Categories : ASEAN Countries Backpacker

 

Perkenalan pertama dengan sungai Chao Praya tak bisa dibilang manis,  kala tahun 2011 sungai ini merendam sebagian kota Bangkok selama berminggu-minggu. Walau kala itu Bangkok hanya sebagai tempat persinggahan sebelum melanjutkan perjalanan ke Laos, kesan Chao Praya tertanam mendalam. Dua tahun kemudian kala kembali ke Bangkok, hanya dari pinggiran nya saja memandang riak sungai ini dari kawasan Khaosan.  Setelah itu tak sekalipun kesana lagi, walau berkali-kali menginjakkan kaki di kota ini semasa tour Indochina.

Baru di tahun 2017 melangkahkan kaki dari stasiun KA Hualamphong ke dermaga Ratchawong karena merupakan moda transport termurah menuju ke Wat Arun dan Wat Po.  Sejak itu barulah beberapa kali menyusuri sungai Chao Praya lalu sedikit demi sedikit merasakan persahabatan dengan sungai yang dulu menunda perjalanan kami berminggu-minggu itu.

Sejak belajar mendayung di sungai Citarum dulu, sejak itu pula  saya merasa dekat dengan sungai dan selalu merasakan kekuatan alirannya.  Kekuatan yang dibawanya tidak menakutkan, melainkan mengagumkan. Aliran yang tenang namun penuh tenaga itu seperti kepribadian yang bersahaja.

Kesan pertama kala di pier Ratchawong adalah takjub dengan melimpahnya ikan-ikan di pinggir sungai. Ukurannya besar-besar karena tak pernah ditangkapi, bahkan beberapa kali tampak ditaburi pelet. Tentu saja menimbulkan kegaduhan tersendiri di pinggir sungai kala pelet ditaburkan.

Tiba-tiba saya menyadari bahwa Chao Praya adalah sungai besar di Indochina yang paling sering dikunjungi. Aneh bahwa selama di Saigon saya tak pernah menyusuri sungai Saigon yang besar itu.  Sungai Mekong beberapa kali disambangi namun sangat insidental, sementara Chao Praya dilongok tiap kali ke Bangkok. Tak lengkap rasanya bila tak menyapa Chao Praya saat kembali ke kota metropolitan ini. Mungkin karena secara tak sadar melarikan diri dari gemerlap kosmopolitan Bangkok kedalam pelukan bersahaja Chao Praya. Bukan kah tiap orang pada dasarnya merindukan kesahajaan? Atau mungkin saya merindukan Citarum dan sungai-sungai yang pernah membesarkan saya di alirannya? Entahlah..

Saya pun teringat pada puisi rindu pada Chao Praya karya seorang teman :

 

 

Bagaimana Kabar Chao Praya Hari Ini?

Apakah air sungainya kini meluap luap

seperti perasaan yang bergejolak ini mencari cari muara.

Birukah langitnya? Di sini mendung menggelayut

hanyut dengan kantung kantung mata didalamnya, 

sisa isak tangis di malam tadi.

Aku ingin tahu.

Apakah  senja di Chao Praya kali ini sangat romantis?

Menguningkah langitnya?

Di sini senja berwarna abu-abu. Seburam pikiranku akan masa depanku.

Rupanya hujan tidak dapat membasuhnya menjadi pelangi.

Hanya gemericik suaranyalah yang bisa memberikan seulas senyum.

Senyum harapan menanti .

 

 

 

 

 Posted on : March 23, 2018