Saat siang hari berjalan mengelilingi Mandalay Palace di seberang jalan tampak sebuah kafe bernama Café Kipling. Namanya mengingatkan pada sosok penulis Rudyard Kipling yang menyanjung negara ini dalam bukunya. “This is Burma. It is quite unlike any place you know about,” sepotong kalimat dalam bukunya yang menambah kepenasaran siapapun yang berniat mengunjungi negara ini. Sebuah bukunya Road to Mandalay –yang belum pernah saya baca- digambarkan melukiskan bekas ibukota kerajaan ini kedalam suasana tradisional yang mengingkari waktu. Entahlah, terus terang saya memang jarang membaca buku novel.
Saya merogoh saku menghitung lembar-lembar kyat yang ada di dompet, kan akan tampak tematik dan stylish perjalanan ini bila singgah di sebuah kafe bernama Kipling di kota Mandalay sambil memikirkan sebuah tema tulisan. Seakan mengidentifikasi menjadi Rudyard Kipling itu sendiri. Namun pikiran menjadi penulis yang stylish itu segera rontok oleh minimnya kyat yang tersisa. Apalagi tak tampak ada ATM disekitar sini.
Bulan Januari 2016, kurs kyat (MMK) terhadap IDR adalah 1 kyat = 11 rupiah atau 1 USD = 1300 kyat, jadi bila 3000 kyat belum tentu cukup untuk ngafe seraya menerawang sebuah tulisan. Maka siang yang cerah itu dilanjutkan berjalan saja mengelilingi bangunan kuno di tengah kota ini. Mandalay Palace ukurannya luarbiasa, sebuah area bujursangkar dikelilingi parit yang lebar dengan masing-masing sisinya sekitar 1,5 kilometer. Jadi mengelilinginya saja butuh sejam setengah. Ukuran bangunannya diluar perhitungan saya, dikira tak sepanjang ini. Padahal kalori belum lagi terisi setiba di kota yang asing ini, baru secangkir kopi untuk membuat tubuh terjaga setelah tadi pagi tiba dari Yangon.
Tiga perempat jalan mengelilingi Mandalay Palace perut tak lagi bisa diajak kompromi, sebuah jajanan jalanan segera saya hampiri. Menunya berupa cakwe yang dihidangkan dengan sambal dan sayur berupa slada dan recahan timun. Terlalu bersahaja untuk upload di Instagram, jangan-jangan nanti dikira di sebuah kantin di Ciroyom. Minumannya antara air kemasan, jus jeruk atau jus alpuket. Saya memilih yang terakhir saja, agar ada tambahan kalori setelah ditandem dengan cakwe.
Tak jauh dari bangunan kuno ini, juga ada ikon kota Mandalay lain yaitu sebuah bukit bernama Mandalay Hill. Sebagian hikayat mengatakan bahwa kota ini mendapatkan namanya dari bukit Mandalay ini. Entahlah benar tidaknya, saya datang kesini tanpa mempelajari sejarah kota. Bukitnya tampak menjulang tinggi hingga membuat kecil hati untuk mendakinya, saya pun merelakan melihatnya dari jauh saja sambil memotretnya dengan kamera handphone. Hasilnya, tentu tak spektakuler namun kan nanti bisa mengelak bahwa ini foto “jurnalistik.”
Sekilas berjalan-jalan di kota tua ini tak terlalu mengesankan sebuah kota yang kuno, pasar tampak sibuk, pertokoan ramai dan lalu lintas di kawasan niaga yang berseliweran. Di kota terbesar kedua di Myanmar ini, motor bebas berkeliaran tak seperti Yangon yang melarang kendaran roda dua melintas didalam kota. Diam-diam saya bersyukur, nanti bila capek tinggal mencari ojek saja. Walau demikian jalan-jalan yang saya lalui kebanyakan selalu tampak lengang karena tampaknya tak terlalu banyak mobil di kota berpenduduk 1,3 juta jiwa ini.
Setelah longmarch sepanjang 10 kilometer dari siang hingga sore saya kembali ke hotel, lagipula menjelang malam kehidupan disini akan segera berhenti berdenyut. Lebih baik memulihkan diri di hotel setelah jalan-jalan yang agak diluar perkiraan ini.
Esok paginya, setelah selesai sarapan di hotel, saya kembali berniat jalan-jalan mengenal kota. Ketika sedang berjalan, sebuah motor ojek menghampiri.
”Motobike?” setelah dipikir-pikir malas juga berjalan kaki menjelang siang begini apalagi tempatnya belum tahu. Saya berencana melihat kehidupan masyarakat di sekitar sungai Ayeyarawaddy yang termashur itu.
“2000 kyat,” ujar tukang ojek, tanpa bisa ditawar. Baiklah, bila dilihat dari peta juga memang tak dekat.
Ia mengarahkan motornya ke sebuah dermaga di tepi sungai Ayeyarawaddy, ternyata dari Mandalay Palace kemarin tinggal lurus saja kearah Barat namun memang cukup jauh juga. Kondisi dermaga tampak kumuh, berbeda dengan dermaga yang pernah dilihat di Yangon. Kapal-kapal kayu yang bersandar juga tampak kusam, tak mengesankan bahwa darisini tempat turis bersauh menuju destinasi lain, biasanya sebuah tempat bernama Mingun Paya. Beberapa orang pun sigap menawarkan mengantar ke Mingun Paya, sebuah lokasi pagoda.
Setelah puas melihat dermaga sungai Ayeyarawaddy, saya kembali ke hotel dengan perasaan masygul. Terlalu dini untuk menilai, namun dari dermaga Maya Chan ini kemashyuran sungai Ayeyarawaddy tampak kusam. Tadinya saya berniat nongkrong sebentar disini, minum-minum teh atau sekedar mencoba makanan lokal namun suasana yang kumuh membuat berpikir dua kali. Mungkin ada baiknya turis mencoba naik kapal ke Mingun Paya, agar mengenal lebih jauh sungai besar ini sehingga tak buru-buru menilai.
Pulang dari dermaga, sudah hampir jam chek out, maka setelah packing saya duduk-duduk saja di lobby hotel membaca banyak majalah tentang negara ini. Banyak informasi lain yang bisa didapat bila membaca majalah domestik, dibandingkan ulasan-ulasan dariluar. Sejenak saya tenggelam dalam bacaan, hingga tak menyadari waktu semakin sore. Jam lima sore adalah jadwal kereta ke Yangon, jadi tak banyak waktu lagi untuk jalan-jalan. Saya pun memesan secangkir kopi lagi, berusaha menyesap kesan terakhir tentang sebuah kota yang pernah berjaya di masa lalu, dan kini sedang berjuang menata dirinya.
Sejak era kolonial, Mandalay lebih berfungsi sebagai kota administratif dibanding menjadi tempat favorit tinggal penjajah Inggris. Dikabarkan mereka lebih suka mendirikan kota baru di kawasan yang sejuk di sebelah Utara yang kini disebut Pyin Oo Lwin, sekitar dua jam perjalanan kereta api dari Mandalay. Posisi Mandalay sebagai kota terbesar kedua di Myanmar kini lebih sebagai hub bagi kota-kota kecil yang lain di sekitarnya dan kota-kota di Utara Myanmar, daripada sebuah kota penuh romantisme dari grandeur dunia kerajaan masa lalu.