Setelah mengikuti program Hiking Ceria IKA SADAYA Unpad yang bekerjasama dengan District One tanggal 22 Mei yang lalu, terus terang kok saya merasa mulai addicted to hiking yah. Perjalanan itu ngebangunin saya dari hibernasi panjang setelah lama tak melakukan hiking, lama sekali. Maka, pada saat District One mengadakan weekly program- nya, yaitu Saturday Outdoor, saya pun dengan antusias menyambutnya.
Perjalanan menuju Curug Antani, Barubeureum, Kaki Gunung Manglayang tidak memakan waktu yang banyak. Rute ke Curug Antani ini sesuai tema Saturday Outdoor yang memang menjajal rute ‘cantik’, ‘ringan’, tapi tetap ‘antimainstream’, dalam artian tidak banyak orang yang mengunjungi tempat ini, alias sepi, suasana yang sengaja kami cari.
Matahari sudah tinggi pada saat mulai perjalanan. Saya, Baiz, Tanti dan putrinya,Freyja,memang datang terlambat, dikarenakan macet di bunderan Cibiru, ditambah dengan insiden mobil mogok ketika mampir di sebuah mini market. Saya melihat Baiz begitu cemas tapi dia berusaha tidak memperlihatkan pada kami bertiga. Syukurlah masalah dapat segera diatasi dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju Jatinangor.
Setelah parkir di warung, ngecek perbekalan, kami mulai berjalan menyusuri jalan berbatu dan sedikit menanjak yang seakan-akan tidak ada ujungnya, mulai deh saya ‘ngedumel’ dalam hati. Rasa bosan dan udara yang panas menyengat kulit membuat saya cepat lelah tapi akhirnya jalan berbatu itu habis juga dan tibalah kami di tempat istirahat pertama kami.
Tiba-tiba Eya –panggilan Freyja- mengeluh pusing, kebetulan saya duduk didekatnya langsung saya peluk, saya panik waktu saya pegang badannya yang dingin. Setelah mendapat sentuhan dari tangan sakti seorang ibu juga sedikit jampi jampi Eya mulai pulih. Rupanya dikarenakan kekuranga tenaga, dia hanya sarapan roti, belum makan nasi. (duh…anak Indonesia banget yah)
Walaupun kami hanya berempat dan tidak seseru ke curug Cibareubeuy, tapi tetap kami berusaha seceria mungkin berjalan menikmati pemandangan. Jalan setapak yang dilalui juga tidak seindah jalur ke curug Cibareubeuy. Jalan setapaknya penuh semak semak yang terasa gatal di kulit tapi apapun itu perjalanan harus terus berlanjut walau lagi lagi saya merasa agak sedikit bosan juga ada rasa khawatir kulit menjadi hitam legam. (ngeluuh terusss)
Kami sempat berhenti beberapa kali untuk ‘ngarenghap’, di sini saya melihat Baiz sabar dengan sikap manja saya dan Eya, yang memang sangat manja …(hehehe….yah harap maklum namanya juga beginners).
Pada medan medan yang lumayan cukup sulit, Baiz selalu meyakinkan kami bahwa semuanya akan baik baik saja. Terimakasih tak terhingga kepada Baiz. You’re real man.
Dan akhirnya setelah melewati jalan batu yang merupakan aliran air dari Curug Antani, tiba juga kami di tempat yang dituju. Curug antani adalah curug yang tidak besar dan tersembunyi di balik batu besar, orang-orang mungkin tidak menyangka dibalik batu besar itu tersimpan pesona alam yang indah. Walupun ukurannya kecil, tetap indah dengan airnya yang bersih dan menyejukan pikiran dari penat . Kami sempat bermain air, ngobrol sana sini, dan seperti biasa apalagi kalau bukan berfoto ria, hanya tidak terlalu berlama lama di sana karena saya melihat Baiz gelisah tapi dia tidak mengaku (belakangan saya tau apa alasannya). Tampaknya Eya enggan cepat-cepat pulang, dia sangat menikmati suasana curug dan meneliti ke sekitar, melontarkan pertanyaan “Om Baiz, kali aja di atas sana masih ada curug yang lain’.
Perjalanan pulang kami tempuh dengan medan yang sama dengan jalur awal karena kami ingin cepat sampai ke bawah. Sebenarnya ada beberapa jalan pulang yang katanya lebih seru untuk dilalui, tapi Baiz dan Tanti memutuskan memilih jalur yang sama dengan alasan rute lebih pendek dan khawatir Eya tidak begitu kuat. Pada perjalanan pulang Eya terlihat lebih bersemangat dan bertenaga, rupanya aura positif curug Antani memberikan energy besar baginya.
Ada sebuah makna yang bisa saya ambil dari perjalanan ini, saya merasa bahwa kebesaran alam membuat diri saya yang selama ini dibebani oleh masalah dan rutinitas yang membosankan itu menjadi berbeda. Tentu saja karena selalu adanya kejutan, tantangan dan penantian selama perjalanan berlangsung, dan bagaimana kita memaknai kejutan-kejutan tersebut. Sama halnya dengan jalan hidup yang penuh misteri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, tetapi kita harus sadar bagaimana memaknai misteri tersebut.
THE IMPORTANT THING IS THE JOURNEY NOT THE DESTINATION
Alam juga terasa membuat saya menjadi manusia yang lebih bersyukur,membuat hati saya menjadi luluh dan mengurangi keegoisan saya. Berada di antara alam juga mempertemukan saya dengan teman teman yang baik. Tidak ada marah, persaingan, saling membenci dan menjelekan namun justru kami mempunyai satu harapan yang sama yaitu sampai di tujuan bersama sama dengan selamat tanpa meninggalkan ataupun ditinggalkan, alam mengajarkan saya untuk saling menghargai dan membutuhkan satu sama lain
Demikian catatan perjalanan yang mungkin lebih kelihatan seperti catatan hati, tapi memang benar adanya bahwa hiking bisa untuk terapi dan self reflection. Terimakasih untuk kawan-kawan dari District One: Baiz, the real tour leader, Bayu Bharuna, Mr. President, Bobby Novarro dan Tanti Brahmawati , yang selalu mensupport saya. Juga untuk sahabat lama Kiky Buana dan Irma Yusanti, yang berhasil membujuk saya ikut Hiking, you’re damn real besties.
-family is not always blood-
Penulis
Cila, tinggal di Bandung