipinjami. “ Hasim mengangguk setuju.
Terus terang setelah melewati begitu panjangnya rute perjalanan dengan segala tragedinya, saya benar benar tidak berniat untuk pulang lagi. Yang saya pikirkan saat itu adalah menikmati perkampungan, gubuk yang hangat untuk berisitirahat, dan mencoba hidup layaknya masyarakat Baduy dalam.
Memasuki perkampungan Baduy dalam seperti melihat lukisan lama yang tergantung di ruang tamu rumah Bapak. Rumah rumah panggung berdekatan, anak anak berlari dengan pakaian khas putih hitamnya. Para pria dengan kepala terikat kain seperti simbol kepatuhana bahwa hidupnya sudah terikat pada hukum adat. Pria pria tampan dan perempuan perempuan Baduy dengan kulit mulus berparas ayu berambut hitam legam membuat saya terperangah. Saya melihat Hasim berjalan lapor entah ke siapa, saya tidak begitu memperhatikan, lalu dia membawa kami ke rumah Pak Ade. Sebuah keluarga kecil, pasangan muda yang baru memiliki 2 anak. Kamipun dipersilakan masuk.
Pertamakali yang saya lihat adalah tungku kayu bakar (hawu). Dalam keadaan remang tungku ini memberikan suasana romantis, seperti penyelamat, melihatnya seperti mendapatkan sesuatu yang melegakan. Ketika Acih memberikan kainnya untuk dipakai, saya gantungkan baju baju basah di atas tungku, lalu menggelar tikar dan bersandar ke bantal. Di luar masih hujan, kabut yang menyambut kami ketika memasuki kampung masih membayang di mata, syahdu, ada rasa damai meneliksik memsuki ke setiap pori pori hati, perasaan tentram jauh dari peradaban. Saya berbincang dalam remang tungku sambil menikmati kopi panas yang saya sesap sedikit sedikit.
Hujan reda, saya yang dari awal mengajak bermain Saniah, langsung mengajaknya bermain ke luar, mengitari perkampungan yang didiami sekitar 67 keluarga tersebut tanpa alas kaki. Sempat hampir terpeleset mengingat tanah licin basah, dan saya tidak terbiasa earthing, di seberang ada bapak bapak sepertinya tamu berkomentar ,
“ Yeh lain orang dieu nya, pantesan rek tiseureuleu”.
Duh, saya baru sadar kalau saya memang mengenakai pakaian Baduy Dalam, tetapi tetap terlihat palsu karena jalan saya yang pelan. Bentuk rumah panggung di Baduy Dalam dan Baduy dalam memang tidak begitu berbeda, hanya saya perhatikan rumah di baduy dalam tidak memiliki serambi. Dan cenderung lebih luas dan sedikit sekali barang. Hidup minimalis dengan satu cempor untuk satu rumah. Tidur beralas tikar tidak membuat kami tidak bisa tidur. Kami tertidur nyenyak, malaha sangat nyenyak.
Esok paginya saya mandi di Jolang, semacam tempat penampungan mata air di pinggir perkampungan menuju hutan belantara. Sensasi mandi saat itu tidak dapat terlukiskan. Air jernih yang ditampung dalam batang pohon yang membentuk bak air itu seperti tidak ada habis habis. Saya guyur tubuh saya dengan air itu sebanyak sebanyaknya. Entah kenapa setelah mandi badan saya perasaaan sehat bugar dan sangat siap melakukan jalan pulang. Perjalanan yang tidak habisnya membuat saya merasa bersyukur ini adalah pelajaran. Dan bila saya kembali lagi. Suatu saat nanti saya akan mandi di Jolang lagi, hidup seperti layaknya mereka dan mungkin akan menjelajah Cikeusik, Kampung Baduy lainnya yang belum terjejaki.
Bandung, 14 November 2017
Deep bow kepada semua dan segala yang telah berkenan hadir, berpapasan jalan denganku.
Penulis : Tanti Brahmawati